Oleh:
Ulfiatul Khomariah
Founder Ideo Media, Pemerhati Masalah Sosial dan Politik
MENGEJUTKAN. Dari 575 anggota DPR RI, MPR RI, dan DPD RI periode 2019-2024 yang dilantik, terdapat sekitar 14 artis yang terpilih menjadi wakil rakyat Indonesia. Diantaranya; Mulan Jamella (Gerindra, Jabar XI), Krisdayanti (PDIP, Jatim V), Tommy Kurniawan (PKB, Jabar V), Farhan (NasDem, Jabar I), Rano Karno (PDIP, Banten III), Nurul Arifin (Golkar, Jabar I), Nico B.P. Siahaan (PDIP, Jabar I), Eko Patrio (PAN, DKI Jakarta I), Desy Ratnasari (PAN, Jabar IV), Dede Yusuf (Demokrat, Jabar II), Primus Yustisio (PAN, Jabar V), Rieke Diah Pitaloka (PDIP, Jabar VII), Arzetty Bilbina (PKB, Jatim I), dan Rachel Maryam Sayidina (Gerindra, Jabar II).
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Wahyu Setiawan, meyakini bahwa partai politik sudah mempertimbangkan matang-matang kemampuan dan rekam jejak para artis tersebut. Masing-masing artis tersebut memiliki tujuannya masing-masing. Tentu tak dapat dipungkiri, keberadaan artis di tubuh Parpol adalah sebagai salah satu cara untuk meraup banyak keuntungan bagi Parpol yang menaunginya. Tersebab, nama mereka yang sudah mendapat tempat di masyarakat. Tapi, apakah kemudian mereka memiliki kemampuan dalam memberikan kontribusi kepada masyarakat? Mengingat, profesi artis dan politikus itu bertolak belakang. Yang satu harus pentas di atas panggung hiburan untuk menghibur rakyat, sedangkan yang satunya lagi harus pentas di panggung politik mengurus urusan orang banyak.
Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa untuk memasuki panggung politik tidaklah cukup hanya dengan menjual popularitas dan keindahan paras semata. Yang dibutuhkan adalah orang-orang yang kapabel di dalamnya, bukan hanya pandai bermain drama. Yang dibutuhkan adalah orang-orang yang cakap dalam politik dan memiliki kemampuan untuk mengemban amanah mengurusi rakyat. Sebab, politik bukanlah panggung hiburan seperti yang disuguhkan di layar kaca. Jika kemudian ranah kekuasaan jatuh ke tangan orang-orang serakah, maka semakin jatuhlah wibawa negara. Negara akan semakin rusak jika diatur oleh orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk mengurusi politik negara. Pertanyaannya, mampukah para artis membawa Indonesia menjadi lebih baik ke depannya?
Jejak Politik Artis
Lain dulu lain sekarang, gejala artis berpolitik sebenarnya sudah ramai sejak rezim Orde Baru berkuasa. Tapi, kebanyakan bukan sebagai caleg melainkan hanya sebagai juru kampanye. Namun sekarang berbeda, kebanyakan artis maju ke panggung politik bukan hanya sebagai juru kampanye, melainkan sebagai caleg. Sebagaimana yang kita ketahui siklus lima tahunan saat ini, para artis berbondong-bondong ikut masuk ke panggung politik praktis. Bahkan tak tanggung-tanggung ada 54 artis yang terdaftar sebagai caleg DPR DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Konon, semasa Orde Baru berkuasa, para artis dimobilisasi untuk mendulang suara dalam pemilu. Tiga kekuatan, Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) berusaha memanfaatkan ketenaran para artis. Misalkan Golkar, menjelang Pemilu 1971, Golkar membangun kekuatan di dunia selebritis. Partai yang kerap menang selama Orde Baru berkuasa itu mengumpulkan para artis dalam wadah Tim Kesenian Safari Artis. Menurut laporan di majalah Tempo edisi 9 April 1977, pada pemilu 1971 mereka hanya difungsikan sebagai penghibur, bukan juru kampanye.
Seiring berjalannya waktu, pada pemilu 1977 Golkar memanfaatkan jaringan artis-aris di daerah untuk dimajukan sebagai juru kampanye mereka. Alhasil, mobilisasi artis ini menghasilkan kemenangan bagi Golkar. Semisal dalam majalah Tempo edisi yang sama, di Bandung dibentuk kelompok artis bernama Bianglala yang dipimpin oleh musisi kondang Kota Kembang, Harry Rusli. Saat kampanye, mereka ditugaskan keliling Jawa Barat untuk menyuarakan kepada masyarakat agar mencoblos partai beringin. Akhirnya Golkar meraup suara terbanyak dan menang dalam kontestasi politik saat itu.
Kemenangan Golkar ini tentu menjadi lirikan parpol yang lainnya. Usahanya menggaet para artis ternyata juga dicontoh oleh PPP dan PDI. Partai PPP kemudian menggaet raja dangdut Rhoma Irama dalam Pemilu 1977. Rhoma masuk PPP, dan menjadi ikon partai itu untuk menyaingi Golkar. Dia aktif sebagai juru kampanye PPP hingga 1982. Menurut Profesor Musik dari Universitas Pittsburgh Amerika Serikat, Andrew N. Weintraub dalam bukunya Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia, Bang Haji melokalkan Islam dengan mengangkat isu sosial dan politik dalam lagu-lagu karyanya maupun pementasan.
