View Full Version
Jum'at, 13 Mar 2020

Ketelanjangan Menjadi Alat Aktualisasi Sekuler, Inikah Kebebasan?

 

Oleh: Anhy Hamasah Al Mustanir

Fenomena foto telanjang oleh publik figur Tora Basro kini menuai kontroversi. Pasalnya hal tersebut dianggap sebagai seni oleh Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G Plate. Pro dan kontra pun menghiasi jagat dunia maya. Hal tersebut dikarenakan ada yang mendukung sebagai perwujudan hak seorang perempuan atas tubuhnya dan adapula berspekulasi sebagai pelanggaran UU ITE karena ada unsur pornografi di dalam foto tersebut.

Begitulah dunia demokrasi, menghalalkan segala sesuatu atas nama hak kebebasan sekalipun foto telanjang. Dalih pembenarannya adalah anggapan bahwa hal tersebut adalah seni. Dalam pemikiran demokrasi, agama tidak bisa mencampuri urusan itu sekalipun orang/pelaku tersebut beragama Islam. 

Orang yang sudah menginternalisasikan ide demokrasi dalam kehidupannya maka akan mengatakan, ini murni permasalahan seni, bukan agama karena agama jauh dari seni. Begitupula halnya, dalam alam demokrasi kebebasan berekspresi seperti itu harus dibela mati-matian, karena itulah kebebasan berekspresi yang merupakan salah satu pilar demokrasi! Amar ma’ruf nahi munkar disebutnya sebagai penentang kebebasan berekspresi!

Foto telanjang dan kebebasan untuk mengekspresikan kemaksiatan lainnya melengkapi kenyataan tentang betapa bobroknya seruan-seruan demokrasi. Foto yang mengumbar aurat dan mengundang syahwat telah dianggap sebagai bagian dari hak asasi yang tak boleh dilanggar. Sebaliknya, hukum-hukum Allah yang nyata-nyata mengharamkan siapa pun mengumbar aurat dan membangkitkan syahwat tidak dipedulikan, seolah-olah tidak mengapa jika dilanggar, karena memang tidak mengganggu hak asasi manusia.

Ironis! Mereka membela hak-hak manusia sembari menginjak hak-hak Allah-yang notabene Pencipta manusia-untuk ditaati. Demikianlah watak buruk demokrasi, yang juga membentuk watak buruk masyarakat penganut dan pengamalnya. Kebebasan yang nyaris menyesatkan.

Kebebasan umum bagi setiap individu yang diagung-agungkan dan dijaga pelaksanaannya dalam pandangan demokrasi tercakup dalam empat hal, yaitu: kebebasan beragama (freedom of religion); kebebasan berpendapat (freedom of speech); kebebasan kepemilikan (freedom of ownership); kebebasan berperilaku (personal freedom).

Pertama, kebebasan beragama, yang berarti bahwa seseorang berhak meyakini suatu agama/keyakinan yang dikehendakinya atau memeluk agama yang disenanginya tanpa tekanan atau paksaan. Dia berhak pula meninggalkan agama dan keyakinannya, lalu berpindah pada agama atau keyakinan baru; berpindah pada kepercayaan non-agama (animisme/paganisme); bahkan berpindah pada ateisme.

Dia berhak melakukan semua itu sebebas-bebasnya tanpa adanya tekanan atau paksaan. Oleh karena itu, dalam demokrasi seseorang berhak mengganti agamanya untuk kemudian memeluk agama Kristen, Yahudi, Budha, atau Komunisme dengan sebebas-bebasnya tanpa larangan atas dirinya, baik dari negara ataupun pihak lain.

Padahal nyatanya, hal semacam itu bertentangan dengan akidah Islam. Islam telah mengharamkan seorang Muslim murtad dari Islam. Siapa saja yang murtad dari agama Islam, dia akan diminta untuk bertobat. Akan tetapi, jika tidak bertobat, dia akan dijatuhi hukuman mati, disita hartanya, dan diceraikan dari istrinya. Rasul saw. bersabda:

‘’Siapa saja yang mengganti agamanya (Islam), jatuhkanlah hukuman mati atasnya. (HR Muslim dan Ashhâb as-Sunan).’’ Jika yang murtad adalah sekelompok orang, sementara mereka tetap bersikeras untuk murtad, maka mereka diperangi hingga kembali pada Islam atau dibinasakan.

Kedua, kebebasan berpendapat, yang berarti bahwa setiap individu berhak untuk mengembangkan pendapat atau ide apa pun dan bagaimana pun bentuknya. Dia berhak menyatakan atau menyerukan ide dengan sebebas-bebasnya. Tanpa tolok ukur halal-haram. Dengan kebebasan berpendapat, siapapun bisa mengatakan agama tidak ada kaitannya dengan seni seperti terjadi sekarang.

Aturan Islam dalam masalah ini sangatlah berbeda. Seorang Muslim, dalam seluruh perkataan dan perbuatannya, wajib terikat dengan apa yang terkandung dalam nash-nash syariat. Dengan demikian, dia tidak boleh melakukan suatu perbuatan atau mengucapkan suatu perkataan, kecuali jika dalil-dalil syariat telah membolehkannya. Dengan kata lain, seorang Muslim berhak bahkan didorong mengembangkan, menyerukan, dan menyatakan pendapat apa pun selama dibolehkan oleh syariat. Sebaliknya, syariat akan memberikan hukuman, bahkan sanksi yang berat, jika apa yang dikatakan dan diperbuat tidak sesuai dengan nash-nash syariat.

