Oleh:
Faris Ibrahim
Mahasiswa Akidah- Falasafah Universitas al- Azhar, Kairo
BELAJAR dari Liverpool. Ketika Suarez hengkang pasca kontroversinya menggigit Ivanovic, Brendan Rodgers tidak ambil pusing. Komentarnya santai saja: “no one bigger than Liverpool.” Sepak bola Liverpool memang sepak bola tim, bukan sepak bola bintang. Suarez hanyalah satu di antara bintang yang kemunculannya bisa saja tergantikan oleh bintang- bintang di malam yang kemudian. Nilai kebersamaan yang tersimpul dalam filosofi “we never walk alone” lebih besar dari sekedar ketenaran perorangan.
Benar saja. Bintang- bintang yang lama redup pergi. Bersinarlah bintang- bintang baru yang berhasil mengantarkan Liverpool jadi jawara Eropa. Bahkan prosesinya dengan menyingkirkan Suarez, dan tanpa Brendan Rodgers.“We never walk alone” sebagai filosofi memang sudah seharusnya melebur dalam kerja sama tim. Tidak ada yang lebih besar daripada Liverpool. Tidak boleh ada yang menyanyikan filosofi itu seorang diri.
Begitupun pemikiran para pemikir, filsafat para filsuf, semangat perjuangan para pahlawan. Itu semua, perlahan- lahan, mesti terlepas dari diri mereka para empunya‒ bersenyawa dalam diri masyarakat. Prosesi itulah yang kemudian Mālik bin Nabī sebut sebagai peralihan dari model pemikiran yang sentrisnya berada dalam diri pemikir (afkār mujassadah), kemudian pemikiran itu jadi terpisah melingkupi kesadaran masyarakat secara menyeluruh (afkār mujarradah).
Proses itu harus ditempuh dengan membangun kesadaran bahwa tidak ada yang lebih besar dari kemaslahatan bersama. Pahlawan, pemikir, tokoh, harus sekuat tenaga merawat semangat juangnya agar mengakar dalam kesadaran masyarakat. Jangan sampai kedirian mereka lebih menonjol daripada perjuangan; agar mereka tidak berubah menjadi berhala nantinya. Jadilah seperti Ashābul Kahfi, yang meninggalkan kesan, tanpa perlu mengumbar nama.
Mengutamakan Pahala di atas Pahlawan
Tak bisa dipungkiri, kematian para filsuf besar seperti Ibnu Thufail, Ibnu Rusyd, dan Ibnu Bājah di masa Muwahhidun (1133- 1269 M), bagi Mālik bin Nabī memang adalah suatu pertanda kemunduran peradaban Islam untuk pertama kali. Karena di masa itulah untuk pertama kali pemikiran sudah kehilangan kesakralannya (qadāsah). Umat Islam lebih suka membesarkan nama- nama filsufnya ketimbang memahami kecanggihan filsafat mereka.
Ketika membaca permulaan Syurut an- Nahdhah (syarat-syarat kebangkitan), sebenarnya intisari itulah yang kita temukan. Mālik bin Nabī ingin mengajak kita untuk menaruhpikiran (fikroh) selalu selangkah berada di depan pemikirnya (mufakkir). Semangat tokoh di depan tokoh. Sepertimana adagium yang tertulis di poster para mahasiswa di Aljazair yang berhasil menamatkan riwayat panjang rezimnya: “manusia datang dan pergi yang menetap adalah pikiran (pikiran).” itulah alasannya.
Kesadaran yang sama, mesti kita carap dalam memandang pahlawan. Para pahlawan rasanya juga tidak menginginkan foto- fotonya sekedar menggelantung di dinding. Sebaliknya, yang mereka inginkan malah mungkin foto- foto anak- cucu kita yang menghiasi meja- meja kerja kita. Saat mengambil keputusan- keputusan kritis, para pahlawan ingin agar kita mengingat- ingat wajah anak- cucu kita agar keputusan yang kita ambil benar- benar mutakhir, maksimal, terukur sebab- akibatnya.
Benar, para pahlawan kita bukan berhala. Sesuai namanya, yang dekat dengan kata pahala, para pahlawan adalah insan- insan tulus yang tidak mengharap dari perjuangannya kecuali pahala. Ketika pahlawan menjadi sekedar foto- foto yang tergantung, nir- perenungan terhadap semangat juangnya, ketika itulah pahlawan sebenarnya jadi berhala. Dan perlu kita ketahui, bahwa ketika berhala terbit, sudahlah barang pasti bahwa kita sebenarnya sedang hidup dalam suasana tenggelamnya pikiran.
