Oleh:
Ainul Mizan*
BADAN Pusat Statistik (BPS) melangsir bahwa tingkat pengangguran di Indonesia berada di titik 5,01 % pada tengah tahun 2019 (www.kaltimtoday.co, Sabtu 12/10/2019). Artinya ada 5,01 % penduduk usia produktif yang menganggur (6,82 juta jiwa). Angka ini disebut membaik dibandingkan posisi Februari 2018 yakni 5,13 % (6,87 juta jiwa) (www.cnnindonesia.com, 6 Mei 2019).
Walaupun dikatakan angka 5,01 % itu menurun, pemerintah hendaknya tetap waspada pada 2 kondisi yang berpotensi menyebabkan bangkrutnya ekonomi Indonesia. Kedua kondisi tersebut adalah bahwa angka pengangguran 5,01 persen ini adalah tingkat pengangguran terbuka. Sedangkan pekerjaan penduduk didominasi oleh bidang informal. Tentunya sektor informal berpotensi menambah angka pengangguran. Penghasilan yang didapatkan bukanlah konstan, tapi fluktuatif. Banyak usia produktif yang saat ini menekuni profesi sebagai driver ojol, sebagai contoh. Hal ini akan linear terhadap tingkat berkurangnya pajak penghasilan bagi negara. Akibatnya banyak proyek pembangunan negara yang dibiayai dari sektor utang luar negeri. Keadaan demikian akan menambah beban bagi rakyat.
Kondisi kedua adalah terkait fenomena bonus demografi yang akan dihadapi Indonesia. Berdasarkan data siaran pers Kementerian PPN/Bappenas pada 22 Mei 2017, pada 2030 – 2040, Indonesia diprediksi akan memasuki era bonus demografi, yakni jumlah penduduk produktif akan lebih besar dari usia non produktif (di bawah usia 15 tahun dan di atas usia 64 tahun). Saat itu 64 % dari jumlah penduduk adalah usia produktif.
Realitasnya usia produktif akan mulai memasuki dunia kerja setelah melewati usia sekolah mereka yakni di antara usia 20 – 35 tahun. Sedangkan keberadaan mereka mencapai sekitar 25 % setara dengan 63,4 juta jiwa dari 179,1 juta jiwa usia produktif saat ini. Bisa dibayangkan jika Indonesia sudah memasuki era bonus demografi, pastinya tantangan ekonomi dengan peningkatan kualitas pendidikan harus mendapatkan solusi fundamental dan menyeluruh, bukan hanya solusi artifisial sesaat.
Kebijakan ekonomi seperti penerbitan kartu pra kerja, hanya akan mengkonfirmasi tingginya angka pengangguran di negeri ini. Secara logika, bila angka pengangguran itu menurun, tidak diperlukan adanya penerbitan kartu yang demikian. Artinya angka 5,01 persen pengangguran itu adalah angka yang signifikan tatkala berbicara mengenai kesejahteraan. Bahkan angka 5,01 persen ini menduduki peringkat kedua se- Asia Tenggara tentang angka pengangguran. Sementara itu membahas pengangguran akan setali tiga uang dengan kemiskinan.
Oleh karena itu, berbicara mengenai kesejahteraan ekonomi dan pendidikan berkualitas merupakan tanggung jawab negara dan menjadi hak rakyat, hingga pada tataran individual rakyatnya. Maka kebijakan yang ditempuh harus menyentuh tataran distribusi kekayaan, tidak hanya berbicara aspek pertumbuhan produksi dan aspek pengelolaan sumber daya alam (SDA).
Kebijakan – kebijakan tersebut mengharuskan berpijak pada prinsip ekonomi yang disitir di dalam Surat Al Hasyr ayat ke – 7 yang menyatakan:
كيلا يكون دولة بين الاغنياء منكم
Artinya: “ Hendaknya agar kekayaan itu tidak hanya berkeliling di seputar orang orang kaya saja di antara kalian”.
Ayat ini terkonfirmasi dengan data bahwa 1 % penduduk Indonesia menguasai 50 % aset nasional (www.newsvisimuslim.org, 10/9/2019). Kesenjangan ekonomi di Indonesia menempati urutan ke-empat di dunia.
