View Full Version
Kamis, 24 Oct 2019

Ghibah Nasional

 

Oleh:

Jamil Azzaini, Motivator

 

USAI pengumuman susunan kabinet Indonesia Maju 2019-2024, di berbagai group whatsapp saya berseliweran berbagai komentar. Ada yang positif, ada yang negatif.  Ada yang menjadikan bahan lelucon, ada yang meragukan kemampuan beberapa menteri, ada yang memberikan apresiasi, tetapi juga ada yang ghibah. 

Yang saya maksud ghibah adalah membicarkan seseorang dengan nada menyerang, merendahkan, melecehkan tanpa kehadiran orang yang sedang dibicarakan.

Melihat fenomena ini, saya teringat pesan dari guru saya “Saat ini, ada beberapa dosa besar tetapi sang pelaku merasa itu bukan dosa besar, bahkan sang pelaku menganggap biasa dan lumrah. Salah satunya adalah ghibah. Padahal dosa ghibah itu lebih besar dari dosa berzina.”

Rasulullah saw pernah bersabada “Ghibah itu lebih berat dari zina.” Seorang sahabat bertanya, ‘Bagaimana bisa?’ Rasulullah SAW menjelaskan, ‘Seorang laki-laki yang berzina lalu bertobat, maka Allah bisa langsung menerima tobatnya. Namun pelaku ghibah tidak akan diampuni sampai dimaafkan oleh orang yang dighibahnya,'” (HR At-Thabrani).

Ngeri bukan?

Ghibah biasanya diawali dari buruk sangka kepada seseorang, karena buruk sangka itu, akhirnya “kepo” dan searching tentang keburukan orang tersebut. Data, informasi dan cerita yang didapat tentang orang tersebut dijadikan bahan untuk ghibah.

Ya, buruk sangka, kepo dan ghibah adalah mata rantai yang merusak jiwa dan hati seseorang. Kualitas dosanya juga semakin meningkat. Sebagian buruk sangka adalah dosa, dosanya semakin membesar saat kepo dan mencari keburukan orang lain. Dan semakin besar dosanya saat seseorang sudah melakukan ghibah. 

Ghibah diibaratkan kita memakan bangkai daging dari saudara kita. Karena memang saat kita menghibah seseorang, orang tersebut tidak punya hak jawab karena mereka tidak berada di sekitar kita. Seolah mereka telah tiada, seolah mereka sudah menjadi mayat (bangkai). Maukah Anda memakan bangkai saudara Anda? Bila tidak mau, jauhi ghibah.

Dalam dunia kerja, pelaku ghibah ini menurut kajian Chen, Jui-Chen, Silverthorne, Colin (2008) yang dimuat dalam Leadership & Organization Development Journal akan membuat orang tersebut kinerjanya rendah, tingkat stressnya tinggi dan kepuasan kerjanya rendah.

Mengapa itu terjadi? Karena orang yang melakukan ghibah itu menghabiskan waktunya untuk mencari dan membicarakan kelemahan dan keburukan orang lain. Ia pencari “kambing hitam” yang hebat dan akhirnya tidak memiliki waktu untuk belajar dan membenahi diri.

Sang pelaku ghibah, di akherat bisa menjadi orang yang bangkrut.  Saat Anda menghibah orang lain dan Anda belum sempat meminta maaf kepada orang tersebut maka kelak diakherat kebaikan Anda akan diberikan kepada orang tersebut. Apabila itu belum cukup karena Anda melakukan ghibah yang masive maka keburukan orang tersebut akan diberikan kepada Anda. Jadilah Anda orang yang bangkrut. Mau?

Sungguh, secara profesional dan spiritual, dampak ghibah itu sangatlah buruk dan sangat merugikan. Sudah sepatutnya kita menghentikan ghibah apalagi ghibah nasional (yang dilakukan banyak pihak, serentak di banyak tempat) baik secara langsung maupun melalui social media karena hal itu bukan hanya merusak suasana tetapi juga merugikan banyak pihak, termasuk sang pelaku yang akan mendapat balasan “siksaaan” di dunia dan akherat.

Berhenti dan bertaubatlah dari perilaku ghibah. Sibukkan diri dengan membuat negeri ini lebih maju. Aktif melakukan banyak kebaikan di rumah, di kantor, di komunitas dan dimanapun kita berada. Sungguh, banyak kebaikan yang belum kita lakukan, sangat malu bila kita masih punya banyak waktu untuk melakukan ghibah. 

Salam SuksesMulia

Sumber: Jamilazzaini.com


latestnews

View Full Version