Oleh:
Arie Nurfianti, S.Pd.I
MENJADI guru di era sekarang tentu berbeda tantangannya dengan menjadi guru pada masa 10 dan 20 tahun yang lalu. Ini adalah masa 4.0. masa digital, masa bertebarannya gadget dengan berbagai aplikasinya. Mau tidak mau, guru masa kini mesti melek literasi digital, harus mampu adaptif dengan kemajuan zaman yang serba digital. Tentu dengan tetap memegang teguh idealisme seorang guru yang mesti layak digugu dan ditiru.
Guru masa kini tentulah diharapkan mumpuni mendidik siswa sesuai dengan tujuan pendidikan, mesti mampu juga mengatasi problem siswa yang beraneka ragam di era digital ini. Siswa yang kecanduan gadget, siswa yang malas membaca buku dan cenderung menjadikan google sebagai panduan belajar, sampai siswa yang otaknya terpapar pornografi akibat penggunaan ponsel pintar yang salah arah.
Agar guru madrasah dapat memfungsikan dirinya dalam mendidik di masa digital ini, tentu saja selain melek literasi digital, menguasai teknologi digital, guru pun mesti punya landasan dan arahan yang benar dalam menjalankan tugasnya. "Hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku untuk kalian, serta Aku ridha Islam sebagai agama kalian". Begitulah Allah berfirman dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 3. Jadi landasan & arah pendidikan pun kita kembalikan kepada Islam sebagai agama yang sempurna & universal.
Islam memiliki keunikan, dari segi wilayah ajarannya, Islam bukan hanya agama yang mengurusi masalah spiritual (ruhiyah), akan tetapi juga meliputi masalah politik (siyasiyah). Dalam aspek politik, Islam adalah ajaran yang mengatur urusan kehidupan seperti ekonomi, politik, sosial, pemerintahan, pendidikan, sanksi, dan sebagainya. (Abdurrahman, 1998: 17).
Dalam konteks pendidikan, Islam telah memberikan rincian mengenai asas, tujuan, dan metode pendidikan. Contoh implementasinya dipraktikan langsung oleh Rasulullah saw dan diikuti oleh generasi pemimpin setelahnya.
Sebelum mendidik siswa, guru madrasah tentu mesti faham tentang konsep pendidikan yang ada di dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Allah swt akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu (lihat Al-Quran surat Al-Mujadalah ayat 11 dan surat Az-Zumar ayat 9). Tentang kewajiban menuntut ilmu bagi seorang muslim, ada di dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Adi & Baihaqi dari Anas r.a. sebagaimana yang dikutip oleh Al-Baghdady (1996: 13).
Dalam tataran implementasi, kaidah dan prinsip Al-Quran dan Hadits Nabi tersebut secara historis telah sukses dipraktikan dan membawa perubahan besar terhadap peradaban umat manusia selama belasan abad. Disebutkan oleh Al-Baghdady (1996: 59), bahwasanya Umar bin Khaththab telah memberi gaji lima belas dinar (kurang lebih 63, 75 gram emas) setiap bulan kepada tiga orang guru di Madinah yang mengajar anak-anak. Disamping itu, Rasulullah saw telah menentukan tebusan tawanan Perang Badar berupa keharusan mengajar sepuluh orang Kaum Muslimin. Ini semua membuktikan bahwa masalah pendidikan menjadi perkara vital di dalam Islam.
Paradigma pendidikan dalam Islam tentu terkait dengan paradigma Islam itu sendiri. Dengan kata lain, paradigma Islam merupakan sumber dari paradigma pendidikan.
Pemahaman tentang hakikat manusia menjadi landasan dalam menyusun arah pendidikan, pun dalam peningkatan kualitas guru. Hakikat manusia sebagai hamba Allah membawa konsekuensi untuk senantiasa taat kepada aturan Allah swt. Maka pendidikan harus diarahkan untuk membentuk kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah) yang tangguh, yaitu manusia yang memahami hakikat hidupnya dan mampu mewujudkannya dalam kehidupan.
