View Full Version
Senin, 25 Nov 2019

ASN, Haruskah Pemerintah Membungkam Kebebasan Bersuaranya?

 

Oleh: Ifa Mufida 

Portal aduan untuk  Aparatur Sipil Negara (ASN) telah diluncurkan. Bersamaan dengan penandatangan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang penanganan radikalisme bagi ASN dari 12 lembaga tinggi negara dan kementrian. Mereka adalah Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi (PANRB), bersama Kemendagri, Kemenag, Kemenkominfo, Kemendikbud, kemenkumham, BIN, BNPT, BIPP, BKN, dan KASN. Memang sejak awal kabinet baru membawa misi deradikalisasi, termasuk untuk ASN.

Menurut Kemeninfo, situs ini memberi akses kepada masyarakat agar mereka mudah melakukan pengaduan ASN. Menurut beliau juga, situs ini dibuat demi menjaga nilai kebangsaan ASN. Sebab merekalah garda terdepan pendukung utama jalannya pemerintahan dan negara.

“Bisa saja ada yang barangkali melihat Indonesia dari kacamata yang lain. (Jadi) perlu diingatkan, perlu disampaikan agar kembali bahwa ideologi dan konstitusi negara ini adalah satu kesepakatan final kita sebagai bangsa,” papar Menkominfo.

Ada 11 poin jenis aduan yang bisa menjerat PNS. Pertama, teks, gambar, audio, dan video yang memuat ujaran kebencian terhadap Pancasila dan UUD 1945. Kedua, teks, gambar, audio, dan video yang memuat ujaran kebencian terhadap salah satu suku, ras, agama, dan antar golongan. Ketiga, menyebarluaskan pendapat melalui media sosial (share, broadcast, upload, retweet, repost, dan sejenisnya). Keempat, pemberitaan yang menyesatkan atau tidak dapat dipertanggung jawabkan. Kelima, penyebarluasan pemberitaan yang menyesatkan baik secara langsung maupun lewat media sosial.

Memang, ASN dianggap adalah prajurit dari penguasa yang harus tunduk patuh kepada mereka. Mencermati seluruh poin yang ada, ASN diatur sedemikian rupa agar tunduk sepenuhnya pada pemerintah. Mereka tak bisa leluasa berpendapat dan menyalurkan aspirasi. Bahkan untuk sekedar like atau share dipantau agar mereka tidak ceriwis terhadap rezim. Padahal, andaikata boleh mengkritik, mungkin mereka sudah panas dingin dulu karena jeratan UU ITE siap menanti.

Sebab, selama ini teori dan praktik selalu multitafsir. Pasal ujaran kebencian sendiri pada praktiknya justru diterapkan pada mereka-mereka yang vokal mengkritik kebijakan. Lalu disematkan pula tuduhan anti Pancasila dan anti NKRI. Parameter anti Pancasila dan NKRI sendiri juga tidak pernah jelas. Indikator dugaan radikalisme juga kabur dan samar-samar. Maka, situs ini sangat rentan disalahgunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan narasi radikalisme dan ujaran kebencian.

Padahal yang lebih utama ASN adalah sebagai pelayan rakyat. Harusnya mereka juga diberi hak untuk bisa menyampaikan pendapat kepada penguasa berkenaan dengan kondisi masyarakat. Kritik diberikan untuk menyuarakan suara rakyat dan pendapat sebagai solusi umat. Kritik juga untuk menyeimbangkan roda pemerintahan. Tujuan utamanya agar pemerintah mau menjadi pengayom rakyat. Yang penting, kritik bukan  ditujukan untuk meruntuhkan kekuasaan. Lalu mengapa harus dilarang?

Dari sini bisa kita lihat bahwa demokrasi yang sejatinya dibangun atas kebebasan ternyata telah dinodai. Kebebasan bersuara yang harusnya diberikan ruang karena bagian dari hak asasi manusia nampaknya sudah tak memiliki asa, hampir mati. Dibunuh oleh pengusungnya sendiri. Kebebasan bersuara telah disandera oleh kepentingan mereka yang memegang kendali. Lebih ironis, faktanya selama ini ancaman untuk bersuara hanya ditujukan bagi mereka yang oposisi. UU ITE misalnya, terbukti hanya “mematikan” mereka yang berseberangan penguasa negeri.

Padahal di balik upaya pembungkaman ini ada segudang masalah membelit negeri ini. Wajar jika  sangat banyak tokoh mengungkapkan bahwa deradikalisasi bermuatan politis. Pertama, isu ini untuk melanggengkan kekuasaan hierarki. Yang kedua, isu ini untuk menutupi kegagalan rezim untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan negeri ini. Terutama dalam hal ekonomi.

Bisa kita lihat, berbagai kebutuhan pokok harganya pada naik tak terkendali. Iuran BPJS dipaksakan naik seratus persen, untuk menutupi pailit yang dialami. Pengguna listrik 900watt dicabut subsidi listriknya. Hutang negara yang semakin meroket. Ditengah ekonomi yang kian sulit, beban pajak semakin membuat rakyat terjepit. Banyaknya perusahaan yang gulung tikar dan PHK besar-besaran menunjukkan lapangan kerja semakin sempit. Itu semua adalah bukti nyata pemerintah tidak mampu memberikan solusi konkrit. Maka dialihkanlah problematika yang terjadi menjadi isu memerangi deradikalisasi dan pembersihan birokrasi. Sungguh Ironis!

Maka, tidak selayaknya kita masih mempertahankan demokrasi yang hipokrisi ini. Berbeda dengan Islam yang justru mendorong aktifitas muhasabah dan meng-kriritik kepada penguasa. Sebagaimana sabda Rasulullah saw secara khusus telah memuji aktivitas mengoreksi penguasa zalim, untuk mengoreksi kesalahannya dan menyampaikan kebenaran kepadanya: “Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zhalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Hakim dan lainnya).

Di satu sisi, sangat ditekankan bahwa penguasa dalam Islam adalah pelayan rakyat. Sangat dholim penguasa yang tidak mengutamakan kepentingan umat. Terlebih pemimpin yang mengabaikan aturan Allah SWT, Sang penguasa alam raya. Semoga Allah SWT segera mengangkat segala kedhaliman yang terjadi di negeri ini dan menggantinya dengan keadilan hakiki. Keadilan yang berasal dari Allah Ilahi Rabbi. Wallahu A'lam bisa showab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version