Oleh:
Chudori Sukra
Anggota Mufakat Budaya Indonesia (MBI), Pengasuh Pondok Pesantren Riyadlul Fikar, Serang, Banten
“Tolong jangan bebani saya dengan ujian seberat ini, wahai Umar.”
Demikian kata-kata Said bin Amir kepada sahabatnya, Umar bin Khattab, yang saat itu menjabat sebagai khalifah.
Ketika melihat gelagat Mu’awiyah yang cenderung ambisius dan hedonistik, Umar menghendaki sistem pemerintahan dikelola oleh figur-figur yang sederhana dan bersahaja (zuhud). Sebagai pemimpin dan khalifah, Umar memanfaatkan hak vetonya untuk menggeser kedudukan Mu’awiyah (selaku gubernur Damsyik) serta menggantikannya dengan Said bin Amir.
Peta politik seketika berubah. Meskipun memiliki keutamaan, nama Said bin Amir kurang dikenal luas di kalangan para sahabat Nabi. Sebagai pendatang Muhajirin yang miskin dan cenderung introvert, Said memiliki sikap kesatria yang sudah terbaca oleh Umar.
Di samping kualitas moral yang tinggi, Said pun memiliki sikap tegas dalam wawasan politik, serta mental kepahlawanannya yang tangguh (baca: "Kebaikan dan Kesalehan" di www.alif.id).
Ketika Umar menerima banyak protes dan kritikan dari orang-orang yang kurang kompeten, justru Umar memanfaatkan kewenangannya dengan memberi ultimatum, “Boleh saja kalian tidak mengenal Said bin Amir, tetapi Allah dan para malaikat sangat mengenal tipikal orang semacam dia!”
Cobaan yang dihadapi Umar bukan saja dari lawan-lawan politiknya, melainkan sebaliknya, dari pihak Said telah mengemukakan penolakannya ditunjuk sebagai gubernur Damsyik, “Tolong jangan bebani saya dengan ujian seberat ini, wahai Umar.”
“Demi Allah, wahai Said bin Amir,” jawab Khalifah Umar, “Saya tidak akan melepaskan Anda! Kalau orang-orang semacam Anda menolak untuk membantu saya, lantas untuk apa kalian memilih dan membai’at saya dengan amanat kekhalifahan ini?”
Tidak ada pilihan bagi Said selain menerima jabatan gubernur Damsyik. Ia berangkat bersama istrinya yang cantik, yang masih berstatus pengantin baru. Umar memberikan perbekalan secukupnya, karena mereka berdua memang tidak memiliki uang yang cukup untuk bekal perjalanan ke kota itu.
Setelah beberapa bulan menjabat gubernur, dan secara ekonomi keluarga Said mulai mapan, istrinya mengusulkan agar menabung sebagian dari penghasilan suaminya selaku gubernur.
Namun beginilah jawab sang suami, “Bagaimana kalau kita investasikan sebagian dari penghasilan kita kepada orang lain. Damsyik ini adalah kota yang makmur, perdagangannya maju pesat, lebih baik kita gunakan uang ini sebagai modal usaha yang kita amanatkan kepada orang lain.”
Lewat perjalanan waktu, uang yang rencananya dipakai modal usaha, dimanfaatkan Said membeli perbekalan kebutuhan keluarganya dalam jangka panjang. Kemudian sebagiannya, disedekahkan untuk fakir-miskin.
Setelah beberapa bulan berselang, sang istri menangkap isyarat seakan-akan suaminya telah berdusta. Karena sesungguhnya, Said tak pernah menginvestasikan uangnya kepada siapa pun. Ia hanya tersenyum ketika sang istri mendesaknya agar menjelaskan apa adanya.
“Saya tidak berbohong, wahai istriku,” jawab Said. “Saya telah menginvestasikan uang itu dengan membelanjakannya di jalan Allah, yang tentu keuntungannya akan lebih besar untuk kita berdua di akhirat nanti.”
Sang istri merasa kecewa dan menangis tersedu-sedu. Pada saat demikian, Said merasa tergoda oleh kecantikan istrinya, dan ia mengakui secara jujur bahwa ia sangat mencintainya, serta takut kehilangan dirinya.
Di tengah kecamuk godaan memenuhi hasrat dan keinginan istrinya, hampir saja ia terjerumus pada gaya hidup mewah dan hedonistik. Namun kemudian, ia berkata tegas mengingatkan istrinya:
“Wahai istriku, saya punya sahabat-sahabat baik yang lebih dulu meninggalkan saya. Saya tidak ingin menyimpang dari jalan mereka, dari jalan yang telah diamanatkan Rasulullah, Abu Bakar, Umar, dan para sahabat lainnya. Kalaupun saya mati saat ini juga, di akhirat nanti akan banyak bidadari cantik yang siap melayani orang-orang baik dan jujur selama hidup di dunia.
Kalaupun saya harus memilih, tidak mungkin saya mengorbankan bidadari-bidadari cantik di surga untuk mempertahankan satu wanita di dunia ini. Lebih baik saya meninggalkan yang satu untuk mendapatkan mereka kelak di akhirat!” Sang istri akhirnya menyadari bahwa tidak ada jalan lain yang membawa maslahat dan kedamaian, selain mengikuti apa yang menjadi pilihan hidup suaminya."
