View Full Version
Jum'at, 07 Feb 2020

Antara Poligami dan Politik

 

Oleh:

Chusnatul Jannah

Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

 

BAHASAN poligami kembali viral. Karena beredarnya video istri pertama yang mengantar suaminya menikah lagi. Lebih menghebohkan lagi si istri pertama yang mencarikan calon untuk suaminya. Kisah ini pun laris manis diperbincangkan  di jalanan maya. Ditambah lagi bumbu baper tingkat dewa ala emak-emak milenial. Ada yang merasa kasihan dengan si istri. Ada yang menghujat si suami. Banyak pula yang kagum dengan kelapangan hati istri yang mau berbagi suami. Dalam hal ini, saya tidak akan membahas pro dan kontra seputar poligami. Secara hukum syariah, poligami adalah bagian dari ajaran Islam. Dalam Islam, poligami merupakan perkara mubah. Boleh dilakukan, boleh juga tidak. Suka-suka pelakunya karena tidak ada paksaan dalam perkara mubah.

Dalam hal ibadah, poligami adalah perkara fardiyah, bukan muamalah. Jadi ya sah-sah saja mereka berpoligami. Itu hak individu. Karena Allah sendiri tak melarang. Hanya saja, ada rambu-rambu yang wajib dijalankan bagi suami yang mau berpoligami. Yakni kewajiban berbuat ma'ruf kepada sang istri. Jangan salah kaprah lagi. Agar poligami tak dijadikan isu seksi kaum feminis-gender. Lantaran salah penerapan, peluang mencitraburukkan Islam terbuka lebar dengan tema 'poligami'.

Sayangnya, perkara mubah semacam poligami ini lebih cepat viral dibanding perkara wajib lainnya. Dibahas kesana kemari tak ada habisnya. Sementara masih banyak persoalan umat yang tersisihkan dari jarak pandang kita. Bukankah Allah berikan seperangkat aturan yang terbentang luas dalam al quran? Ada perkara wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah. Disinilah terkadang fokus bahasan kita melebar. Yang mubah dibesar-besarkan. Yang wajib menjadi terabaikan.

Lantas, dimana korelasi poligami dan politik? Dalam kehidupan sosial, kita tidak terlepas dari aktivitas politik. Bahkan poligami juga bisa dijadikan bahan politik. Semisal termarginalkannya peran domestik perempuan karena poligami. Bahasan poligami bisa mengandung unsur politik bila sudah mengarah pada aspek kesetaraan antara laki- laki dan perempuan. Isu ini sering dipakai kaum feminis gender untuk mengobok-obok syariat Islam yang satu ini.

Dalam status hukumnya, poligami itu mubah, sementara berpolitik itu wajib. Sebagaimana Rasulullah bersabda, "Barangsiapa di pagi hari perhatiannya kepada selain Allah, maka Allah akan berlepas dari orang itu. Dan barangsiapa di pagi hari tidak memperhatikan kepentingan kaum muslimin maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin)". Dalam al quran ada perintah menegakkan hukum Allah yang termaktub dalam surat Al Maidah ayat 44 yang berbunyi, "…Barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir ". Politik adalah riayah su'unil umat (mengurusi urusan umat). Jadi, setiap muslim diharuskan berpolitik. Bukan dalam arti politik ala demokrasi yang hanya berkutat pada persoalan pemilu, bagi jabatan dan kekuasaan.

Dalam satu kasus poligami mungkin hanya melibatkan pihak keluarga terkait. Sementara dalam politik bisa melibatkan penguasa, pejabat, rakyat, dan kebijakannya. Korban poligami mungkin istri dan emak-emak baper yang merasa senasib dan sepenanggungan. Sementara korban politik bisa seluruh rakyat Indonesia. Seperti gimik politik pejabat yang katanya merakyat tapi bikin melarat negara. Seperti penguasa yang katanya berpihak pada rakyat, faktanya kebijakannya sengsarakan mereka.

Inilah yang terkadang tidak dipahami sebagian kaum muslim. Ogah bahas politik, tapi ngegas kalau berbicara poligami. Rajin menghidupkan sunnah Nabi, tapi sunnah Nabi dalam pemerintahan seringkali tak mendapat tempat dan perhatian. Seperti wajibnya menegakkan syariat Islam dalam bermasyarakat dan bernegara. Mari hidupkan sunnah Nabi seutuhnya. Bukan hal yang disuka saja, tapi semuanya. Sebab, sudah semestinya setiap muslim berislam kaffah. Bukan setengah Islam, sebagian sekuler. Apalagi sekuler kaffah. Naudzubillah.*


latestnews

View Full Version