Oleh:
Dr Syahganda Nainggolan
Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle
MENTERI Infrastruktur Belanda, Cora Van Nieuwenhuizen, seperti diberitakan rtlnews.nl, langsung menyampaikan ke publik mengurung diri di rumah setelah mengetahui Menhub Budi Karya positif Coronavirus, kemarin, 14 Maret 2020. Rtlnews memberitakan antara lain. “Minister Cora van Nieuwenhuizen (Infrastructuur en Waterstaat) moet in ieder geval tot 24 maart thuis werken. Woensdag had ze een ontmoeting met een Indonesische collega die het virus blijkt te hebben. Eerder vandaag werd gezegd dat ze geen klachten heeft en zich goed voelt.”
Meski terlihat baik-baik saja. Namun dia akan di rumahnya mengurung diri sampai tanggal 24/3. Tanggal ini tepat dua minggu setelah dia ketemu Menhub Budi Karya di Jakarta, sebagai bagian kerjasama Kerajaan Belanda dengan Indonesia.
Pilihan mengisolasi diri ini adalah untuk nenghindari kontak dengan semua manusia. Sebab, masa inkubasi dua minggu coronavirus tidak bisa disimpulkan dengan test secanggih apapun, seperti yang dipertontonkan presiden dan kabinet pemerintahan Jokowi merespon situasi yang sama.
Di Indonesia, Menhub Budi Karya, yang dinyatakan positif terinfeksi kemarin. Seharusnya membuat semua Menteri, Dirjen, pejabat lainnya dan juga presiden kita mengambil tindakan yang menjadi standar internasional. Sebagaimana yang dilakukan oleh Menteri Infrastruktur Belanda tersebut.
Jika siapa saja melakukan kontak dalam jarak di bawah dua meter, harus dianggap potensi tertular virus. Namun, kita melihat hal itu tidak terjadi di kita. Menteri-menteri dan Jokowi masih berinteraksi dengan berbagai manusia lain dalam aktifitasnya.
Situasi penanganan pandemik covid-19 ini, terutama sejak WHO dan masyarakat dunia melakukan langkah-langkah ekstrim. Indonesia masih memperlihatkan ketidak jelasan kordinasi. Jakarta Post beberapa hari lalu sudah memvonis Jokowi amatiran.
Sedangkan hari ini cnnindonesianews menuliskan berita bahwa Jokowi harus meminta maaf kepada bangsa ini. Faktanya, hari demi hari semua kepala daerah melakukan konprensi pers sendiri-sendiri. Kepala Daerah juga membuat gugus tugas sendiri-sendiri. Bergerak mengumpulkan stok masker sendiri-sendiri, dan sejenisnya. Semua dilakukan demi keselamatan masyarakat di daerahnya.
Ketidakjelasan situasi sampai saat ini terlihat dengan keputusan terkahir Jokowi yang menyerahkan urusan “lack down” atau tidak, hanya melalui pertimbangan kepala daerah. Sedangkan, disisi lain, sebelumnya, kemarin Jokowi membentuk Gugus Tugas. Kerjanya memperkuat kordinasi dan sinergi nasional mengatasi penyebaran virus ini. Seharusnya kedua hal itu bernuansa kontradiktif.
Dalam penjelasan di istana Bogor tadi (15/03), sebagaimana dikutip berbagai media, Jokowi meminta Pemda menjalin kerjasama intens dengan BNPB dan menggunakan anggaran yang efisien. Penjelasan ini tidak menunjukkan ketegasan apakah Doni Monardo, sebagai Kepala BNPB atau Kepala Gugus Tugas, dapat melakukan kordinasi lintas daerah atau hanya sinergi (kerjasama) saja.
Sebab, jika misalnya satu daerah melakukan “lockdown”, pertanyaan berikutnya adalah apakah BNPB dapat menutup Kota atau Daerah itu? Ataukah Gugus Tugas yang baru dibentuk itu yang melakukannya? Kondisi ini menunjukkan adanya kebingungan dari Jokowi dalam merespon situasi.
