Oleh:
Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle
PIMPINAN utama organisasi Islam terbesar di dunia, Nahdatul Ulama, Said Aqil Siroj, kemarin, sebagai mana diberitakan berbagai media, meminta kita menghormati dan mendoakan Imam Besar Front Pembela Islam Habib Rizieq Sihab (HRS) . Ini berita pertama yang melibatkan suara ketua umum NU itu sejak Jokowi melantik menteri agama dari kalangan eks militer dan menugaskannya untuk membasmi radikalisme.
Suara Said Agil ini tentunya menambah besar polemik dan diskursus radikalisme di Indonesia. Sebab, yang diminta untuk dihormatinya adalah tokoh paling radikal di Indonesia. Sebelumnya kita mendengar pandangan Professor Din Syamsudin, mantan ketua umum Muhammadiyah, terkait penugasan Jokowi yang utama pada menag soal radikalisme ini, agar pemerintah mengganti kementerian agama menjadi kementerian urusan radikal. Dan isu radikal itu harus mempertimbangkan dimensi lain selain agama, seperti radikalisme ekonomi, dll.
Sebelumnya juga ekonom Dr. Rizal Ramli telah mensinyalir bahwa isu radikalisme ini sengaja dimainkan rezim Jokowi untuk menutupi situasi perekonomian nasional yang bobrok dan akan semakin buruk. Adhi Masardi, mantan juru bicara Gus Dur, dalam tulisannya “Isu Radikal, Permainan Politisi Lokal”, menekankan kekonyolan permainan isu ini. Menurutnya ini seperti anak kecil yang dimarahi orang tuanya lalu keluar rumah dan melempari rumahnya sendiri, alias merusak rumahnya sendiri dan memalukan dimata tetangga.
Margarito Kamis, dalam “Jokowi Bicara Radikalisme” (fnn. com), menyoroti bahayanya Jokowi memainkan isu radikalisme ini tanpa difinis/konsep yang jelas soal radikalisme ini. Jokowi disebutkan bisa saja membelakangi konstitusi. Sebab, sebelum konsep itu mempunyai landasan hukum yang tegas, isu itu dapat menyasar kepada kebencian tehadap umat Islam.
Suara Said Aqil ini mengandung beberapa pesan penting yang perlu kita kaji, 1) penghormatan terhadap HRS adalah penghormatan terhadap tokoh yang paling radikal di Indonesia- dalam perspektif rezim Jokowi selama ini. 2) NU arus utama menganulir sikap sikap mereka sebelumnya terhadap pandangan dan aksi FPI maupun 212, yang selama ini dikecamnya. 3) mendoakan dan menghormati HRS dapat berarti mendukung radikalisme gerakan HRS.
Mispersepsi Radikalisme
Radikal adalah sebuah kata latin “radic” yang berarti dalam atau keakar-akarnya. Sebuah pandangan radikal dikaitkan dengan konsep transformasi sosial yang dalam, sampe keakar2nya. Di barat, kosa kata ini awalnya dilabelkan pada gerakan kiri dan komunis yang ingin mengganti sistem negara kapitalis barat menjadi sosialistik. Namun, label itu kemudian disematkan juga pada gerakan2 lain yang prinsipnya menghancurkan sistem sosial yang dominan. Di Amerika misalnya, gerakan supermasi kulit putih (white supremacy), juga dilabeli dengan radikal.
Alex Schmid, dalam “Radicalization , De-Radicalization, Counter-Radicalization: A Conceptual Discussion and Literature Review”, 2013, mengemukakan perbedaan konsep antara radikal dan ekstrimis. Radikal dapat dengan kekerasan dan tanpa kekerasan, namun radikal merupakan kelompok “open-minded” atau berpikir terbuka, sebaliknya ekstrimist mempunyai pandangan sempit atau “closed minded”, yang cenderung meyakini sesuatu kebenaran dalam versi dia sendiri (mono-causal interpretation) serta cenderung menganjurkan kekerasan. Radikal cenderung bisa demokratik dan “historically,” tend to be more open to rationality and pragmatic compromise.. ”
Sebagai professor bergengsi dalam bidang radikalisme dan terorisme, Schmid menyarankan agar pembahasan soal radikalisme ini mengaitkan konteks agar tidak “misleading” dalam membuat kesimpulannya.
Seraphin Alava et. al dalam “Youth and Violent Extrimism On Social Media: Mapping The Research”, UNESCO, 2017, juga menyarankan pentingnya penggunaan isu radikalisme dalam konteks nasional tertentu. Di China, misalnya, radikalisme dan ekstrimisme hanya diarahkan pada orang2 Uighur atau radikalisme lebih diidentikkam dengan separatisme.
