Oleh:
Asyari Usman, wartawan senior
PROF YUDIAN Wahyudi, Ketua BPIP, tampaknya betul-betul menantang Yang Maha Kuasa. Sehari setelah dia membuat kegaduhan karena mengatakan agama adalah musuh terbesar Pancasila, dia meminta agar umat beragama menempatkan konstitusi di atas kitab suci. Dalam urusan bernegara. Kita sebut saja ini sebagai “gebrakan kedua” Yudian.
“Gebrakan kedua” ini disampaikannya kepada Tempo pada 13 Februari 2020. “Gebrakan pertama” dalam narasi agama (Islam) musuh terbesar Pancasila dia sampaikan dalam acara “Blak-Blakan detikcom” pada 12 Februari 2020.
Dan, ingat, lagi-lagi Yudian hampir pasti mengarahkan “gebrakan kedua” ini ke umat Islam yang berkitabsucikan al-Quran. Apa dasar dugaan “gebrakan kedua” ini ditujukan ke umat Islam? Karena umat Islam mayoritas, dan geliat umat Islam-lah yang selalu menimbulkan dampak ke semua lini kehidupan.
Baik, kita bertanya. Apa urgensi yang mendorong Yudian mengeluarkan imbauan agar umat beragama menempatkan konstitusi di atas kitab suci?
Selama 70 tahun lebih, tidak pernah ada yang mempersoalkan posisi kitab suci (termasuk al-Quran) di mata konstitusi. Tanpa harus menyebutka bahwa “dalam berbangsa dan bernegara, konstitusi menjadi pegangan”, semua komponen umat Islam selalu mematuhi konstitusi. Tidak perlu ada imbauan dari ketua BPIP.
Yudian memang menggunakan istilah “dalam bernegara”. Tetapi, frasa yang berbunyi “konstitusi di atas kitab suci” akan dimaknai oleh siapa pun (termasuk umat Islam dengan kitab suci al-Quran) sebagai ujaran yang merendahkan kitab suci itu. Sebab, bagi umat Islam, al-Quran adalah panduan suci, agung, dan tak boleh berubah. Yang datang langsung dari Allah SWT untuk urusan dunia-akhirat. Sedangkan konstitusi adalah pasal-pasal yang dibuat manusia sesuai keperluan duniawi.
Yudian pastilah paham kitab suci al-Quran sangat sensitif bagi umat. Meminta umat agar memposisikan al-Quran di bawah konstitusi, mutlak akan menyulut reaksi keras. Apalagi, ujaran ini dilontarkan tak lama setelah dia menteorikan “agama musuh terbesar Pancasila”.
Kenapa tiba-tiba Yudia mengusik posisi kitab suci di mata konstitusi? Padahal, dia sadar narasi “konstitusi di atas kitab suci” itu akan menimbulkan kegaduhan lagi bagi umat Islam.
Kita menjadi semakin ingin tahu, apakan Yudian mengeluarkan semua narasi tentang agama (Islam) musuh Pancasila dan kitab suci (al-Quran) di bawah konstitusi, hanyalah sekadar ingin menunjukkan bahwa dia memiliki visi dan misi untuk BPIP? Atau, mungkinkah ada pesanan dari berbagai pihak dan kelompok yang tidak ingin umat Islam kuat? Atau, apakah Yudian sendiri memang membenci Islam dan umat Islam?
Jika ditelusuri jejak akademisnya, Yudian disebut-sebut sebagai seorang intelektual Islam yang “hebat”. Dia doktor lulusan McGill University di Kanada. McGill terkenal sebagai sarang Islam liberal. Yudian adalah dosen pertama perguruan tinggi keislaman yang magang di Harvard Law School di Amerika Serikat (AS). Dia juga menjadi dosen di Tufts University, Massachusetts, juga di AS. Yudian ikut dalam Asosiasi Profesor Amerika.
Yudian disebut fasih berbahasa Arab. Dia bisa berbahasa Inggris dan Prancis. Menulis dan menerjemahkan banyak buku.
Prof Yudian pulang ke Yogyakarta dan menjadi rektor UIN Sunan Kalijaga. Di kampus ini pula, Abdul Aziz mempertahankan desertasi S3 tentang hubungan seks di luar nikah yang tidak haram kalau dilakukan di ruang pribadi atas dasar suka sama suka. Seperti diketahui, desertasi Abdul Aziz itu menyulut reaksi keras dari para ulama dan masyarakat Islam ketika kegaduhan itu terjadi Agustus 2019.
Tetapi, kata sejumlah penulis, Prof Yudian itu arogan atau sombong ketika berhadapan dengan lawan-lawan intelektualnya. Sebutlah ini semacam “kesombongan horizontal”. Kesombongan horizontal ini, konon, dia pamerkan dalam tulisan-tulisan yang ditujukannya kepada para akademisi lain yang sebidang dengannya.
Nah, mungkinkah kesombongan horizontal Yudian itu semakin subur begitu dia dilantik menjadi ketua BPIP? Ketika dia sekarang masuk ke ring satu Istana? Wallahu a’lam.
Yang jelas, dia sangat kental menempatkan Pancasila di atas agama Islam. Dan dia meminta agar umat Islam memposisikan al-Quran di bawah konstitusi. Gagasan ekstrem ini pastilah memunculkan kegaduhan. Publik menjadi resah karena dia sekarang mengepalai lembaga penting yang akan melahirkan “fatwa-fatwa” tentang keagungan Pancasila.
Yang dikhawatirkan, Prof Yudian sedang tergiring oleh kesombongan horizontalnya menuju kesombongan vertikal. Ini sangat menyeramkan. Sebab, kesombongan vertikal itu terarah ke Langit. Yaitu, kesombongan di depan Allah SWT. Semoga saja tidak.*