Kita sedang tidak berpikir, ketika mengkultuskan tokoh. Makanya dalam Islam, masa paganisme disebut masa jāhiliyyah; karena pikiran tidak tumbuh di masa itu. Ketika wajah Soekarno hanya jadi sekadar hiasan- hiasan berbingkai di dinding, poster- poster di kamar, lukisan- lukisan di bak truk, tanpa ada penghayatan terhadap semangat juangnya, pidato- pidatonya yang menggelegar, marhaenisme-nya, lantas apa bedanya Soekarno dengan berhala?
Apakah hari ini kita sedang kembali ke masa- masa itu, masa jahiliah? Ketika kita malas berpikir, lebih suka menggantungkan nasib kita pada berhala- berhala yang terbarukan. Belakangan ini boleh jadi pada mereka yang berada di sebilah kertas dalam kardus lima tahunan. Simsalabim, Kita berharap keajaiban akan keluar dari kotak itu. kita gantungkan segalanya pada mereka: dalil- dalil kita kita senjatakan untuk menyerang mereka yang bersebrangan, harta kita limpahkan demi kemenangan (kelompok) mereka.
Sampai tiba saatnya yang kita harap- harapkan tidak kesampaiaan. Akhirnya kita merajuk. Pengorbanan kita hanya membentur kehampaan saja. Sambil meratap, kita meracau membabi buta menyalahkan mereka yang mematahkan harapan kita. Mereka yang berperang dalam kardus, tiba- tiba saling berpelukkan mesra di rangkaian. Makanya, jangan terlalu berharap. Perubahan itu datangnya dari diri, bukan digantungkan pada sekelompok orang (apalagi pada mereka yang di dalam kardus).
Itulah ekspresi keputusasaan kita. Dari peristiwa itu kita belajar, bahwa pahlawan itu bukan ditunggu- tunggu kedatangannya. Setiap kita punya potensi menjadi pahlawan. Bangun perubahan dari dalam diri, jangan menggantungkannya pada perorangan. Karena kaidahnya jelas sudah sebagaimana al- Qur’ān gariskan: “inna Allāha lā yughayyiru mā bi qawmin hatta yughayyiru ma bi anfushim.” Jika memang ada perubahan, kitalah yang mesti jadi pahlawannya, sebelum dan sesudah segala- galanya.
Ketergantungan yang tidak boleh Terulang
Kita, umat Islam pernah melalui masa- masa itu. Ketika tidur kita terlalu lelap sampai- sampai sejarah enggan menoleh pada kita. Untungnya, Jamāluddīn al- Afghani dari negeri Afghan lantang kumandang azannya. Seruannya: “hayya alal falāh” membangungkan kita dari lelap. Kita terjaga, lalu saling bertanya: sudah berapa lama kita tidur? Apa saja yang sudah kita lewatkan?. Monolog al- Afghani, seketika jadi percakapan.
Agar tidak terulang lagi masa- masa panjang menunggu tukang azan, makanya Syaikh Yūsuf al- Qardhāwi di bukunya Aina al- Kholal menekankan pentingnya ketidakbergantungan pada tokoh. Pemikiran tokoh adalah milik bersama. Kritik- mengkritik mereka biasa saja. Tak perlu sungkan. Apalagi ada rasa- rasa menghinakan. Kaidahnya kan jelas. Sebagaimana imam Mālik intisarikan: “setiap orang diambil perkataannya dan ditolak kecuali penghuni kuburan ini (Rosūlullāh ﷺ ).”
Secara mendasar Islam memang menyeru kita untuk menghindari segala bentuk pengkultusan. Al- Qur’ān mengariskan itu dengan jelas: “wa mā Muḥammadun illa rosūlun qad Kholat min qablihi ar- rusul.” Hatta Nabi Muhammad ﷺ ‒ insan paling mulia di muka bumi‒ Allāh mengingatkan kita untuk tidak bergantung padanya. Karena benar apa yang dikatakan Abū Bakar: “barang siapa yang menyembah Muhammad, maka Muhammad telah wafat. Barang siapa yang menyembah Allāh, ketahuilah bahwa Ialah yang kekal abadi.”
Di momen hari pahlawan yang mulia ini kita sama- sama belajar tentang itu: mengenang mereka para pahlawan dengan cara mencerabut diri mereka dari ketenaran, dengan menghayati dan meneruskan perjuangan mereka saja. Nyatakan ketulusan mereka yang ingin dikenang sebagai insan yang banyak pahala bagi agama, bangsa dan negara, bukan sebagai berhala. Berhenti bergantung pada manusia, karena yang satu- satunya pantas menyandang sifat ṣhomad (tempat bergantung) hanya Allāh semata.Allāhu a’lam.*