Oleh:
Henyk Nur Widaryanti S. Si., M. Si
SIAPA yang tidak senang mendengar berita ini? Setelah puluhan tahun menjadi negara berkembang, impian negara menjadi negara maju hampir di tangan. Negeri adidaya Paman Sam memberikan pengumuman melalui Kantor Perwakilan Perdagangan atau Office of the US Trade Representative (USTR) di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang (Kompas, 24/2/20).
Pencabutan sebagai negara berkembang ini tidaklah sendirian. Namun, ditemani oleh beberapa negara berkembang lainnya. Seperti, Albania, Argentina, Armenia, Brazil, Bulgaria, Cina, Kolumbia, Kosta Rika, Georgia, Hongkong, India, Kazakhstan, Republik Kyrgyzstan Malaysia, Moldova, Montenegro, Makedonia Utara, Rumania, Singapura, Afrika Selatan, Korea Selatan, Thailand,Ukraina, dan Vietnam.
Bagi sebagian kalangan, perubahan status negara Indonesia dari berkembang menjadi maju adalah sebuah prestasi. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia telah mampu bersaing dalam kancah internasional. Sebagaimana pendapat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto, ketika Indonesia dicoret dari daftar negara berkembang harusnya berbangga. Apalagi pertumbuhan ekonominya nomor 7 sedunia (tempo, 24/2/20).
Masih menanggapi hal yang sama. Namun, Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana menilai ada salah kaprah dalam mengartikan perubahan status ini. Pencabutan status ini adalah kebijakan internal AS. Bahkan tanpa memperhatikan kriteria umum menjadi menjadi negara maju (detik, 27/2/20).
Hal yang senada pun diungkapkan oleh peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, pencabutan ini hanya akal-akalan AS. Hal ini dilakukan AS untuk membenahi neraca perdagangan negeri itu sendiri. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia dengan AS surplus US$ 8,5 miliar sepanjang tahun 2019. Oleh karena itu Indonesia perlu menolak penetapan ini.
Begitu pula ekonom senior dari Indef, Aviliani juga menyatakan pihak Indonesia harus mengikuti China menolak perubahan status ini. Apalagi menurutnya secara indikator saja Indonesia belum memenuhi kandidat sebagai negara maju.
Standar Negara Maju
Dalam perubahan status menjadi negara maju ini, ada beberapa stardar yang menjadi pertimbangan AS saat memutuskan hal ini. Dalam pernyataan yang disampaikan USTR, ada berbagai faktor yang menjadi pertimbangan mengapa negara-negara itu dihapuskan dari daftar, di antaranya yaitu ambang batas yang ditetapkan Bank Dunia untuk memisahkan negara-negara 'berpenghasilan tinggi' dari negara-negara dengan Pendapatan Nasional Bruto (GNI) per kapita yang lebih rendah.
Selain itu, ada pertimbangan faktor pangsa perdagangan global. Seberapa kuat negara tersebut mempengaruhi perdagangan global. Ada juga pertimbangan mengenai keanggotaan Uni Eropa (UE), keanggotaan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), serta keanggotaan G20 (cnbc, 24/2/20).
Namun, menurut Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai Indonesia belum pantas. Meskipun Indonesia termasuk dalam anggota G20 dengan pertumbuhan ekonomi tinggi setelah China dan India. Meskipun pangsa pasar ekspor Indonesia yang di atas 0,5%, pertumbuhan ekonomi masih mentok 5%. Indonesia ada di urutan 120 dari 200 negara. Bahkan berdasarkan indikator World Bank, pendapatan per kapita Indonesia yang sebesar US$ 3.840 itu termasuk kategori kelas menengah-bawah.
Bahkan Indonesia menurut Aviliani masih kategori low middle income, dengan penduduk mayoritas di pertanian. Dengan dominasi angkatan kerja sekitar 30 juta. Sedangkan negara maju ada di industri dan jasa. Bahkan untuk pangsa ekspor, kontribusinya terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia masih kecil yaitu sekitar 20-25% meski pangsa ekspornya sudah di atas 0,5%.
Ancaman yang akan dihadapi
Menjadi negara maju tidaklah mudah. Justru negara maju tidak akan menikmati fasilitas yang dimiliki oleh negara berkembang. Diantaranya fasilitas suku bunga pinjaman. Bagi negara berkembang akan mendapatkan suku bunga yang rendah. Jadi jika menjadi negara maju, suku bunganya akan semakin tinggi. Kita tahu bahwa utang Indonesia mencapai pemerintah pusat hingga Januari 2020 sebesar Rp 4.817,5 triliun. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan posisi utang pada Januari 2019 yang mencapai Rp 4.498,6 triliun. Jika Indonesia berubah menjadi negara maju, bisa dibayangkan bagaimana besar utang kita?
Perubahan status ini juga mempengaruhi laju ekspor Indonesia. Implikasi dari hukum countervailing duty (CVD) yang sebelumnya mendapatkan keringanan penyediaan subsidi hingga 2% dan volume standar impor yang diabaikan akan dihapuskan. Dampaknya pihak USTR AS akan melakukan penyelidikan atas berbagai produk impor Indonesia, serta akan melakukan tindakan balasan yang akan ditentukan kemudian (Katadata, 27/2/20). Oleh karena itu dapat diprediksi nilai ekspor Indonesia dapat menurun karena ada kenaikan biaya ekspor.
Bahkan Indonesia akan rentan terkena tuduhan subsidi dari AS. Karena, batasan minimum atau de minimis toleransi subsidi perdagangan Indonesia lebih rendah dari sebelumnya. Batas minimum nilai barang impor AS dari negara maju yang dibebaskan dari penyelidikan bea masuk anti subsidi sebesar 1%, lebih kecil dari batas de minimis negera berkembang sebesar 2%.
Belum Independen
Hal yang perlu kita perhatikan di sini mengenai siapa yang memberikan cap negara maju. Meskipun cap negara maju sudah di tangan, bukan berarti Indonesia merupakan negara yang independen. Pada kenyataannya berbagai kebijakan masih tetap akan dipengaruhi oleh kepentingan asing dan aseng.
Karena yang memberikan label maju adalah AS. Maka, dapat dipastikan tidak ada makan siang gratis. AS akan melakukan berbagai upaya untuk melanggengkan kekuasaannya. Sehingga, Indonesia seyogyanya waspada dengan cap ini. Apalagi AS terkenal sebagai negara yang berani menghalalkan berbagai cara untuk menguasai suatu bangsa.
Jika Indonesia ingin menjadi negara yang maju secara hakiki. Berdiri di kaki sendiri. Ia harus berani memutuskan hubungan dengan asing dan aseng yang berkedudukan sebagai benalu negeri. Melakukan normalisasi SDA dari asing, keluar dari kerjasama-kerjasama bilateral maupun multilateral yang jelas merugikan. Memaksimalkan potensi sendiri mulai dari SDA dan SDM. Hingga mengganti seluruh kebijakan yang berpihak pada asing dan aseng menjadi kebijakan yang berpihak pada rakyat. Serta memiliki ideologi yang independen di luar pengaruh asing (AS) maupun aseng (Cina). Wallahu 'alam bishowab.*