Dalam misinya sebagai khalifatullah, manusia berperan memakmurkan bumi. Dengan berbekal aturan Allah, manusia diharapkan dapat menata kehidupan dengan benar. Dengan penguasaan sains dan teknologi (termasuk teknologi digital), manusia diharapkan dapat mengambil sebaik-baik manfaat dari sumber daya alam yang ada. Oleh karena itu, disamping untuk membentuk kepribadian Islam, pendidikan juga diarahkan untuk membekali siswa dengan pemahaman tsaqofah (ide-ide) Islam serta penguasaan sains dan teknologi. Jadi pendidikan dalam pandangan Islam merupakan upaya sadar dan terstruktur serta sistematis untuk mensukseskan misi penciptaan manusia sebagai hamba Allah dan khalifah Allah di bumi (Yusanto, 2004: 47). Ini harus difahami betul oleh guru madrasah sebelum menjalankan tugasnya mendidik siswa.
Namun tuntutan dan paradigma yang mulia tersebut tidak sempurna wujudnya saat ini, akibat dominasi sistem sekuler yang mengakar di berbagai bidang kehidupan termasuk sistem pendidikan. Akal, daya cipta, dan kreatif menjadi lumpuh bahkan mati. Pendidikan sekuler memang telah memberi pengetahuan, akan tetapi kekeliruan dan kemandulannya telah mengakibatkan hilangnya di tengah manusia pakar ilmu yang arif, pemimpin yang ikhlas, para mujtahid dan fuqaha, serta ahli tafsir dan ahli teknik yang mendalami berbagai ilmu pengetahuan. Penggunaan teknologi digital pun menjadi salah arah dan menambah persoalan di dunia pendidikan.
Sekularisasi pendidikan juga telah melahirkan dualisme kelembagaan formal. Ada sekolah yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan Nasional dan ada sekolah yang berada di bawah naungan Kementerian Agama. Terdapat kesan bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan dan teknologi (IPTEK) adalah suatu hal yang berada di wilayah bebas nilai, sehingga sama sekali tidak tersentuh oleh standar nilai agama. Kalaupun ada, hanyalah etika yang tidak bersandar pada nilai agama. Sementara pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius. Dengan dualisme ini, pendidikan sekuler akhirnya melahirkan banyak output pendidikan yang mumpuni dalam IPTEK tapi cacat iman, tidak jujur dan kurang adab. Dihasilkan juga output yang pintar agama tetapi gagap dalam IPTEK.
Tentang tujuan pendidikan dalam rangka pembentukan kepribadian Islam, telah banyak definisi dan berbagai teori tentang kepribadian. Namun sebuah definisi harus memenuhi syarat-syarat definisi yang benar dan sesuai dengan realitasnya. Menurut Abdurrahman (2004: 1), definisi yang benar harus bersifat jami' (komprehensif) dan mani' (protektif). Artinya definisi itu harus menyeluruh meliputi seluruh aspek yang dideskripsikan dan memproteksi sifat-sifat di luar substansi yang dideskripsikan. Dari sini, layaklah diambil definisi kepribadian Islam yang telah diungkapkan oleh al-'alamah Syekh Taqiyyuddin An-Nabhani. Menurut beliau (An-Nabhani 2003: 1), bahwa kepribadian setiap manusia terdiri dari aqliyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola sikap). Kepribadian tidak ada kaitannya dengan bentuk tubuh, asesori, dan sejenisnya. Manusia istimewa disebabkan akalnya, dan perilaku seseorang menunjukkan tinggi rendahnya akal seseorang. Tingkah laku seseorang tergantung dari pemahamannya.
Kepribadian Islam menjadikan aqidah Islam sebagai tolok ukurnya. Dengan aqidah Islam itulah, terbentuk pola pikir & pola sikapnya. Pola pikir Islam adalah berfikir berdasarkan Islam, yaitu menjadikan Islam sebagai satu-satunya tolok ukur untuk seluruh pemikiran tentang kehidupan, jadi bukan sekedar untuk kepuasan intelektual. Sedangkan pola sikap Islam adalah menjadikan Islam sebagai satu-satunya asas dalam kecenderungan untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya. Ketika pola pikir dan pola sikap seseorang sudah berasaskan Islam, maka seseorang tadi sudah memiliki kepribadian Islam. Inilah yang Islam harapkan dari seluruh output pendidikan, menghasilkan siswa yang berkepribadian Islam. Sehingga kelak apapun posisi dan peranannya dalam kehidupan akan tetap menjadi orang yang lurus.
