Oleh:
Ainul Mizan*
VIRAL diberitakan tentang seorang motivator yang melakukan bullying dan kekerasan. Di Malang, tepatnya di SMK Muhammadiyah 2, dalam sebuah acara motivasi kewirausahaan, seorang motivator melakukan penamparan kepada 4 siswa di depan kelas. Mirisnya, setelah memukul, oknum ini melontarkan kata “Goblok” (www.malang-post.com, Jumat 18/10/2019).
Pendidikan yang digariskan di dalam Undang – Undang Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Tentunya rumusan demikian mengharuskan di dalam proses pendidikan terjadi transfer ilmu dan adab.
Bahkan untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat, memperhatikan adab menjadi syarat mutlak. Adab di dalam mengajar dan adab saat menuntut ilmu, menjadi cakupannya. Terjadinya degradasi moral peserta didik bermula dari ketiadaan teladan adab yang baik selama proses pendidikan.
Kekerasan dan membulli yang dilakukan oleh seorang guru kepada muridnya akan melahirkan trauma. Di samping itu, hal tersebut akan menanamkan pola pikir bahwa di saat memiliki kewenangan boleh melakukan tindakan apa saja demi untuk menegakkan disiplin. Maka di titik inilah kita harus bersama – sama introspeksi. Lahirnya kekerasan di dalam MOS (Masa Orientasi Sekolah) dari senior kepada yunior yang berulang merupakan imbas dari pola pendidikan selama ini. Ditambah lagi adanya sekulerisasi di dalam pendidikan memperparah keadaan pendidikan.
Sekulerisasi dalam dunia pendidikan tampak pada 2 hal berikut ini. Pertama, tidak menjadikan asas keimanan sebagai pondasi di dalam proses pendidikan. Kalaupun ada pelajaran agama di sekolah, itu pun sifatnya hanya artifisial, belum mampu menghasilkan pembentukan kepribadian yang baik. Bila ia seorang muslim, seharusnya ia memiliki pola berpikir dan pola kejiwaan yang Islami. Halal dan haram menjadi standar nilai dalam kehidupannya.
Justru materi pelajaran agama yang ada lebih kepada tuntutan kurikulum yang berhenti pada pencapaian nilai ujian yang baik. Pendidikan agama masih belum mampu menembus dimensi kesadaran peserta didik tentang manusia itu berasal dari mana, untuk apa manusia ada di dunia dan manusia akan pergi kemana setelah kematiannya. Hal ini terlihat dari masih kentalnya asas manfaat yang ditekankan di saat peserta didik melakukan sesuatu hal yang menurut gurunya adalah sebuah kesalahan.
Sebagai contoh: tatkala seorang peserta didik bicara sendiri waktu guru menjelaskan. Yang dilakukan guru hanya mengingatkan agar memperhatikan pelajaran dengan baik kalau ingin sukses dan mendapat nilai yang bagus.
Kedua, adanya pemisahan antara pelajaran agama dan pelajaran umum, khususnya ilmu alam dan teknologi. Di dalam proses pendidikan ilmu alam dan teknologi betul – betul steril dari nilai – nilai keimanan. Yang kental terasa adalah nilai materialisme. Belajar teknologi agar nanti kalau sudah besar bisa bekerja di bidang tersebut guna meraih kemakmuran ekonomi yang mapan. Para siswa SMK mempelajari bidang keahliannya masing – masing lebih dimotivasi oleh tujuan – tujuan materi.
Memang benar bahwa tanpa ilmu pengetahuan dan teknologi, maka manusia tidak akan mampu mengolah berbagai potensi sumber daya alam bagi kehidupannya. Di sinilah urgensinya meletakkan pemahaman bahwa mempelajari teknologi sehingga dengannya bisa mengeksplorasi sumber daya alam merupakan amanah yang telah diberikan Allah SWT kepada manusia untuk memakmurkan bumi bukan untuk merusaknya. Artinya manusia di dalam mengolah sumber daya alam ini memperhatikan rambu – rambu yang diberikan oleh Sang Pencipta alam semesta. Kemajuan teknologi bukan justru merendahkan manusia akan tetapi justru memuliakan manusia.
Patutlah kiranya, penulis menampilkan sebuah fragmen dialog antara Rasul SAW dengan seseorang yang termaktub di dalam kitab Tarbiyatul Aulad karya Syaikh Abdullah Nasih Ulwan. Dikisahkan bahwa ada seseorang yang minta ijin kepada Rasul SAW untuk melakukan zina. Lantas apakah Rasul SAW marah mendengar ijin yang nyleneh ini?
Rasul SAW justru mengajukan beberapa pertanyaan yang mampu menggugah kesadarannya. Rasul SAW menanyakan, apakah ia ridho bila yang menjadi korban zina itu menimpa saudara perempuannya? Bahkan Rasul SAW menutup pertanyaannya, apakah ia ridho jika yang jadi korban zina itu menimpa ibunya? Tentunya siapapun orangnya yang masih waras tidak akan ridho bila ibunya dan saudara perempuannya menjadi korban kebejatan moral dan akhlaq. Akhirnya, Rasul SAW mendoakan orang tersebut agar selalu ditunjuki kebaikan oleh Allah SWT dan dijaga dari perbuatan dosa dan maksiat.
Dari fragmen tersebut, setiap disiplin ilmu apapun dan persoalan apapun selalu dikaitkan dengan nuansa keimanan. Dengan demikian akan termantik sebuah kesadaran, tanpa ada unsur membulli dan kekerasan yang justru akan merusak dari tujuan pendidikan itu sendiri. Walhasil, yang dituntut untuk belajar itu bukan hanya peserta didik, bahkan siapapun orangnya wajib untuk belajar. Alasannya adalah karena proses pendidikan itu akan terus berlangsung selama kehidupan ini masih ada. *Penulis tinggal di Malang,Jawa Timur