View Full Version
Senin, 18 Nov 2019

Pendidikan Agama yang Tersandera

 

Oleh:

Ifa Mufida, Pemerhati Kebijakan Publik

 

BELUM usai kiranya gaduh akibat larangan penggunaan cadar dan celana cingkrang bagi ASN, sekarang ada wacana yang tak kalah mengerikan. Kabarnya kementrian Agama (Kemenag) tengah merombak 155 buku pelajaran agama. Dirombak karena dianggap mengandung konten yang bermasalah. Perombakan dilakukan untuk buku materi pelajaran agama mulai kelas 1 SD hingga kelas 12 SMA. Wacana ini pun menadapatkan dukungan penuh dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim.

Menteri Agama Fachrul Razi mengatakan sudah ada tim untuk merombak buku pelajaran agama Islam. Sementara mengenai penghapusan sejarah khilafah masih terus dikaji (liputan6.com, 12/11). Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag Kamaruddin Amin, konten Khilafah termasuk konten bermasalah, karena berpotensi dimaknai salah oleh peserta didik. Harus ada penjelasan bahwa Khilafah ada dalam sejarah. Maka, Kemenag menganggap perlu melakukan penulisan ulang terhadap buku-buku agama di sekolah kita di seluruh Indonesia.

Perombakan buku agama Islam sebenarnya bukanlah wacana baru dan mengejutkan. Sebab Kementerian Agama pada periode sebelumnya juga ada wancana untuk merombak buku agama Islam. Kemenag   menyatakan, tidak ada lagi materi tentang perang dalam pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) di madrasah. Hal itu diimplementasikan pada tahun ajaran baru 2020.

Nampaknya Islam dan ajarannya tengah menjadi perbincangan bangsa ini, dari kalangan rumput hijau dan di tataran pemerintah. Meskipun di tataran pemerintahan justru stigma yang dimunculkan adalah stigma yang menakutkan. Framing Islam dengan jargon radikal terus digoreng untuk dijajakan kepada masyarakat. Mungkin diharapkan masyarakat  bisa terkena virus  islamophobia, bahkan kepada mereka yang beragama Islam.

Di sisi lain, pendidikan agama adalah salah satu upaya pendidikan beragama agar bisa menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama tersebut. Melalui pendidikan agama diharapkan masyarakat bisa mengenal pokok-pokok agama sehingga mereka bisa beribadah secara sempurna. Ajaran agama seharusnya diambil secara utuh, bukan sebaliknya diperlakukan seperti prasmanan dimana pemeluknya bisa mengambil sesuka mereka. Menjalankan ajaran Islam secara sempurna oleh pemeluknya harusnya menjadi hak yang dijamin oleh pemerintah.

Ironi, di negeri yang katanya memberikan kebebasan warga negaranya justru membatasi ajaran agama yang dipeluk oleh mayoritas warga negaranya. Padahal kebebasan beragama di negeri ini “katanya” dijamin. Dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia ada pada konstitusi, yaitu Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”): “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.

Namun ternyata hal tersebut justru tidak berlaku untuk Islam. Islam dengan kesempurnaan ajarannya justru terus dibatasi, bukan hanya dalam tataran untuk mengamalkan bahkan dalam tataran ajaran (pemikirannya). Mungkin ada ketakutan yang luar biasa kegemilangan Islam akan kembali. Mungkin Islam dianggap menjadi ancaman yang akan mengakhiri hierarki politik negeri ini. Padahal secara historis, masuknya Islam ke Nusantara adalah buah dari dakwahnya wali songo yang mereka diutus oleh pemerintahan Turki Utsmani saat itu. Hingga akhirnya dakwah Islam menyebar di seluruh wilayah nusantara. Pahlawan Islam juga menjadi garda terdepan saat itu dalam mengusir penjajahan di negeri ini.

Satu hal lagi, perombakan buku ini dikatakan bahwa tujuannya adalah dalam upaya memoderasi Islam. Artinya, Islam akan dicitrakan sama seperti agama lainnya yang dinilai lebih modern, terbuka dan toleran. Inilah proyek pluralisme. Seperti wacana Kemenag sebelumnya untuk menghapus materi perang yang sebenarnya adalah bagian dari ajaran Islam yaitu jihad. Padahal sepanjang sejarah, Islam lah satu-satunya yang telah sukses mengajarkan toleransi yang sesungguhnya.

Terlebih toleransi yang dijalankan Islam ini, menjadi contoh bagi masyarakat peradaban lain. Bahkan toleransi Islam, langgeng terasa hingga era akhir Khilafah Utsmaniyah. Seorang Orientalis Inggris, TW Arnold berkata: “The treatment of their Christian subjects by the Ottoman emperors -at least for two centuries after their conquest of Greece- exhibits a toleration such as was at that time quite unknown in the rest of Europe…” [Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Khilafah Turki Utsmani –selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani– telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa…] (The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith, 1896, hal. 134). Toleransi dalam Islam telah diakui bukan hanya dari kalangan muslim tetapi banyak oleh kalangan non-muslim juga.

Dan kini, di bawah demokrasi yang konon menjunjung tinggi hak asasi manusia, justru Islam terus dieksekusi bahkan dikerdilkan. Layaklah dikatakan bahwa kebebasan beragama di Indonesia saat ini telah tersandera. Tersandera oleh apa? Tersandera oleh kepentingan rezim untuk meneguhkan kekuasaannya. Tersandera untuk menutupi kegagalan ekonomi dalam mensejahterakan rakyatnya. Tersandera untuk mengalihkan publik dari perpolitikan demokrasi yang hipokrisi.

Padahal Islam adalah agama Rahmatan Lil A'alamiin adalah satu-satunya agama yang bisa memberikan solusi terhadap permasalahan manusia. Islam bukan hanya hadir untuk pemeluknya tapi sebagai agama yang menyejahterakan untuk semua makhluk-Nya. Maka sudah selayaknya Islam menjadi pilihan terhadap segala permasalahan yang ada saat ini. Wallahu a’lam bi shawab.*


latestnews

View Full Version