View Full Version
Sabtu, 15 Feb 2020

Memaknai Pancasila dan Nasehat Buya Hamka

 

Oleh:

Ali Mustofa
Penulis Buku

 

PERNYATAAN Kepala BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), Prof. Yudian Wahyudi, yang menyatakan bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama, benar-benar telah membuat geger publik Tanah Air.

Sontan saja pernyataan ini membuat geram masyarakat, terutama umat Islam yang notabene bagian yang dimaksud kaum beragama mayoritas di negri ini. Bahkan MUI merespon cepat agar Yudian segera di pecat dari jabatannya sebagai Kepala BPIP.

Desakan pemecatan itu tentu tak mengherankan sebab apa yang disampaikan oleh yang bersangkutan adalah ungkapan fatal dan sangat keliru. Padahal jelas, pada Sila pertama Pancasila adalah sungguh sangat agamis yang  menyebutkan "Ketuhanan Yang Maha Esa". Kecuali kalau kalimatnya sudah diganti "Tidak Berketuhanan Yang Maha Esa" maka statement Kepala BPIP benar.

Oleh karenanya, yang benar itu justru sebaliknya, musuh Pancasila itu adalah yang tanpa Agama atau tidak Beragama. Seperti paham komunis, itu bisa dikatakan musuh pancasila.

 

Pancasila yang Luwes

Sebagai sebuah falsafah, Pancasila memang luwes untuk dimasuki oleh ideologi manapun. Karena memang rumusannya yang sederhana. Dalam sejarahnya, sebelum menjadi Pancasila, dahulu dirumuskan diantaranya Tri Sila dan Eka Sila.

Syahdan, pada implementasinya Pancasila banyak dipengaruhi oleh ideologi yang ada di dunia seperti sosialisme dan juga kapitalisme. Sementara hasilnya belum bisa  mengantarkan negeri ini untuk peroleh kemerdekaan yang sejati. Penjajahan fisik bisa di usir pergi, tapi penjajahan non fisik tetap bercokol di negri ini.

Tapi sayang, pengalaman ini belum dijadikan pelajaran. Bahwa negri ini butuh sebuah solusi konkrit untuk membebaskan diri dari  penjajahan. Tiada lain adalah dengan penerapan sistem Islam. Selain karena tuntutan Tauhid, sistem Islam juga untuk menuju negri yang di rahmati Allah, maju dan sejahtera, baik bagi muslim maupun non muslim.

 

Ideologi Islam sebagai Implementasi Pancasila

Sejatinya Sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang juga menyiratkan makna mentauhidkan Allah ini belum terwujud kecuali dengan penerapan sistem Islam secara keseluruhan. Sebab implementasi tauhid diantaranya juga berarti menjadikan aturan-Nya sebagai pedoman dalam pribadi,  keluarga, maupun negara.

 

Sikap Seorang Muslim

Prof. Buya Hamka dalam bukunya berjudul "Urat Tunggang Pantjasila" menulis sebuah nasehat berharga bagaimana sebaiknya sikap seorang muslim dalam memaknai Pancasila. Berikut nasehatnya:

'Marilah kita kaum muslim berdjuang dalam urat tunggang pantja sila. Sila Ke tuhanan jang Maha Esa sadja, ja'ni dengan artinja jang penuh. Karena bilamana berdjuang dengan Sila Ke tuhanan Jang Maha Esa sadja, didjamin, akan terpeliheralah Sila Jang empat lagi.

Dan mana tahu entah suatu waktu dikurangi satu, misalnja kebangsaan atau dihilangkan sama sekali, namun Ke tuhanan Jang Maha Esa akan tetap dalam sadjanja, jang meliputi segala matjam Sila.

Atau mana tahu, karena mendalamnja Ke-tuhanan Jang Maha Esa itu, karena dia sadja Urat tunggang dari segenap Sila, entah tumbuh pula Sila-sila jang lain lagi. Pantja Sila, Sapta Sila, Seribu Sila. Karena buatan manusia tidaklah tetap, dan buatan Tuhan djugalah jang tetap.

Dan mana tabu, entah datang lagi beberapa pertjobaan kedalam Negara kita ini, karena angin2nja telah tampak. Ada Sila jang gugur, ada Sila jang tergontjang, ada urat jang tertjabut. Pada waktu itu hanja satu sila sadja jang akan tetap, tidak akan dapat ditjabut.

Ketuhanan Jang Maha Esa. Manusia datang, dan manusia pergi. Keadaan bertukar, dan keadaan berganti. Tjobaan datang, dan angin ribut pantjaroba. Sesudah angin ribut, sesudah selebat-lebat hudjan turun, matahari akan tjerah kembali, serta kembali kepada kemurniannja, dan satu tetaplah tinggal jaitu KETUHANAN JANG MAHA ESA". (Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, Pustaka Keluarga Djakarta, 1951).

Wallahu A'lam.*

 


latestnews

View Full Version