Di Indonesia, penggunaan kata radikal, ekstrimis dan teroris seringkali tertukar dan tidak merujuk pada suatu definisi yang pasti. Sehingga ini membahayakan dalam agenda aksi pemerintah menangani keselamatan warganya.
Dimana bahayanya?
Agenda aksi pemerintahan Jokowi. membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tanpa melalui pengadilan dalam kacamata barat disebut sebagai “illiberal democracy”. Suatu cara yang diasumsikan sebagai praktik non demokrasi dalam menegakkan atau mempertahankan demokrasi. Dalam sepuluh tahun pemerintahan SBY, misalnya, semua kejahatan politik berakhir melalui pengadilan. Karena dalam demokrasi hakim adalah orang terakhir yang menyatakan “kebenaran”. Dan HTI tidak terbukti di pengadilan melakukan kekerasan.
Bersamaan dengan pembubaran HTI, rezim Jokowi jilid satu terindikasi menyasar pada pembubaran FPI. Pemerintahan Jokowi saat itu mengulur-ulur perpanjangan ijin ormas FPI dikementerian dalam negeri.
Bahaya yang dimaksudkan di atas adalah antara “illiberal democracy” dan “freedom of speech & freedom to organize” dapat semakin kabur, tergantung dari kacamata sempit rezim penguasa. Dan ini akan mungkin mendorong negara menjadi “state actor terrorism”.
Kejahatan negara terhadap rakyatnya setidaknya mulai terindikasi dengan penemuan-penemuan Amnesti Internasional, LBH, Kontras dll bahwa negara bertanggung jawab atas kematian dan kekerasan yang dialami demontran yang menolak hasil pemilu pada 21-22 Mei 2019 dan mahasiswa yang menolak revisi UU KPK lalu.
Berbeda dengan urusan terkait ormas Islam itu, pengamat barat, khususnya kelompok Indonesianis di Australia, melihat rezim Indonesia yang berkuasa saat ini sudah kembali menjadi rezim otoritatian (Authoritarian-turn), sebagai mana dinyatakan professor Aspinal dkk dari Australia National University.
Untuk menghindari mispersepsi pada konsep radikalisme, kembali perlu melihat konteks dalam lingkup sosial politik nasional yang sedang berlangsung
Radikal dalam konteks nasional tertentu dapat di musuhi oleh sebuah negara, namun dapat difahami komunitas human rights internasional, terutama terkait aksi membela diri kelompok masyarakat dari kekerasan negara (state-actor terrorism). Kelompok bersenjata di Irlandia, IRA, misalnya, beberapa dekade lalu, mendapatkan dukungan berbagai kelompok internasional, khususnya Gereja Katolik, karena dianggap mempertahankan diri dari kekejaman pemerintah dan dukungan Inggris kala itu.
Begitu juga kelompok bersenjata di Papua, yang melakukan kekerasan terhadap penduduk Indonesia non Papua dan militer/polisi, mendapat dukungan internasional, khususnya komunitas masyarakat Israel, Australia, Inggris, negara2 pasifik dan Amerika.
Melihat radikalisme dalam konteks sebuah bangsa akan melengkapi pemahaman atas mana yang benar benar menjadi musuh bersama sebuah bangsa dan mana yang hanya menjadi komoditas politik kekuasaan tertentu.
Penutup
Said Aqil telah mendoakan dan menghormati Habib Rizieq. Habib Rizieq Sihab adalah manusia paling radikal di Indonesia. Karena perjuangan HRS adalah untuk merombak struktur sosial yang dikuasai segelintir ologarki, khususnya menurut dia Sembilan Naga. Rizieq bersumpah akan menjadikan sembilam naga menjadi sembilan cacing. Dan gerakan Rizieq mendapat apresiasi besar dari ummat Islam.
Masa lalu organisasi FPI yang pro kekerasan, selama 5 tahun terakhir ini berkembang ke arah demokrasi. Yakni melibatkan diri pada kontestasi politik via pemilu dan pilkada. Meskipun pergeseran ini belum menghilangkan luka dan keraguan kelompok2 minoritas atas FPI, yang dipersepsikan masih memasukkan kekerasan dalam aksinya.
Sejauh ini kita sudah melihat radikalisme itu dapat tanpa kekerasan tapi dapat juga dengan kekerasan. Namun radikalisme tidak harus mengarah pada ekstrimisme. Ekstrimisme, seperti gerakan Abubakar Baasyir, misalnya, tidak juga sama dengan gerakan radikalisme HRS. Radikalisme mengutuk teorisme sedangkan ekstrimisme dapat mendorong ke arah terorisme.
Pertanyaan besar kemudian bagaimana jika ulama pimpinan utama Nahdatul Ulama mendukung dan mendoakan Habib Rizieq Sihab? Bagaimana lebel yang harus diberikan pada Said Aqil Siroj?
Ini merupakan misteri dari radikalisme Said Aqil Siroj tentunya.*