View Full Version
Kamis, 21 Nov 2019

The Real Bhinneka Tunggal Ika

 

Oleh:

Keni Rahayu, S.Pd

Ibu Muda dan Penggerak Remaja

 

BHINEKA Tunggal Ika. Berbeda-beda tapi tetap satu jua. Semua perbedaan suku, agama, ras tidak menjadi sekat di antara rakyat di Indonesia. Sebaliknya, malah menjadi perekat untuk mempersatukan tujuan, yaitu kebaikan untuk Indonesia tercinta.

Mari kita lihat heterogenitas masyarakat di Indonesia. Ribuan pulaunya, macam-macam pula suku bangsanya. Beberapa agama diakui di Indonesia. Indonesia memang negara majemuk.

Sayangnya, hari ini Indonesia gawat radikalisme. Heterogenitas tidak menghantarkan Indonesia pada kesatuan tujuan. Meski telah dikata ,"tetap satu jua". Ini dibuktikan dengan banyaknya menteri Indonesia kabinet maju bertugas untuk memberantas radikalisme.

Menteri agama bukan ngurusi keagamaan rakyat, tapi malah mengupayakan deradikalisasi. Sepertinya, radikalisme berbahaya sekali. Saking bahayanya menteri pertahanan, menteri dalam negeri, Kapolri, mekopolhukam, menteri pendidikan, kemenpan-RB semua punya tugas mengurusi radikalisme. Wah, seberapa darurat ya radikalnya Indonesia?

 

Islam Meniscayakan Heterogenitas

Allah swt. berfirman dalam QS. Al Hujurat ayat 13 yang artinya: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal ... "

Islam telah membuktikan: persatuan dalam kemajemukan adalah mungkin. Manakala rasulullah saw memimpin Madinah, tidak hanya umat Islam yang menjadi warga negara daulah. Tetapi, juga ada kafir Yahudi, dan Nasrani. Semua hidup rukun dalam naungan kepemimpinan rasulullah.

Sejatinya, Islam lah the real Bhinneka Tunggal Ika. Dalam individu, ia menghargai. Dalam negara, ia mengayomi. Itulah Islam.

Bagaimana dengan Indonesia? Apakah bekennya radikalisme di Indonesia disebabkan oleh heterogenitas? Bukankah Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan khas bangsa Indonesia?

Rakyat Indonesia dikenal dengan sifatnya yang ramah. Murah senyum adalah ciri khasnya. Neriman adalah tabiatnya. Memahami banyaknya variasi suku dan agama di negeri sendiri, rupa-rupanya bukan masalah bagi rakyat Indonesia. Mereka akan mudah menerima dan bisa legowo menjalani kebinekaan teman-temannya.

Aneh, jika rakyat Indonesia yang dikenal legowo ini, jadi saling berseteru (katanya) akibat radikalisme. Siapa yang radikal, penduduknya saja saling ramah tegur sapa. Faktanya, isu radikalisme melesat bak busur panah mengindikasikan Islam sebagai penyebabnya. Lebih aneh lagi.

Islam sudah meniscayakan keanekaragaman. Sehingga mustahil kalau Islam mengajarkan perseteruan dalam keanekaragaman tersebut. Radikal dalam arti negatif yang disenter ke umat Islam jelas bukan ajaran Islam.

Itulah ideologi kapitalisme. Ia telah nyata diemban oleh bangsa Indonesia, yang menyebabkan kerusuhan terjadi di mana-mana. Termasuk radikalisme, hanya Allah yang tahu kebenaran narasinya. Yang jelas, radikal bukanlah ciri bawaan orang Indonesia, apa lagi  Islam.

Jadi, masihkah para pembaca yang budiman percaya jika radikalisme itu benar adanya? Bukankah ketika penguasa ramai menggembar-gemborkan isu radikalisme melalui media malah menjadikan rakyat bingung dan takut.

Akibatnya, rakyat jadi tersekat dengan pikiran masing-masing sembari sibuk menuding dalam hati: tetanggaku radikal, temanku radikal dan saudaraku radikal. Mereka jadi saling mengambil jarak, berpisah dan menyendiri. Inikah yang dinginkan para Tuan? Wallahu a'lam bishawab.*


latestnews

View Full Version