Oleh:
Rospala Hanisah Yukti Sari, S.Pd, M.Pd.
Pemerhati Kebijakan Publik
PENDIDIKAN tinggi merupakan institusi yang berperan penting dalam menciptakan intelektual pembangun peradaban. Namun saat ini, berbagai problematika Pendidikan Tinggi sudah sedemikian kompleks, dari biaya pendidikan yang semakin mahal, dominasi asing terhadap pemanfaatan riset dan teknologi, sarana-prasarana yang belum memadai, syarat kelulusan yang dinilai ‘memberatkan’ mahasiswa, hingga ancaman gelombang pengangguran terdidik pasca kelulusan yang dinilai belum menemukan “titik terangnya”. Telah banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi persoalan ini, termasuk strategi impor-mengimpor.
Dalam sistem kapitalis, strategi impor-imporan merupakan solusi praktis nan pragmatis yang dilakukan oleh penguasa untuk menyelesaikan problematika di dalam negeri. Misalnya, beberapa waktu yang lalu, penguasa telah mengimpor bahan masakan seperti beras, bawang putih, garam, dll. Demikian juga dengan kebijakan pendidikan tinggi juga tak luput dari solusi impor, yaitu impor Rektor.
Menurut Menristekdikti, dengan mengimpor rektor diharapkan dapat menempatkan universitas ke dalam papan atas rangking dunia (Redaksi Indonesia, 2019). Kebijakan ini diketahui setelah Menristekdikti melihat kesuksesan yang dilakukan oleh negara lain, khususnya Singapura dimana NTU dan NUS sukses sebagai salah satu universitas kelas dunia. Kebijakan ini tentu akan menuai polemik, karena jika tidak dilakukan perombakan terhadap ekologi pendidikan tinggi secara mendasar, impor rektor takkan banyak berdampak positif atau bahkan akan menimbulkan kemudharatan yang lebih besar.
Negara minim Ideologi akan menghasilkan output kebijakan negara yang membebek kepada Asing, sehingga tidak memiliki kemandirian dan kekuatan dalam membangun negara. Hanya bermodal melihat kesuksesan negara lain, maka akan mengikutinya tanpa memperhatikan bagaimana kondisi internal universitas-universitas dalam negeri beserta dampak yang akan terjadi jika kebijakan tersebut diterapkan. Menurut Wakil Ketua Komisi X DPR ReniMarlinawati , selain akan bertabrakan dengan berbagai aturan seperti UU 14/2015 tentang Guru dan Dosen dan UU No 12/2012 tentang Perguruan Tinggi, rencana tersebut menunjukkan kurang maksimalnya Kementerian Ristek dan Dikti dalam membentuk sistem pendidikan tinggi yang visioner, ajeg dan adaptif dengan perkembangan jaman (edunews.id, 2019).
Jika mempelajari kasus Singapura dengan detail, Andersen sebagai penasehat pemerintah di bidang riset kemudian diminta memimpin transformasi NTU. Andersen adalah peneliti kawakan asal Swedia yang sebelumnya menjabat sebagai presiden European Science Foundation telah membuat kebijakan mendatangkan professor dan peneliti-peneliti muda berbakat dari berbagai universitas top dunia (Redaksi Indonesia, 2019). Jejak seperti ini hendak dilakukan oleh Kemenristekdikti. Apakah ini efektif diterapkan di Indonesia? Mari ditelusuri satu per satu:
Pertama, untuk memberi tempat bagi professor dan peneliti asing itu, Andersen memecat banyak dosen lama. Andersen tidak ingin repot dengan mengubah orang-orang lama tersebut menjadi peneliti kelas dunia yang menurutnya merupakan hambatan bagi kultur riset dan ssitem yang baru.
Kedua, sistem regulasi dan administrasi pendanaan riset di Indonesia yang kurang ramah kepada peneliti dan pengembangan Ilmu. Mayoritas dari talenta akademik adalah orang-orang yang memiliki ambisi yang kuat akan pengetahuan, sehingga bisa meneliti dengan sebaik-baiknya. Sedangkan di Indonesia, mekanisme pendanaan riset yang rumit dimana adanya kewajiban dalam membuat laporan pertanggungjawaban yang lebih mementingkan kelengkapan bon daripada substansi ilmiah, minim dan sulitnya mengimpor alat dan material eksperimen dan tuntutan patuh pada aturan seperti cap jempol sehari dua kali, dimana hal-hal tersebut dapat mematikan kreativitas dan daya pikir (Redaksi Indonesia, 2019).
Dapat disimpulkan bahwa iklim pendidikan tinggi di Indonesia yang tidak ramah terhadap penelitian dan pengembangan ilmu jika dipaksakan hanya akan membuahkan hasil seperti liga sepakbola di Indonesia, dimana yang akan datang hanyalah para pemain dan manajer medioker yang karirnya sudah tidak diperhitungkan lagi di tempat asalnya, sehingga hanya mimpi bahwa orang-orang tersebut dapat membawa klub bola ke liga internasional.
Dengan demikian, dengan adanya impor rektor, telah menjadi indikasi yang kuat telah terjadinya disfungsi pendidikan tinggi dari berbagai tujuan vitalnya. Paradigma pendidikan tinggi telah berubah menjadi mesin penggerak industrialisasi kapitalisme global, pencetak buruh terdidik, pemasok riset untuk industrialisasi teknologi. Kurikulum direvisi untuk mempersiapkan insan akademik muslim (mahasiswa, dosen, peneliti) yang memiliki keterampilan dan keahlian tetapi memiliki karakter khas kapitalisme. Dimana kesuksesan dalam menuntut ilmu diukur dari gelar akademik dan mendapatkan pekerjaan yang benefit.
