Oleh:
M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik
BUKAN reuni 212 yang biasanya dilaksanakan bulan Desember tetapi ini adalah agenda aksi 21 Februari yang dimotori FPI dan GNPF. Tema aksi adalah menguak mega korupsi yang berhubungan dengan kasus perampokan dana asuransi Jiwasraya senilai awal 13,7 Trilyun dan membengkak menjadi 16 Trilyun karena semakin banyak pihak yang telah jatuh tempo pembayaran. Terindikasi juga skandal serupa pada asuransi Bumiputera dan Asabri.
Peristiwa perampokan dana Jiwasraya direaksi dengan empat spektrum
Pertama, langkah hukum yang sudah menjadikan beberapa orang sebagai tersangka yaitu Hary Prasetyo, Benny Tjokrosaputro, Heru Hidayat, Hendrisman, dan Syahmirwan. Konon menurut Kejaksaan Agung akan bertambah tersangka ini.
Kedua, aspek politik yaitu dengan telah terbentuknya Panja DPR RI dan perjuangan beberapa Fraksi agar terbentuk Pansus. Demikian juga guliran penggunaan hak angket dicoba dilakukan. Pengusutan politik jika dilaksanakan serius juga akan mengarah pembongkaran penggunaan dana Jiwasraya untuk Pilpres 2019.
Ketiga, reaksi ekonomi yang memunculkan analisis pengamat ekonomi bahwa kasus Jiwasraya siginfikan mempengaruhi kelancaran dunia usaha. Bahkan telah “membantu” mengarahkan kondisi menuju fase “krisis ekonomi”. Pemerintah sendiri mulai merencanakan “boilout” membayar cicilan dengan alasan berdampak sistemik.
Keempat, aksi sosial. Ini reaksi nyata publik terhadap kasus besar yang menimpa negara yang menununjukkan ketidakmampuan Jokowi mengelola Pemerintahan. Rencana aksi 212 yang akan dilaksanakan pada 21 Februari yang akan datang merupakan manifestasi kekecewaan publik khususnya umat Islam tersebut.
Memang selayaknya kasus Jiwasraya dibongkar habis, karena cara “bermain” dan merampok uang rakyat dengan pola penggorengan saham adalah budaya mafia. Kongkalikong kelas tinggi yang melibatkan elit politik. Halus tapi menggerus.
Aksi 212 di depan gedung DPR yang akan datang adalah strategis sebagai wujud kepedulian umat Islam terhadap kemungkaran besar yang dihadapi bangsa. Umat tidak bisa hanya menjadi penonton. Aspirasi disampaikan melalui saluran yang benar. Anggota parlemen didorong untuk lebih peka terhadap perilaku culas pemimpin negara.
Aksi ini pun merupakan dukungan terhadap para wakil rakyat yang sedang berjuang melalui koridor politiknya. Komitmen kerakyatan partai politik mendapat ujian. Seperti biasa pembelahan pemihakan selalu terjadi. Akan tetapi aspirasi suara publik akan semakin besar gaungnya.
Dugaan kaitan penggunaan dana Jiwasraya untuk Pilpres 2019 harus terklarifikasi dengan baik untuk membuktikan apakah kemenangan itu didapat dengan cara halal atau haram. Jika haram maka semua cabang kebijakan akan menjadi haram pula. Menteri haram, Komisaris atau Direksi BUMN haram, kenaikan tarif dan harga haram, omnibus law haram, infrastruktur yang dibangun haram, dan ibukota yang baru pun kelak adalah produk haram.
Keberkahan Ilahi tak akan diberikan pada negara yang dikelola jauh dari amanah. Rakus dan sewenang wenang. Agar tidak terjadi malapetaka bangsa maka rakyat selayaknya melakukan koreksi.
Aksi 212 nampaknya menjadi bagian dari langkah koreksi tersebut.
Mari kita hindari tampilnya Pemerintah yang bersertifikat haram.*