Oleh: Harits Abu Ulya (Pengamat Terorisme & Intelijen)
Ada baiknya kita membuka kembali UU Nomer 5 Tahun 2018 mengenai penanggulangan tindak pidana terorisme. UU ini adalah acuan utama sekaligus legal frame penanganan kasus terorisme di Indonesia.
UU Nomer 5 Tahun 2018, di;
[Pasal I]
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
2. Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, Iingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.]
Dari konsepsi baku diatas kemudian kita jangkaukan kepada realitas kejadian aktual yaitu penyerangan IM (Imam Musthafa) kepada aparat Kepolisian di Mapolsek Wonokromo Surabaya Jatim dengan menggunakan sajam, apakah relevan di katagorikan sebagai aksi terorisme?
Menurut saya aksi tersebut adalah aksi kriminal saja. Terlalu hiperbola kalau di labeli sebagai aksi terorisme. Sebagai komparasi; Lihatlah kasus OPM sebagai kelompok yang terorganisir, punya jaringan dalam dan luar negeri, punya tujuan politik ideologi, punya tentara perang, punya beragam senjata api, melakukan aksi teror kekerasan bahkan pembunuhan dan banyak aparat yg tewas di tangan mereka. Saat ini para pejabat terkait kompak melabeli mereka sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKB).
Lantas unsur atau variabel apa saja yang membuat kita demikian bernafsu untuk melabeli aksi IM itu sebagai aksi terorisme? Apakah hanya karena ada simbol-simbol tertentu dari Islam? Misalkan; istri IM berniqob (cadar), IM mengenakan celana cingkrang, rajin ibadah ke masjid seperti framing yang di bangun oleh beberapa media mengenai hal itu? Atau kemudian di umbar ke publik oleh pihak terkait bahwa motif penyerangan itu adalah "jihad".
Kemudian semua indikasi tersebut bisa menggiring bermuara kepada kesimpulan itu aksi terorisme dan di lakukan secara mandiri (lone wolf), sebab terpapar paham radikal melalui internet. Ini sangat oversimplikasi dan tidak proporsional.
Jadi kita mengacu kepada definisi terorisme dalam UU terorisme kita perlu hati-hati agar tidak outside.
Jangan sampai hanya karena ada simbol agama tertentu atau menguar soal motif terkait dengan terminogi Jihad kemudian dilabeli teroris, menurut saya itu mendistorsi makna teroris dan justru cenderung menstigma atau mendiskriditkan Islam. Sekali lagi Kita perlu hati-hati dan bijak.
Saat ini dalam isu terorisme, penafsiran terhadap fakta aktual berdasarkan UU terorisme yang ada oleh banyak pihak cenderung sangat subyektif bahkan condong terkooptasi atau berkelindan dengan kepentingan politis.