Guru tentu saja ikut berperan penting dalam mewujudkan kepribadian (syakhshiyyah) Islam pada siswa. Idealnya guru harus terlebih dahulu memiliki kepribadian Islam, karena guru adalah orang yang akan membentuk kepribadian Islam pada siswa. Guru menjadi teladan bagi siswa. Guru mesti meng-up grade diri agar memiliki kepribadian Islam yang tangguh.
Berikutnya, mendidik siswa agar berkepribadian Islam tentu saja mesti membutuhkan metode pembelajaran yang tepat. Menurut Yasin (2007: 21) metode pembelajaran merupakan proses penyampaian pemikiran dari pengajar kepada anak didik dengan menggunakan berbagai sarana (wasilah) dan teknis (uslub). Metode pembelajaran yang benar adalah penyampaian dan penerimaan (talaqqiy) pemikiran dari pengajar kepada pelajar.
Ada perbedaan yang jelas dan tegas antara metode (thariqah) dan uslub teknis (uslub). Secara bahasa, istilah metode memiliki arti cara yang teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan (Depdiknas, 2005: 740). Menurut As Samiy, edisi Indonesia (2000: 40), metode (dalam bahasa Arab disebut thariqah) adalah cara yang bersifat tetap (fixed) untuk melaksanakan suatu aktivitas. Metode tidak berbeda-beda dan tidak berubah. Akan tetapi metode dijalankan dengan menggunakan sarana (wasilah) dan teknis (uslub) yang bisa berbeda-beda atau berubah-ubah. Yasin (2007: 22) edisi bahasa Indonesia mengungkapkan bahwa metode adalah prosedur yang bersifat baku. An Nabhani (2003: 53) menyatakan: "Perbedaan antara metode dan teknis adalah bahwa metode adalah perbuatan yang dianggap sebagai pokok atau cabang dari pokok yang tidak ada dalil umum bagi pokoknya, tapi dalilnya adalah khusus. Sedangkan teknis adalah perbuatan yang merupakan cabang dari pokok yang memiliki dalil umum. Dari sini, metode harus bersandar pada dalil syar'i karena dia adalah hukum syar'i. Karena itu metode wajib ditetapi dan orang muslim tidak diberi pilihan didalamnya selama hukumnya bukan mubah (boleh). Sedangkan teknis, dia tidak bersandar pada dalil syar'i, tapi berlaku padanya hukum pokoknya. Karena itu tidak wajib untuk menetapi teknis tertentu, meskipun itu dikerjakan oleh Rasulullah saw. Tapi setiap teknis boleh dikerjakan oleh seorang muslim selama itu menghantarkannya pada terlaksananya suatu pekerjaan. Sehingga dia menjadi cabang dari pekerjaannya tersebut. Karena itulah teknis dikatakan ditentukan oleh jenis pekerjaan".
Berdasarkan definisi metode diatas, maka metode pembelajaran pun bersifat baku, tidak boleh berubah sepanjang zaman, karena ini merupakan hukum syar'i. Lantas seperti apakah metode pembelajaran dalam Islam? An-Nabhani dalam kitab Syakhshiyyah Islam juz awwal (2003: 378-382) menjelaskan, dengan menganalisa metode pendidikan Rasulullah saw, bisa disimpulkan ada tiga proses yang selalu beliau lakukan dalam mendidik para sahabatnya. Metode itu adalah:
Pertama, melakukan pengkajian secara mendalam sehingga akan sampai mewujudkan pemahaman yang benar tentang apa yang dipelajari. Tidak hanya transfer ilmu (transfer of knowledge). Ketika ingin membentuk pola pikir Islam pada siswa, maka yang dilakukan guru adalah mentransfer pemikiran pada siswa (dengan landasan aqidah Islam seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya). Jadi bukan hanya transfer informasi.
