Oleh:
Hafis Azhari
Alumni Ponpes Daar el-Qolam, penulis novel Pikiran Orang Indonesia dan Perasaan Orang Banten
SUATU hari, terketuklah dalam hati saya ingin berjumpa dengan seorang sahabat dari guru saya, almarhum Kiai Rifa’i Arief. Konon, beliau satu angkatan dengan Kiai Rifa’i sewaktu mondok di Ponpes Darussalam, Gontor. Berarti keduanya adalah murid dari mendiang K.H. Imam Zarkasyi, pendiri pesantren modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur.
Ia dikenal sebagai kiai Banten yang zahid. Kata “zahid” adalah ismul-fa’il dari “zahada”, yang berarti orang sederhana atau bersahaja. Bukti kesederhanaan itu bisa dilihat secara kasatmata, terutama dari saung tempat tinggalnya yang terbuat dari bilik anyaman bambu. Bahkan ketika saya salat di masjidnya, nampak sejadah-sejadah tikar dari anyaman bambu terhampar di dalamnya. Sebagai seorang kiai sepuh beliau (tak mau disebutkan namanya) memberikan fatwa-fatwa yang kemudian saya petik hikmah yang terkandung di dalamnya. Tetapi, karena saya harus berbagi ilmu dengan para pembaca – sebagaimana para sahabat Nabi yang juga berbagi ilmu kepada para tabi’in dan tabi’it-tabi’in – maka penyebutan nama adalah suatu keniscayaan sejarah.
Mobil saya parkir di halaman samping kediamannya. Di depan saungnya tertulis larangan merokok dan menghidupkan handphone, maka HP pun saya matikan. Seketika muncul rasa sungkan dan waswas, jantung terasa deg-degan, meskipun tetap saya putuskan untuk memberanikan diri mengucap salam. Kemudian, muncullah Kiai Mufassir dari balik pintu saungnya, mempersilakan saya duduk, dan kami pun berhadapan duduk bersila bersamanya.
Tak berapa lama, saya memulai pembicaraan sambil memperkenalkan diri sebagai murid dari almarhum Kiai Rifa’i Arief, pendiri ponpes Daar el-Qolam. Terpancar pada sorot matanya berkaca-kaca, seakan mengenang sahabat lama ketika masih bersama-sama mondok di pesantren Gontor, Ponorogo, puluhan tahun silam.
Banyak penulis menyebut namanya dengan kata “Munfasir”. Setelah saya kroscek pada yang memiliki nama, sepertinya beliau merasa nyaman dengan sebutan “Mufassir” yang berarti “ahli tafsir”. Tetapi, apalah arti sebuah nama (menurut William Shakespeare), meskipun kita patut meneladani pesan dan sabda Rasulullah, bahwa seorang ayah wajib memberi nama anak-anak mereka dengan panggilan yang baik-baik.
Kiai sepuh Banten yang mencapai usia 80-an ini dikenal zahid, wara dan qana’ah. Sangat berhati-hati dalam mengucap kata-kata, apalagi bila menyangkut fatwa tentang perpolitikan Indonesia. Saat itu, beliau mengakui dirinya baru pulih dari sakit selama beberapa minggu di pembaringan, sehingga batuk-batuk kecil menyertai obrolan kami selama satu jam lebih.
Sebagai ahli tafsir dan ushul fiqh, banyak ustad dan para kiai bertandang untuk menimba ilmu, menanyakan persoalan yang dijawab langsung oleh fatwa sang kiai. Di sisi lain, banyak pula para pejabat, pengusaha dan politisi, meminta doa restu sambil meminum air putih yang sudah didoakan beliau, sehingga apa-apa yang menjadi hajat dan rencana mereka akan terkabul dengan izin Allah Swt.
Konon, sering terjadi perihal datangnya para pengusaha dan pejabat korup memohon doa restu dari beliau, sambil membawa tas besar berisi uang pecahan seratus ribuan. Tetapi, beliau menolak kehadiran mereka, yang berarti menolak untuk mendoakannya. Yang menjadi pertanyaan bagi orang yang berpikir realistis seperti saya, “Dari mana beliau tahu bahwa orang yang hadir itu adalah seorang yang korup atau pemakan uang rakyat?”
