Oleh:
Harits Abu Ulya
Pengamat Terorisme dan Intelijen
KITA sepakat untuk mengutuk setiap aksi kekerasan fisik terhadap semua anak bangsa. Dan kekerasan bisa saja aktornya adalah negara, oknum aparatur negara, atau dari sekelompok masyarakat bahkan bisa dari individu-individu masarakat terhadap sesama anak bangsa penghuni NKRI.
Dan kasus yang menimpa Pak Wiranto menurut saya adalah salah satu contoh tindak kriminal kekerasan.
Dan aksi kriminal tersebut perlu di tindak sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Bisa saja itu pelakunya adalah orang-orang yang secara personal benci kepada Wiranto sebagai Menkopolhukam yang selama ini di anggap membuat statemen politik yang tidak nyaman bagi sebagian nalar dan nurani publik.
Bisa saja kasus kriminal ini seolah menjadi sangat penting karena yang di serang adalah seorang pejabat menteri meski jelang titik akhir jabatannya.
Tapi jika di bandingkan dengan kasus atau tragedi aksi kekerasan lainnya yang menimpa rakyat, maka apa yang di alami Wiranto suatu hal yang kecil. Rakyat masih banyak yang lebih menderita dan butuh perhatian lebih serius; pengungsi korban gempa Ambon, pengunsi dan korban penyerangan di wamena, korban meninggal dan luka-luka saat aksi demontrasi beberapa pekan lalu, dll.
Jadi kita proporsional saja, pelaku kriminal penyerangan di bawa ke meja hijau dan di adili.
Bisa saja ada sebagian pihak yang ngebet menyeret ke arah isu "teroris" dengan munculnya narasi keterkaitan pelaku kriminal tersebut dengan kelompok tertentu yang selama ini di cap "teroris". Dengan begitu dengan mudah muncul judul "Menteri Polhukam di serang Teroris", akhirnya akan banyak melupakan persoalan urgen lainnya dan publik di seret ke isu daur ulang yang tifak ada ujung pangkalnya.
Bahkan bisa saja muncul dramatisasi dengan narasi yang bombastis sesuai kepentingan politik yang menunggangi kasus kriminal ini jelang pelantikan presiden.
Di sisi lain ada realitas menarik; bahwa selama ini publik gelisah dan berharap agar para pejabat atau penguasa bisa kontrol diri tidak keluarkan kebijakan atau statemen yang menyakiti hati nurani rakyat.
Jika tidak, membuka keniscayaan memotifasi warga atau rakyat berbuat nekat menyerang pejabat. Pada konteks ini, dalam kajian terorisme ketika kita bisa meminjam pendekatan metode analisa yang tepat agar paham kenapa selama ini aparat keamanan atau seorang pejabat jadi target kekerasan atau teror dari segelintir atau sekelompok orang.
Kita bisa menggunakan Framework Rasional , metodologi ini mengkaji korelasi antara teroris dan sasaran dalam aspek kesamaan-kepentingan, konflik kepentingan dan pola interaksi diantara keduanya.
Dalam Framework ini teroris dan sasaran terornya diletakkan sebagai aktor rasional dan strategis. Rasional dalam arti tindakan mereka konsisten dengan kepentingannya dan semua aksi mencerminkan tujuan mereka.Strategis dalam artian pilihan tindakan mereka dipengaruhi oleh langkah aktor lainnya (lawan) dan dibatasi oleh kendala (constrain) yang dimilikinya.
Jika "Framework kultural" berasumsi nilai menghasikan tindakan, tindakan sangat tergantung persepsi dan pemahaman (ideologi) yang dimiliki teroris. Dengan framework ini semata akan berdampak parsial memahami terorisme dan menyeret publik kepada profil teroris dan tindakan terornya semata sementara sasaran teror di abaikan.Dampak turunannya adalah solusi yang temporer dan parsial.
Sementara framework rasional berasumsi kalkulasi strategis antar aktor menghasilkan teror.Frame ini mengharuskan evaluasi terhadap langkah, kebijakan, strategi yang digunakan oleh kedua belah pihak;teroris dan sasaran teror.
Meski resiko logisnya penggunaan metodologi ini akan di anggap analisis yang obyektif dan rasional atau dianggap sebagai simpatisan teror karena manganalisa secara kritis sasaran teror, di saat “sasaran” sedang menjadi “korban”.
Penggunaan Framework rasional penting karena mampu menjawab dua hal penting; kondisi yang memunculkan dan kondisi yang meredam terjadinya teror.
Aksi kekerasan terhadap Pak Wiranto barangkali mengharuskan pribadi Wiranto untuk intropeksi diri dan mawas diri sebagai pejabat publik yang notabene abdi rakyat. Di samping kita juga tidak sepakat dengan segala bentuk aksi kekerasan oleh siapapun pelakunya.*