Sedangkan pada Pemilu 1982, keterlibatan artis sebagai juru kampanye makin dilirik. PDI bahkan menggaet tiga artis yang punya basis massa fanatik, yakni aktor Agust Melasz, musisi Gito Rollies, dan penyanyi Iwan Fals. Dalam Majalah Vista nomor 5 tahun XIV 1983 Agust mengatakan, alasannya ikut menjadi juru kampanye partai banteng tersebut karena ingin ada keseimbangan. Menurut Agust, PDI seolah tak punya daya dalam sebuah gelombang besar politik Tanah Air. Sementara, Gito mengaku kasihan melihat PDI. Maka, dengan alasan itu, dia ikut kampanye. Sedangkan Iwan mengaku hanya ikut-ikutan saja. "Gue cuman seneng konvoi motor rame-rame," kata dia seperti dilaporkan majalah tersebut.
Saat ini, cara yang sama ternyata masih tetap digunakan oleh para parpol dengan menggaet para artis. Mereka tak hanya dijadikan sebagai juru kampanye, melainkan sebagai caleg seperti nama-nama yang disebutkan diatas. Memang tak bisa dipungkiri, menjadi anggota legislatif akan membawa prestasi dan prestise bagi siapapun, termasuk para artis. Mungkin publik bertanya-tanya, tidak cukupkah dunia keartisan memberikan ruang untuk aktualisasi diri? Sampai-sampai para artis harus terjun ke dunia politik?
Mengenai dunia politik, tentu kita harus memahami makna politik dan mendalami esensi keberadaan politik yang sesungguhnya. Karena sejatinya politik adalah panggung yang teramat besar untuk menunjukkan kepekaan sosial, kepedulian dan tindakan cerdas yang mampu menyelesaikan permasalahan di masyarakat secara tuntas. Politik cerdas itu mengharuskan para politikus untuk berpikir keras menyelesaikan segala masalah yang terjadi, baik masalah pemerintahan, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan yang lainnya. Dan penyelesaiannya membutuhkan kualitas kecerdasan dan keberanian level tinggi. Tentu saja tidak diselesaikan hanya oleh wajah yang rupawan, jago berdandan, kehidupan yang serba glamour, atau yang lihai dalam berakting.
Sebab, rakyat membutuhkan solusi yang realistis bukan sekedar lip service. Rakyat butuh aksi nyata bukan sekedar bermain drama. Apalah jadinya jika panggung politik dihiasi oleh orang-orang yang pandai menghibur tetapi saat ada masalah selalu kabur? Akan dibawa kemana nasib bangsa ke depannya jika Indonesia dipimpin oleh orang-orang yang tak memahami esensi politik yang sesungguhnya? Karena panggung politik bukanlah lokasi stripping untuk sinetron kejar tayang. Namun panggung politik adalah representasi suara rakyat yang harus digaungkan dan diperjuangkan tanpa sikap agnostik apalagi fatalistik.
Esensi Politik Dalam Islam
Islam adalah agama paripurna yang mengatur seluruh dimensi hidup manusia. Tak terkecuali dimensi politik juga diatur didalamnya. Oleh karena itu, gagal paham terhadap politik dalam Islam adalah kecelakaan fatal yang dialami oleh seorang muslim. Mengapa? Karena definisi dan cakupan politik dalam Islam sangatlah luas dan beradab.
Dalam Islam, urusan politik adalah masalah pengaturan urusan umat. Berpolitik adalah aktivitas yang dilakukan oleh para Nabi, termasuk Nabi Muhammad SAW. Urusan politik adalah urusan yang berat. Karena mengatur urusan umat, artinya bersedia menunaikan dan memikul segala hal yang terkait hak-hak dan kewajiban dengan pedoman Alqur’an dan Sunnah Rasulullah.
Maka dari itu para ulama menjabarkan bahwa politik dan agama adalah ibarat saudara kembar. Itu artinya orang-orang yang terjun ke panggung politik praktis meniscayakan adanya pribadi yang betul-betul memahami apa itu politik dalam arti yang sebenarnya. Bukan ajang menunjukkan eksistensi diri atau coba-coba. Mereka adalah orang-orang yang paham syariat agama. Orang-orang yang bersih. Orang-orang yang tidak memiliki keserakahan duniawi.
Pelaku politik yang baik tidak memanfaatkan aktivitas politik sebagai jalan untuk berebut kursi kekuasaan dan mempertebal kantong pribadi. Mereka paham betul bagaimana tanggung jawabnya dalam mengurusi umat. Karena mereka tahu bahwa semua urusan masyarakat yang berada di bawah kekuasaannya, semua akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT kelak. Karena itu, panggung politik bukanlah tempat unjuk gigi asal menang dan mencari eksistensi diri. Panggung politik adalah tempat menjadi khadimat al-ummah (pelayan ummat) untuk meraih Surga Allah Swt. Wallahu a’lam bisshawab.*