Tak habis pikir, barangkali ada sinyal atau firasat yang membisiki beliau bahwa akan ada tamu yang memiliki niat dan maksud yang tidak baik, sehingga perlu diwaspadai atau ditolak mentah-mentah. Cara berpikir semacam ini tak lepas dari gugatan orang seperti saya yang berpikir realistis, “Lalu, bagaimana beliau tahu bahwa orang itu punya niat jahat, minta doa untuk hal-hal negatif, atau siapa tahu orang jahat itu berniat untuk bertobat atau meminta nasihat, dengan berupaya mendatangi seorang kiai yang dikenal sebagai kiai besar dan kiai sepuh Banten?”
Kalau saja Rasulullah punya keahlian untuk memprediksi segala sesuatu, tentu beliau akan menghindari Perang Uhud yang meluluhlantakkan sebagian pasukan dan pengikutnya, sehingga melukai beliau sendiri sampai tanggal giginya oleh pasukan pemanah musuh yang mengambil-alih posisi bukit yang semula diduduki oleh pasukannya? Di sisi lain, Rasulullah juga bukan ahli peramal, sehingga tak mampu menghindari Kaum Thaif yang memusuhi dan melempari beliau dengan batu, sampai-sampai beliau harus bersembunyi dari kejaran mereka yang hendak membunuhnya. Peristiwa ini terulang kembali ketika beliau harus menyelamatkan diri bersama seorang sahabatnya, Abu Bakar, lalu bersembunyi di Gua Tsur, suatu tempat terpencil yang jarang ditapaki oleh jejak-langkah manusia pada masa itu.
“Oleh karena itu, saya takut, Dik,” ujar Kiai Mufassir dengan pandangan menerawang.
“Kenapa harus takut, Pak Kiai?” tanya saya.
Waduh, apakah Kiai Mufassir takut pada saya yang omongannya terlalu vulgar dan blak-blakan? Ataukah beliau takut menghadapi realitas hidup yang kaya begini ini, yang memang harus dihadapi apa adanya. Semuanya serba dipergilirkan, kadang kita di atas kadang ada di bawah, kadang kaya kadang miskin, kadang sehat kadang sakit, kadang mulia kadang hina, kadang bahagia kadang menderita. Kondisi seperti ini, dipergilikan secara adil kepada setiap manusia dan hamba Allah, tak terkecuali Nabi Muhammad yang maksum juga. Apakah seorang kiai dan ulama sedemikian mulia dan maksumnya, sampai melebihi kemaksuman Nabi, sehingga ia mampu memprediksi datangnya masa sakit, miskin, hina atau menderita, lalu punya keahlian khusus untuk menghalau dan membatalkannya?
Bukankah yang dianjurkan Rasul agar kita sanggup menerima kenyataan hidup yang semestinya sesuai dengan hukum alam, tak boleh melawan takdir atau mendahului kehendak Tuhan? Ketika kita dipergilirkan sakit dan menderita, maka jalan terbaik adalah bersikap sabar dan lapang dada. Tetapi, ketika kita dipergilirkan sehat dan bahagia, senantiasa kita harus berbanyak rasa syukur dan takwa kepada Allah Swt. Lalu, mengapa banyak orang yang memaksakan kehendak untuk segera sehat sebelum waktunya dipergilirkan untuk hidup sehat? Mengapa banyak orang memaksakan diri untuk segera menjadi kaya dan berkuasa, sebelum Tuhan memberinya kekayaan dan kekuasaan yang diridhoi oleh-Nya?
“Saya bukannya takut kepada adik, tetapi kepada Allah!” tegas Kiai Mufassir.
Serta-merta saya bersyukur dan merasa senang, bahwa rasa takut yang beliau tunjukkan langsung menuju pada kebesaran Allah Yang Maha Memiliki kewenangan untuk mengabulkan hajat dan kehendak manusia. Tadinya saya merasa sok “percaya diri” (pede) jangan-jangan Kiai Mufassir takut kepada saya, yang sebenarnya memang kurang berwibawa untuk ditakuti. Saya yang cenderung gegabah dan ceplas-ceplos, kadang membuat lawan bicara merasa riskan tentang apa lagi yang akan dipertanyakan.
Mudah-mudahan bukan persoalan pribadi atau rahasia keluarga atau perihal cincin, gelang bahar, rajah atau tasbih dan sorban bertuah dan segala tetek-bengek jimat lainnya.
Obrolan saya dengan Kiai Mufassir terhenti seketika, saat muncul beberapa orang santri membawa botol-botol aqua agar didoakan oleh sang kiai. Mereka membuka tutup botol itu satu-persatu, kemudian sang kiai memejamkan mata sambil membaca doa-doa dan memegang ujung botol-botol itu dengan telapak tangannya. Setelah para santri menutup botol-botol itu, mereka berhamburan mencium tangan sang kiai, kemudian pamit menuju kamar dan asramanya masing-masing.