Pada suatu hari, Khalifah Umar mengadakan inspeksi ke seluruh wilayah pemerintahannya. Ketika berkunjung ke Kota Damsyik, ia mendengar sebagian penduduk sangat menyukai gaya kepemimpinan Said bin Amir. Namun, sebagian lain mempersoalkan serta memberikan kritik tajam (baca: "Sebaiknya Menanggapi Kriik Sastra" di www.kawaca.com).
Umar menampung semua aspirasi masyarakat, lantas mengajukan beberapa catatan yang perlu diketengahkan ke hadapan Said. Di antaranya, sering kali Said melakukan tugasnya ketika matahari sudah tinggi (agak siang).
Ia juga tidak terbiasa melayani masyarakat pada malam hari. Dalam satu bulan, kadang-kadang sehari atau dua hari ia meliburkan diri dan tidak mau menemui warga sama sekali. Di samping itu, fisiknya agak lemah, karena beberapa kali ia menangis dan jatuh pingsan, tanpa diketahui sebab musababnya.
Setelah membayangkan sosok Said atas keluhan-keluhan warganya, Umar tersenyum lembut. Karena pada prinsipnya, ia memahami tipikal kepemimpinan Said, serta membayangkan gambaran dirinya yang tak jauh beda dengan karakter sahabatnya itu.
Umar sudah menebak apa yang menjadi jawaban Said ketika dikonfrontasikan di hadapan rakyatnya, guna mempertanggungjawabkan apa-apa yang dipersoalkan mereka. Dan beginilah jawaban Said bin Amir.
"Sesungguhnya saya tidak ingin dan tidak suka menyebutkan alasan-alasannya, mengapa saya mempunyai cara-cara seperti yang telah saya lakukan. Tapi karena didesak kalian dan atas perintah Khalifah Umar, saya akan menjelaskannya, dan semoga Allah mengampuni dan memaafkan langkah-langkah yang saya tempuh selama ini…”
Mengenai ia melakukan tugasnya agak kesiangan, karena keluarganya tidak ingin mempekerjakan seorang pelayan atau pembantu rumah-tangga. Sejak pagi buta, Said mempersiapkan masakan untuk sarapan keluarganya. Gubernur itu mengaduk tepung sendiri, mengeramnya selama beberapa waktu, kemudian mencetak dan memasak roti untuk sarapan keluarganya.
Mengenai ia tidak mau melayani pada malam hari, karena sebagian dari waktu malamnya dipergunakan berzikir, mengkhususkan diri beribadah kepada Allah SWT. Kemudian mengenai hari ketika ia meliburkan diri, tak lain karena ia harus mencuci pakaiannya sendiri serta menjemurnya seharian hingga kering.
Selanjutnya, mengenai tiba-tiba menangis dan jatuh pingsan, Said pun menyampaikan testimoni berdasarkan pengalamannya semasa jahiliyah, ketika ia belum memeluk Islam.
Suatu hari seorang sahabat Rasul, Khubaib bin Anshari diarak di atas tandu. Tubuhnya dilukai dan dicincang hingga tewas. Melihat peristiwa itu, Said hanya berpangku tangan. Ia tidak berbuat apa-apa, seakan-akan tega menyaksikan sahabat Nabi dipersekusi dan diperlakukan sewenang-wenang.
Ketika terlintas dalam bayangannya bagaimana seorang sahabat diperlakukan seperti itu tiba-tiba tubuh Said gemetar, takut akan azab Allah karena sikap diam dan berpangku tangan itu. Pada saat itulah tiba-tiba tubuhnya lunglai dan ia pun terjatuh pingsan.
Setelah memberikan penjelasan tersebut, Said meneteskan air mata hingga membasahi wajahnya. Umar tak kuasa menahan diri, ia segera merangkul dan memeluk Said sambil berseru dengan gembira, “Alhamdulillah, rupanya benar firasatku. Berkat taufik Allah, selama ini saya tidak salah memilih.”
Lewat perjalanan waktu, beberapa pejabat tinggi kemudian mengusulkan, meskipun kehidupan Said bin Amir begitu zuhud dan bersahaja, setidaknya para kerabatnya, atau paling tidak, pihak keluarga dan saudara istrinya, perlu diberi tunjangan untuk kemakmuran dan kesejahteraan mereka. Demikianlah hingga Umar pun mengajukan usulan tersebut.
“Apa yang mereka maksudkan dengan kemakmuran dan kesejahteraan? Jangan paksakan saya untuk memiliki persepsi yang sama tentang kemakmuran hidup? Tolong jangan bebani saya dengan ujian seberat ini!”
Apa yang dinyatakan Said bin Amir dapat dipahami oleh pemimpin sekalas Umar bin Khattab. Said mengemukakan pernyataan religius yang sulit dipahami oleh orang-orang seperti Mu’awiyah. Di akhirat kelak, Said tidak mau tertinggal oleh barisan orang-orang yang terdahulu masuk surga, terutama Rasulullah dan para sahabatnya yang memilih hidup sederhana dan bersahaja.
Ketika para malaikat membariskan mereka kelak, serta menghisab pertanggungjawaban para pemimpin yang memikul amanah rakyat, Said pun akan menjawab sama dengan mereka, “Apa yang mesti dipertanggungjawabkan dari orang seperti kami yang hidup apa adanya, serta tidak memiliki kemegahan duniawi untuk dihisab.”
Malaikat akan diam terpaku, memberi rasa hormat, serta mengantarkan mereka ke dalam barisan orang-orang yang pertama kali masuk surga. Subhanallah.*