Oleh:
Ratna Mufidah, SE
HAMPIR tak ada standar baku dalam aturan sekarang mengenai masalah pornografi. Itu sebabnya, ketika ada seorang artis yang mengunggah foto tanpa busana di akun twitter miliknya, sembari memperlihatkan lipatan di tubuhnya yang bertujuan self love atau mencintai tubuh sendiri, seolah hal tersebut sah-sah saja.
Unggahan yang kemudian mengundang kontroversi dan dianggap melanggar UU ITE tersebut, malah dibantah oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Menkominfo) Johny G. Plate yang justru menyebut unggahan foto tersebut sebagai seni.
“Karena apa? Seni harus dilihat dari aspeknya masing-masing. Sebagian masyarakat pasti menilai itu ada manfaat karena itu penghormatan terhadap diri,” Johny juga menegaskan agar tidak semua unggahan dianggap melanggar.
Tentu sangat susah menilai mana seni dan mana yang bukan dalam hal seperti itu. Bila seni diartikan sebagai keindahan, tentu dimata manusia akan sangat relatif. Bagaimanapun juga, yang selama ini nampak jelas pada pernyataan Pak Menteri adalah pandangan-pandangan kebebasan ala Barat terhadap diri wanita.
Wanita tak ubahnya sebuah komoditas yang dihargai dari bentuk fisiknya. Bila dia langsing, halus, mulus, cantik, dan menarik, maka dia akan bernilai mahal. Sebaliknya, tak akan ada nilainya bila gendut, dan dipandang tidak menarik misalnya saat memakai pakaian yang menutupi lekuk tubuhnya.
Sungguh sangat disayangkan bila nilai ini yang berkembang di tengah masyarakat. Kerusakan moral akan semakin meluas akibat pornografi yang bebas merajalela. Akibat-akibat derivatif pun siap mengancam generasi semisal meningkatnya angka aborsi, pelecehan seksual, dan sebagainya. Tentu kita semua tak bisa tinggal diam dengan kondisi ini. Generasi dan masyarakat secara umum perlu diselamatkan dengan Islam.
Islam mempunyai standar yang jelas untuk menilai suatu perbuatan. Termasuk aturan yang lengkap untuk mengatur kehidupan manusia sehingga mulia hidup manusia serta terhindar dari kerusakan moral dan kehinaan. Berbicara masalah seni, maka tak boleh ada unsur yang melanggar hukum syara’. Nilai-nilai keindahan yang diciptakan manusia harus sejalan dengan aturan Islam.
Allah SWT sebagai Dzat Pencipta dan Penguasa kehidupan ini, menilai wanita bahkan setiap manusia dari ketaqwaannya bukan yang lain. Jika manusia bertaqwa, bagaimanapun bentuk rupanya, maka dia mulia di sisi Allah, dan sebaliknya, bila seorang yang cantik atau tampan tetapi durhaka, maka hinalah kedudukannya di sisi-Nya. Sabda Nabi:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِـنْ يَنْظُرُ إِلَى قُــــلُوبِكُمْ وَأَعْمَــالِكُمْ
“Sungguh Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, melainkan melihat hati dan amal kalian.” [HR Muslim]
Demikian pula apapun dalihnya, Islam tidak membenarkan seorang wanita untuk mengekspos auratnya di hadapan publik. Termasuk dalam bentuk media cetak maupun elektronik, karena yang demikian termasuk pornografi yang berefek mengundang birahi kaum lelaki. Nabi bersabda:
اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ
“Wanita adalah aurat”.
Menunjukkan bahwa hampir seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Wanita wajib menutupi auratnya, yakni seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangan.
Rasul bersabda, “Sesungguhnya seorang anak perempuan jika telah haid (baligh) tidak boleh terlihat dirinya kecuali wajah dan kedua tangannya hingga pergelangan tangan.” (HR.Abu Dawud)
Justru dengan menutup auratnya, maka wanita akan terjaga, terhormat dan mulia. Bebas dari pandangan syahwat lawan jenis yang tak berhak. Pandangan dan aturan Islam baik itu mengenai seni serta pandangan terhadap wanita yang demikian mulia dan sempurna hanya akan terwujud bila Islam diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bila tidak, maka nilai-nilai yang bukan berasal dari Islam akan mudah menyebar di masyarakat. Tidak akan ada penjagaan terhadap kehormatan sejati bagi wanita maupun perisai moral bagi generasi.*