View Full Version
Senin, 09 Mar 2020

Agar Kasus ABG “Slenderman” Tak Terjadi Lagi

 

Oleh:

Yons Achmad

Pengamat media sosial, Penulis buku “Menjadi Kritikus Media”, CEO Kanet Indonesia

 

MEDIA kita kini, begitu memengaruhi waktu luang (leisure time), terutama bagi anak-anak. Layaknya anak-anak, tontonan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Anak-anak kita, mungkin kini tak lagi asyik menikmati misalnya kesenian tradisional, topeng monyet, ondel-ondel dll. Tapi, menjadi mengkhawatirkan, anak-anak lebih banyak berdiam diri di kamar. Menonton. Baik tayangan televisi maupun tayangan di internet (Youtube, Instagram dll). Lepas dari pengawasan atau kelalaian orang tua dalam pembatasan tontonan, hasilnya bisa fatal.

Barangkali, inilah yang tergambar dalam kasus pembunuhan anak usia lima tahun oleh gadis remaja berusia 15 tahun yang dikabarkan beberapa media. Salah satunya, media online Detik membuat judul berita dengan menyebut ABG “Slenderman”, begitu juga mengabarkan kalau sang gadis terinspirasi oleh tontonan film horror Chucky. Di sini, saya tak akan melakukan penghakiman kepada sang gadis itu. Tapi, akan lebih banyak menyoal bagaimana sebenarnya regulasi dan peran orang tua dalam melakukan pengawasan terhadap tontonan dan perilaku anak terutama berkaitan dengan media baru, media sosial. Agar kejadian dan kasus semacam ini tak terulang lagi.

Diakui atau tidak, produsen tontonan era kapitalisme media sekarang ini memang tak jauh dari usaha menjadikan tontonan sebagai apa yang disebut Idi Subandy Ibrahim dalam buku “Sirnanya Komunikasi Empatik” dengan politik penciptaan kesenangan semata (The politics of pleasure). Hasilnya apa? Saya kira, alih-alih mendukung lahirnya tontonan yang mendidik dan ramah anak, yang terjadi malah banyak produsen sering berdalih “Hai Bung, mendidik anak itu tugas sekolah dan orang tua, kami berbisnis media”. Itu kenyataan yang terjadi sekarang.

Masalahnya sekarang, apakah khalayak berdiam diri? Tidak. Satu hal yang mesti kita pikirkan sekarang adalah yang utama soal kebijakan. Penyiaran seperti tontonan di televisi memang sudah dalam pengawasan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Lembaga inilah yang menjadi garda depan dalam melakukan pengawasan, termasuk “menyemprit” stasiun televisi yang tidak ramah dan menyiarkan tontonan berbahaya bagi anak. Tapi, bagaimana dengan tayangan di internet dan media online lain? Tidak ada. Itu sebabnya ke depan, perluasan pengawasan tayangan online oleh KPI perlu didukung walau tentu tak gampang sebab perlu merevisi Undang-Undang Penyiaran.

Ketika regulasi buntu, maka mau tak mau peran khalayak kini menjadi penting. Saling melakukan edukasi agar terhindar dari tayangan buruk yang berbahaya bagi anak. Dalam doktrin literasi media kritis, kita pahami bahwa tontonan tidak berdiri sendiri. Ia adalah sebuah arena perang budaya. Konten-konten media yang hadir dan menjadi tontonan khalayak seringkali hadir secara halus (subtle) padahal dibaliknya ada “The Invisible hand”. Kepentingan yang kadang tak terlihat tapi nyata adanya. Menjadikan khalayak terutama anak-anak sebagai konsumen dan menanamkan nilai-nilai budaya tak selaras dengan pola pengasuhan anak yang kita inginkan.

Masalahnya sekarang, bagaimana bentuk pengawasannya? Tak tain tak bukan dengan pendampingan. Ya, memang butuh waktu melakukan pendampingan anak ketika menonton tayangan baik di televisi maupun di internet. Itu kewajiban yang tak boleh diabaikan orang tua. Lantas, bagaimana soal pembatasan? Yayasan Pengembangan Media Anak pernah melakukan penelitian di Jakarta dan Bandung, anak menonton televisi bisa diatas 4 sampai 6 jam sehari. Penelitian Idy Muzayyad (2011), Komisioner KPI Pusat 2010-2013 memberikan komentar, jika yang tejadi demikian, maka anak-anak sudah masuk dalam kategori kecanduan. Di sini, saya berkesimpulan, agar aman, anak-anak kita sebaiknya memang dibatasi hanya menonton tayangan 2 jam saja sehari dan harus dengan pendampingan. Inilah usaha kecil yang bisa kita lakukan.*


latestnews

View Full Version