Oleh:
Henyk Nur Widaryanti S. Si., M. Si
MANUSIA dilahirkan dari keluarga. Siapa yang tidak sayang dengan keluarga? Jika hewan saja sayang dengan keluarganya, apalagi manusia. Yang memiliki kemampuan berfikir dan bisa membedakan benar dan salah. Setiap manusia tentu akan melakukan yang terbaik bagi keluarganya. Keluarga yang sakinah, mawadah warahmah menjadi tujuannya.
Namun, tujuan itu saat ini susah untuk direalisasikan. Dari tahun ke tahun kasus perceraian kian marak. Ambil satu contoh di Majalengka, tahun 2019 ini ada 9.822 kasus perceraian yang diajukan ke Pengadilan Agama (PA). Sementara di tahun 2018 ada 8.681 kasus. Tren kenaikan ini diikuti oleh kota-kota lainnya. Kasus terbanyak adalah masalah ekonomi.
Selain itu kasus kenakalan remaja juga kian memanas. Dari narkoba, seks bebas, geng, tawuran hingga aborsi menghiasi dinamika remaja di negeri ini. Semua itu kebanyakan dialami oleh anak yang berasal dari keluarga broken home. Meskipun tak menutup kemungkinan keluarga baik-baik pun tertular perilaku ini.
Dari sinilah muncul sebuah keinginan yang baik. Ingin memperbaiki kondisi masyarakat. Mereka memandang akar permasalahan yang ada saat ini berasal dari keluarga. Jika keluarga baik, maka masyarakat pun akan ikut baik. Kemajuan pun akan diperoleh. Salah satu cara yang ditempuh untuk memperbaiki keluarga dengan mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga.
Penolakan Lahir di Mana-mana
Belum lama RUU ini diajukan. Beragam penolakan datang. Mulai dari kalangan istana, partai, DPR sendiri, hingga tokoh-tokoh nasional. Salah satunya dari Komnas HAM Beta Ulung Hapsara, yang menyatakan bahwa RUU ini bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
Disebutkan di salah satu pasal agar pihak keluarga melaporkan jika ada anggota keluarga yang mengalami penyimpangan sex. Masih dalam pasal selanjutnya orang-orang yang mengalami penyimpangan sex akan dilakukan rehabilitasi secara moral, agama dan psikologi. Menurut HAM ini sudah melanggar kebebasan individu. Karena secara dunia orang yang memiliki penyimpangan sex bukan termasuk gangguan kejiwaan. Tapi hanya masuk pada perubahan orientasi sex. Sehingga tidak masalah bagi HAM (Liputan6, 21/2/20).
Kemudian menurut Staf Khusus Kepresidenan Dini Purwono, yang menganggap RUU ini justru malah masuk ke ranah negara mencampuri urusan privasi keluarga. Sebagai contoh pasal yang menjelaskan masalah hak dan kewajiban suami dan istri (Detik, 22/2/20).
Menurut Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus RUU ini justru bertentangan dengan semangat RUU Omnibus Law. Dan tidak ada spesialnya. Karena sebagian isinya telah diatur dalam undang-undang lainnya. Selain itu sejumlah partai seperti Gerindra, Nasdem dan PPP juga ikut menolak RUU ini.
Menelusuri RUU Ketahanan Keluarga
Mengapa RUU ini banyak penolakan? Karena isinya dinilai tidak sesuai dengan pandangan orang zaman sekarang. RUU ini terkesan membatasi wilayah gerak wanita (istri), memperkuat dominasi suami atas istri, hingga mengusik ranah pribadi seorang yang memiliki orientasi seksual yang "berbeda".
Hal ini wajar saja terjadi. Dalam pandangan kapitalis, hanya materi yang diagungkan. Adanya kebebasan agama dan tingkah laku membuat kita tak boleh mencampuri urusan orang lain. Misalnya masalah orientasi seksual, jika ada seorang laki-laki yang berkelakuan seperti wanita, kita tak boleh mempermasalahkan. Bahkan harus membiarkan, karena jika kita ikut campur berarti melanggar HAM-nya.
Atau dengan kesetaraan gender. Yang menyamakan posisi laki dan perempuan. Dimana keduanya memiliki hak yang sama. Dalam segala bidang. Pekerjaan, kepemimpinan, pengaturan keluarga, pendidikan dst. Sehingga jika ada aturan yang mewajibkan seorang wanita mengurus rumah tangga sebaik-baiknya mereka menganggap bahwa aturan ini bentuk kemunduran berfikir. Karena di era maju saat ini wanita harusnya bisa berperan di ranah publik. Bukan sekadar ranah dapur saja.
Maka, dari dua hal itu saja sudah bersilang pandangan dengan Islam. Jadi jika RUU ini ditolak ya wajar saja. Karena RUU ini secara tidak langsung berbau-bau keislaman, meski tak sepenuhnya secara islami. Namun, aturan yang ada dirasa tidak cocok dengan faham liberal, gender, kebebasan saat ini.
Bukan Salah Keluarga
Masalah masyarakat yang terjadi saat ini bukan sekadar salah keluarga. Tapi lebih banyak pada kebablasan kebijakan. Kwalitas Sumber Daya Manusia (SDM) dapat tercapai jika ada kebijakan integral dari atas hingga bawah. Misalnya, negara mengambil sistem ekonomi non riba yang akan mengeluarkan negara dari jeratan utang yang membengkak dan tekanan asing.
Negara mengambil wewenang secara independen untuk mengambil alih SDA dari tangan asing. Kekayaan ini dipakai untuk menentukan program pendidikan yang berorientasi keimanan. Tidak hanya itu, dengan dibukanya lapangan kerja bagi laki-laki akan membantu para suami menjalankan perannya secara optimal.
Selain itu pengaturan masalah penyiaran baik media televisi maupun internet dari hal-hal yang merusak dapat membentengi generasi. Adanya sanksi yang tegas atas setiap pelanggaran dan pembinaan yang benar akan meminimalisir masalah. Apalagi ditambah dengan pendekatan pada agama, keluarga akan lebih taat beribadah, keimanan mereka akan meningkat. Dengan kebijakan di segala bidang ini, akan menjamin kehidupan masyarakat yang lebih baik. Tanpa bingung lagi membuat undang-undang tertentu. Karena kestabilan keluarga dipengaruhi juga dari kestabilan kebijakan. Wallahua'lam bishowab.*