Mekanisme praktis di dalam upaya pemerataan ekonomi dan kesejahteraan, bisa ditempuh melalui 2 mekanisme yaitu mekanisme ekonomi dan mekanisme non ekonomi. Mekanisme ekonomi ditempuh untuk meningkatkan etos kerja dan produktivitas kerja. Dalam hal ini, Islam mewajibkan kepada laki – laki untuk bekerja guna menghidupi dirinya sendiri dan orang – orang yang menjadi tanggungannya.Tentu saja mutlak diperlukan pemberian pendidikan keterampilan kerja sesuai dengan minat dan kemampuannya. Di samping itu, lapangan pekerjaan juga disediakan dengan seluas – luasnya. Negara juga membolehkan bagi individu dan swasta untuk menyediakannya. Jadi yang menjadi kata kuncinya adalah keberpihakan negara hanya untuk kesejahteraan warganya sendiri.
Adapun mekanisme non ekonomi ditempuh dengan langkah negara memberikan bantuan modal dan peralatan bagi usia produktif yang memiliki keterbatasan di dalam penyediaan alat – alat produksi, serta bantuan negara kepada penduduk yang memiliki keterbatasan di dalam mengakses aset – aset ekonomi melalui zakat, infaq dan shodaqoh.
Mekanisme non ekonomi ini juga mengkonfirmasi akan besarnya sumber pemasukan negara. Tentunya pemasukan dari sektor pajak bukanlah menjadi utama. Pajak nanti hanya dikenakan kepada mereka yang mampu dari kalangan warganya yang muslim dan hanya digunakan untuk menutupi defisit anggaran sesuai dengan kebutuhannya.
Di sinilah letak urgensinya meletakkan pondasi yang kuat dan baku dalam hal pengelolaan SDA yang dimiliki negara. Ada rambu – rambu yang diperhatikan sehingga tidak terjadi kedholiman. Seharusnya semua rakyat bisa menikmati SDA tersebut, jadi terhalang karena sudah diprivatisasi dan dikuasai oleh asing dan swasta. SDA seperti bahan tambang, sumber energi (minyak bumi, batubara, dan gas bumi) serta yang keberadaannya tidak boleh dimiliki oleh individu, seperti hutan, sungai dan lautan, merupakan komoditas yang harus dikuasai negara untuk sebesar – besar kemakmuran rakyatnya.
Kalaupun di dalam pengelolaannya membutuhkan keahlian khusus maupun peralatan canggih, maka negara boleh untuk memperkerjakan tenaga ahli dengan gaji sekian, juga boleh menyewa peralatan canggih dari swasta asing maupun lokal. Jadi keberadaan mereka bukan dalam rangka menanam investasi yang ujung – ujungnya akan mempengaruhi hubungan negara dengan rakyatnya, yang semestinya pelayanan justru berubah menjadi bersifat transaksional. Untung rugi yang melandasi. Hal demikian akan bisa menciderai keharmonisan hubungan negara dengan rakyatnya.
Dengan model pengelolaan SDA sedemikian, harapannya akan mampu mensuplai dana yang cukup di dalam penyiapan masyarakat Indonesia dalam menghadapi era bonus demografi. Pendidikan berkualitas bisa diwujudkan dengan ideal, baik dari aspek keimanan ketaqwaan juga pembekalan IPTEK dan skill kerja yang mumpuni. Di samping itu, ketersediaan pendanaan yang cukup untuk memperkuat pertahanan keamanan, juga kebutuhan – kebutuhan mendesak di saat terjadi bencana alam.
Akhirnya bonus demografi akan bertemu dengan mantapnya kebijakan negara akan menghasilkan sebuah potensi besar yang menjadi modal bagi Indonesia bertransformasi menjadi negara maju. Negara maju yang mampu mengarahkan politik internasional menuju sebuah peradaban baru pasca kebobrokan era Kapitalisme. Sebuah peradaban yang mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin di bawah naungan ridho Ilahi.
Jangan sampai bonus demografi justru menjadi ancaman bagi stabilitas keamanan dan politik negara. Kesenjangan yang besar dalam hal ekonomi dan kesejahteraan yang berawal dari pengangguran yang tidak segera dituntaskan akan menjadi bumerang di era bonus demografi. Alasannya karena kemiskinan itu bisa mengantarkan orang kepada kekafiran. *Penulis tinggal di Malang