Ummu ‘Athiyah menuturkan riwayat dari Abu Sa’îd r.a. bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

‘’Jihad paling utama adalah (menyampaikan) perkataan yang haq (sesuai dengan syariat) di hadapan penguasa zalim.’’ (HR Ahmad, at-Turmudzi, dan an-Nasa’i)

Oleh karena itu, tindakan semacam itu tidak dipandang sebagai bagian dari kebebasan berpendapat, melainkan justru merupakan cerminan realitas dari keterikatan para sahabat dengan hukum-hukum syariat, yakni kebolehan menyampaikan pendapat dalam rangka menasihati atau mengoreksi penguasa. Menyampaikan pendapat dalam keadaan ini adalah kewajiban.

Ketiga, kebebasan kepemilikan, yang bermakna bahwa seseorang boleh memiliki harta (modal) sekaligus mngembangkannya dengan sarana dan cara apa pun. Misalnya, seorang penguasa dianggap berhak memiliki harta dan mengembangkannya melalui imperialisme, perampasan, dan penjajahan harta kekayaan alam bangsa-bangsa yang akan atau sudah dijajah. Apa yang pernah terjadi di Afghanistan dan di Irak adalah contoh real bagaimana Barat dan sekutunya menerapkan standar ini: kebebasan kepemilikan. Sudah menjadi rahasia umum, di balik penyerangan Afghanistan dan Irak terdapat kepentingan untuk menguasai minyak. Itu terbukti dengan sigapnya Negara adidaya memperbaiki fasilitas kilang minyak Irak dengan meninggalkan perbaikan fasilitas-fasiltas penopang kehidupan rakyat Irak, dengan dalih, semua itu untuk kepentingan rakyat Irak juga.

Padahal dalam realitasnya, Islam sangat bertolak belakang dengan ide kebebasan kepemilikan tersebut. Islam telah memerangi ide penjajahan bangsa-bangsa serta ide perampokan dan penguasaan kekayaan alam bangsa-bangsa di dunia. Islam telah menetapkan sebab-sebab kepemilikan harta, cara-cara pengembangannya, dan cara-cara pengelolaannya. Islam mewajibkan seorang Muslim untuk terikat dengan hukum-hukum Islam dalam usahanya memiliki, mengembangkan, dan mengelola hartanya. Islam tidak memberikan kebebasan kepadanya untuk mengelola harta sekehendaknya.

Keempat, kebebasan berperilaku, yang berarti bahwa setiap orang bebas untuk melepaskan diri dari segala macam ikatan dan dari setiap nilai keruhanian, akhlak, dan kemanusiaan. Dengan kata lain, bebas berekspresi, termasuk mengekspresikan kemaksiatan. Kebebasan ini menetapkan bahwa setiap orang dalam perilaku dan kehidupan pribadinya berhak untuk berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya, sebebas-bebasnya, tanpa boleh ada larangan, baik dari negara atau pihak lain terhadap perilaku yang disukainya. Ide kebebasan ini telah membolehkan seseorang untuk berfoto sekalipun  telajang, melakukan praktik homoseksual dan lesbianisme, menjajah suatu negeri, dan melakukan perbuatan apa saja walaupun sangat hina dengan sebebas-bebasnya tanpa ada ikatan atau batasan dan tanpa tekanan atau paksaan.

Namun kemudian, perlu dipahami dengan jelas bahwa hukum-hukum Islam sangat bertentangan dengan kebebasan berperilaku semacam itu, tidak ada kebebasan berperilaku seperti itu dalam Islam. Seorang Muslim wajib terikat dengan perintah dan larangan Allah SWT dalam seluruh perbuatan dan perilakunya.

Dalam konteks zina, misalnya, Allah SWT berfirman:

Janganlah kamu mendekati zina. (TQS al-Isra: 32)

Allah SWT juga berfirman:

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera” (TQS. An-Nûr: 2)

Oleh sebab itu, ide kebebasan mutlak tanpa batas bagi setiap individu bertentangan secara total dengan hukum-hukum Islam, seluruhnya merupakan ide-ide, peradaban, peraturan, dan undang-undang diluar Islam. Islam hanya mengenal kebebasan yang bukan kemaksiatan.

Setelah semua itu terjadi, apakah kita akan tetap mengusung pemikiran yang ide – idenya adalah kebebasan? Tidakkah kita sadar bahwa kebebasan untuk mengespresikan kemaksiatan yang ikut dipropogandakan oleh sebagian kaum muslim adalah bukti konkrit. Hal tersebut pun menjadi penanda bahwa kita telah terkangkangi dan teracuni oleh racun pemikiran sekuler.

Sehingga , dengan dalih kebebasan ini yang akhirnya akan membuat kita tidak bisa melakukan amar ma’ruf nahi munkar walaupun kemaksiatan semakin merajalela didepan mata kita, bahkan bukan hanya itu, kita pun akan disalahkan dan dipojokkan bahkan dianggap radikal karena kita telah mencela tindakan orang – orang yang dengan seenaknya melanggar dan melecehkan agama. Bukan tidak mungkin pula, dalam demokrasi yang sering dibela adalah pelaku kemaksiatan sedangkan hukum – hukum Allah ketika ada yang dicela terkadang demokrasi bungkam seribu bahasa.

Pada saat yang sama, hukum-hukum Allah SWT tidak boleh digunakan untuk menghukumi masyarakat, karena dianggap akan mengancam kebebasan yang dijamin dalam demokrasi. Maka hasilnya, kini demi demokrasi, para pelanggar hukum-hukum Allah SWT dibela, sementara para penegak dan pembela hukum-hukum Allah Pencipta Alam dicela. Ironis!Wallahu a’lam bi ash-shawab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version