“Justru inilah yang paling saya takuti,” ujar Kiai Mufassir sambil menghela nafas dalam-dalam.
“Maksud Pak Kiai?” pancing saya lagi.
“Mereka datang kepada saya, dari para santri, ustad, kiai, termasuk para pengusaha dan pejabat tinggi dari daerah hingga pusat. Setelah hajat dan keinginan mereka tercapai, saya takut jangan-jangan mereka menduga sayalah yang mengabulkan hajat mereka, sehingga mereka menjauh dari Allah. Saya takut mereka memandang saya secara berlebihan, sampai-sampai mereka menganggap tidak ada peran Allah sama sekali, karena sayalah yang memberi permintaan mereka. Saya kira banyak orang Indonesia berpandangan seperti itu, hingga mereka hanya siap diberi kelapangan oleh Allah, tetapi tak pernah siap ketika berada dalam kesempitan. Mereka hanya punya mental untuk siap menang dan sukses, tetapi tak memiliki kekuatan jiwa untuk menerima kegagalan dan kekalahan. Padahal, hidup manusia tidak selamanya berada di atas, mereka juga harus siap dipergilirkan Allah ketika harus berada di bawah.”
Inti dari pernyataan Kiai Mufassir bahwa orang-orang yang kuat imannya, bukanlah orang yang serba takut lalu menghindari kenyataan hidup ketika posisinya berada di bawah. Tetapi, orang yang terlatih dan terampil menyikapi kondisi hidup, biarpun dalam posisi lapang maupun sempit. Mereka pintar menyikapi kelapangan dengan rasa syukur, serta mahir menyikapi kesempitan dengan sabar dan tabah. Inilah orang Banten yang kuat imannya. Bukan mereka yang grusa-grusu, pontang-panting mendatangi dukun, lalu menuntut dan mendesak Tuhan agar disegerakan nasib baik bagi mereka. Kadang juga mendatangi kiai atau orang pintar untuk memohon dan meminta pada Allah, tetapi tak pernah mau mempelajari etika yang baik dalam berdoa kepada Sang Khalik.
Kualitas kekiaian dan keulamaan Kiai Mufassir – dalam pengakuan dan kejujurannya itu – bukan pada rasa takutnya pada penguasa, pengusaha, atau orang berpengaruh manapun di negeri ini. Tetapi, justru karena rasa takut itu hanya ditujukan pada Allah Swt. Karena boleh jadi, apa yang kita pandang buruk ternyata baik di mata Allah, dan apa-apa yang kita pandang baik selama ini, ternyata buruk dalam pandangan Allah.
Karena itu, percayalah dan yakinlah pada keadilan Allah. Sungguh, nasib baik dan buruk itu dipergilikan kepada semuanya, tanpa pandang bulu. Jika Anda saat ini dalam keadaan kaya, mulia dan bahagia, maka bersiap-siaplah, karena suatu saat nanti Allah akan mempergilirkan hidup Anda berkekurangan, hina bahkan menderita. Ini bukan soal karma atau kutukan, sehingga ada orang Indonesia yang merasa berhak tersenyum melihat kemalangan dan penderitaan orang lain.
Ini semata-mata soal siklus kausalitas atau hukum alam (sunatullah) yang juga dialami dan dipergilirkan untuk hamba sekelas Kiai Mufassir, para alim-ulama, bahkan dialami juga oleh junjungan Nabi besar Muhammad Saw. Dalam bahasa religius, ini adalah perkara tauhid, sahabatku, apakah selama ini kita memiliki hati yang jujur dan bersih, bahwa tiada tuhan lain yang dijadikan pegangan selain Allah saja. Apakah kita sebagai orang Indonesia sudah benar-benar ber-Islam dengan baik, ataukah syariat Islam yang kita amalkan selama ini masih diselubungi oleh mitos-mitos, sikap riya, ingin dipuji, atau merasa takut kepada pejabat, penguasa yang dianggap sebagai atasan kita?
Oleh karena itu, kita semua harus tekun menuntut ilmu agar terampil menjadi ahli syukur dan ahli sabar, sehingga kita senantiasa siap pada saat Allah menempatkan kita pada posisi lapang maupun sempit, sukses maupun gagal, menang maupun kalah, bahagia maupun menderita… Alfatihah…*