Impor rektor tidak semata hanya masalah tentang perkembangan sains dan teknologi, tetapi juga erat kaitannya dengan transfer ideologi kapitalisme yang semakin mencengkeram dimana ilmu harus disterilkan dengan wahyu dan difungsikan sebagai faktor produksi bagi pertumbuhan ekonomi yaitu manusia yang berperan tidak lebih dari faktor produksi atau sebagai konsumen (Syafri, 2019).
Alhasil, terjadi sekulerisasi ilmu pengetahuan yang berakibat terhadap terpisahnya Islam hanya sebagai ibadah ritual bukan sebagai jalan hidup. Selain itu, terpisahnya perasaan dan pemikiran para akademik muslim dari umat dan dedikasi pun diperuntukkan untuk korporasi dan agenda hegemoni. Semuanya terangkum dalam penetapan kriteria yang dapat dimuat jurnal internasional terindeks barat maupun dilihat dari dapat tidaknya riset dikomersialisasi dalam wujud perusahaan pemula (start up).
Diperkuat pula dengan yang dilakukan oleh Kemenristekdikti berhasi mewujudkan 18 STP dari 100 STP yang ditargetkan melalui program RISET Pro (Research and Innovation in Science and Technology Project) dengan pendanaan Bank Dunia berdasarkan Loan IBRO No. 8245-ID. Kemenristekdikti juga menyatakan bahwa “Inovasi juga menjadi hal yang penting dalam pengembangan pendidikan tinggi, karena hasil riset berbagai ilmu harus diaplikasikan ke industri dan masyarakat, untuk dikomersialkan, serta harus memenuhi kebutuhan pasar dunia.". Tak ayal lagi bahwa agenda ini tak lepas dari agenda memperkuat hegemoni kapitalisme global di perguruan tinggi.
Dampak lainnya, dominasi korporasi dalam riset hanya akan berujung nestapa bagi umat manusia, terutama ketika berbagai hajat hidup manusia berada dalam kekuasaan korporasi yang hanya berujung nestapa bagi umat manusia. Misalnya, riset dan teknologi bioteknologi pertanian di tangan Mosanto dan Dupon hanya berujung pada penderitaan jutaan petani dan krisis pangan ditengah melimpahnya produksi pertanian di Indonesia (Syafri, 2019). Selain itu, dalam bidang riset dan teknologi obat-obatan dan farmasi ditangan sejumlah MNC Farmasi mengakibatkan jutaan nyawa tidak tertolong di rumah sakit (Syafri, 2019).
Alih-alih mendapatkan kualitas pendidikan tinggi yang baik, kenyataannya impor rektor hanya mengantarkan kepada kemajuan semu. Dimana semakin kuatnya hegemoni kapitalisme dalam transfer ideologinya yang hanya mengutamakan kepentingan korporasi serta transfer nilai-nilai sekuler, liberalisme dan hedonis ke dalam benak-benak insan akademik dan semakin menjauhkan mereka dengan pemikiran dan perasaan umat.
Adapun pendidikan tinggi dalam Islam merupakan puncak pencapaian dari penanaman dan penjagaan tsaqafah Islam yang telah ditanamkan sejak dini, disamping juga merupakan puncak dari pencapaian perkembangan sains dan teknologi terkini. Hal ini memiliki kaitan yang erat dengan sekumpulan paradigma Islam tentang pendidikan tinggi khususnya tentang ilmu, manusia dan fungsi negara (Syafri, 2019).
Ilmu dalam pandangan Islam tidak dapat dipisahkan dari wahyu. Bahkan wahyu merupakan aspek sentral dan pemilik otoritas tertinggi dalam kebenaran ilmiah (sains) sebab Allah SWT sumber segala sumber ilmu. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang dimuliakan dan memiliki rugas untuk beribadah kepada Allah SWT dengan dianugerahi bentuk fisik yang indah dan akal fikiran. Adapun negara, yang diaktualisasikan dengan Khilafah merupakan kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslim di dunia untuk penegakan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah ke seluruh dunia.
Diantara fungsi pendidikan tinggi adalah bertujuan memperkuat kepribadian Islam para akademisi sehingga mereka menjadi pemimpin, penjaga dan pelayan dari berbagai problematika umat. Selain itu, menjadi penjaga dalam pelaksanaan Islam sebagai way of life, mengoreksi kebijakan, mengemban dakwah dan menghadapi ancaman-ancaman yang membahayakan eksistensi dan persatuan umat.
Selain itu, sebagai penghasil tugas pengurus kepentingan vital umat dengan paradigma yang shahih untuk menjamin hajat hidup umat tanpa mengabaikan aspek kualitas dan menghasilkan profesi pelayan umat seperti dokter, insyinyur, guru, perawat dan profesi lain untuk menunjang urusan umat termasuk penghasil para pakar yang akan mengawal perkembangan ilmu (Syafri, 2019).
Demikian pula, pendidikan tinggi sebagai penghasil riset dasar dan terapan untuk berbagai aspek kehidupan seperti pertanian, kesehatan, industri dan keamanan yang berdampak positif terhadap kemandirian dalam mengelola urusan dalam dan luar negeri serta melakukan koreksi terhadap setiap perkembangan IPTEK untuk memberikan dukungan sepenuhnya terhadap kesejahteraan, kemuliaan manusia dan sebagai wujud ketaatan terhadap Allah SWT. Selain itu, biaya pendidikan tinggi yang murah bahkan cuma-cuma dengan kualitas terbaik sehingga dapat diakses dengan mudah oleh individu publik.*