Kedua, menumbuhkan keyakinan siswa terhadap apa yang dipelajari agar dia beraktivitas dengannya. Dengan keyakinan inilah, maka apa yang dipelajari akan mampu berpengaruh kuat dalam diri siswa, mampu menggerakkan perasaan terhadap fakta yang ada dalam pemikiran, sehingga terdorong dengan kerinduan mendalam dan semangat yang tinggi untuk melaksanakan pemikiran-pemikiran yang dipelajarinya.
Ketiga, belajar secara aplikatif. Belajar bukan hanya untuk belajar, atau juga bukan pelajaran yang berpijak pada gagasan yang utopis dan tidak realistik.
Abdullah (2002: 13) menyebutkan bahwa salah satu karakteristik pemikiran Islam adalah bersifat praktis ('amaliy), hadir untuk diterapkan dan dilaksanakan di tengah-tengah kehidupan.
Itulah metode pembelajaran dalam Islam. Metode pembelajaran ini baku. Rasulullah saw pun telah memberikan teladan dalam pelaksanaannya. Sehingga lahirlah generasi sahabat yang hebat. Metode pembelajaran yang seperti ini pun diterapkan di masa berikutnya setelah wafatnya Rasulullah saw. Dan hasilnya, lahir generasi yang ahli dalam berbagai bidang ilmu (polymath) dengan tetap mempunyai ketakwaan yang tinggi.
Mengutip dari salah satu tulisan Prof.Dr.Ing Fahmi Amhar, sejarah keemasan Islam mencatat cukup banyak polymath, salah satu diantaranya adalah Abu Rayhan Muhammad ibn Ahmad al Biruni, yang hidup antara 973 M sampai 1048 M. Pakar sejarah ilmu George Sarton menyebutkan bahwa al Biruni adalah one of the very greatest scientist of Islam, and, all considered, one of the greatest of all times. Namanya telah diabadikan untuk sebuah kawah di bulan dan sebuah universitas teknologi di Tashkent Uzbekistan. Al-Biruni sudah hafal Qur’an sebelum baligh. Tentu saja dia juga belajar ilmu fiqih dasar dan dia mempelajarinya dengan serius sehingga pada saat berusia baligh dia sudah mengenal semua syariat Islam yang wajib diketahui dalam kehidupan sehari-hari. Dia memiliki kualitas seorang alim. Dia lalu menekuni berbagai cabang ilmu sesuai minatnya. Karya al-Biruni berjumlah total 146. Ini mencakup 35 buku tentang astronomi, 4 tentang astrolab (alat navigasi), 23 tentang astrologi, 5 tentang kronologi (cara pendataan temporal), 2 tentang pengukuran waktu, 9 tentang geografi, 10 tentang geodesi dan teori pemetaan, 8 tentang aritmetika, 5 tentang geometri, 2 tentang trigonometri, 2 tentang mekanika, 2 tentang kedokteran dan farmakologi, 1 tentang meteorologi, 2 tentang mineralogi, 4 tentang sejarah, 2 tentang India, 3 tentang agama dan filsafat, 16 tentang karya sastra, 2 tentang sihir, dan 9 tidak terklasifikasi. Dari semua karyanya ini tinggal 22 yang bertahan hingga kini dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Masya Allah, dengan metode pembelajaran yang benar dalam sistem pendidikan yang berasaskan Islam dapat menciptakan banyak polymath semisal Al-Biruni. Tentu sistem kehidupan secara menyeluruh berpengaruh besar dalam menciptakan output pendidikan yang hebat yang berkepribadian Islam dan mumpuni dalam IPTEK . Sistem kehidupan yang mampu menjaga ketaqwaan individu, masyarakat, dan negara. Karena pendidikan bukan hanya sekedar tugas guru madrasah. Mampukah sistem kehidupan sekuler mewujudkannya? Tentu tidak, karena sistem kehidupan sekuler (memisahkan agama dari kehidupan) akan lebih banyak menciptakan output sekuler juga. Wallahu a'lam bi ash-shawwab.*