Berbagai negara di dunia sudah melakukan lockdown, sebagian lockdown ataupun menyatakan darurat negara. Darurat negara adalah beda dengan darurat bencana. Darurat negara bersifat nasional. Sedang darurat bencana, bisa bersifat lokal. Nah, Jokowi lebih memilih urusan mengenai virus corona ini diselesiakan di tingkat lokal demi lokal saja.
Dari penjelasan Jokowi tadi di Istana Bogor, dimana Jokowi menekankan tentang pentingnya menjaga pertumbuhan ekonomi. Ada kesan faktor perekonomian kita dipertaruhkan dengan nyawa manusia yang mulai ketakutan dengan coronavirus ini. Padahal, sesungguhnya, ketakutan rakyat kita atas coronavirus sudah dirilis oleh survei YouGov pertengahan Maret lalu, rakyat kita yang paling cemas dibanding negara-negara lain di asia.
Kita dihadapkan pada pilihan sulit. Mau menyelamatkan ekonomi atau mau menyalamatkan manusia, terkait pandemik coronavirus ini. Memang kita tidak menafikkan pentingnya ekonomi terus tumbuh dan berkembang. Namun, manusia juga butuh keselamatan hidup.
Fakta selama ini, kita bisa lihat pada kepala-kepala daerah yang panik sendiri-sendiri mengatasi situasi pandemik coronavirus. Rakyat juga ikut panik karena kepastian informasi sulit untuk dipercaya. Coba bayangkan dua hal ini. Pertama, mantan karyawan telkom yang wafat di Cianjur, 3/3/2020. Awalnya dinyatakan negatif covid-19. Hari ini, setelah 12 hari meninggal, dinyatakan positif coronavirus.
Butuh waktu untuk menganulir hasil test awal. Artinya lama dan test tidak begitu canggih. Akibatnya, apa? Istri dan anak karyawan itu dinyatakan positif coronavirus. Lalu bagaimama dengan orang-orang yang berhubungan dengan almarhum? Padahal dia sudah berobat ke mana-mana sebelum ke Rumah Sakit yang di Cianjur.
Kedua, bagaimana mungkin seorang menteri (Menhub) terkena infeksi coronavirus? Bukankah seharusnya elit-elit negara lebih siap menangkal dirinya terhindar dari virus itu? Tentu saja setinggi pangkat apapun bisa tertular virus corona ini.
Bagaimana membayangkan seorang Menteri Perhubungan yang berkali-kali ke istana negara. Tentunya telah disensor thermal scanner. Ko bisa membawa virus itu ke istana? Bahkan, bagaimana dia membawa virus itu ke acara Indonesia dan Kerajaan Belanda.
Melihat kasus Menhub Budi Karya dan kasus eks karyawan telkom di Cianjur itu, kita perlu refleksi bahwa fokus kita pada penanganan wabah coronavirus ini belum optimal.
Jika pemaksimalan ikhtiar baru dilakukan dengan fokus, maka pilihan penyelamatan ekonomi vs. penyelamatan nyawa manusia harus dilihat bersifat “trade-off”. Kita tidak bisa memilih keduanya. Mungkin ekonomi akan turun dua persen dari target pertumbuhan. Namun kita bisa optomalkan penyelamatan nyawa manusia sebagai kewajiban utama negara.
Penutup
Menyebarkan virus corona ke Kerajaan Belanda, bisa saja sebuah ketidaksengajaan. Namun, ikhtiar memperbaiki diri bisa menunjukkan rasa penyesalan kepada negara sahabat. Memperbaiki diri yang dibutuhkan adalah melakukan semua standar internasional pada batas maksimal. Bukan batas minimal. Misalnya, pemerintahan Jokowi harus menyatakan “Kabinet Lockdown”, sebagaimana ditulis oleh RMOL.co kemarin (14/03).
Artinya, selama dua minggu sejak Menhub Budi Karya dinyatakan positif coronavirus, semua menteri mengkarantina diri atau mengisolasi diri. Jika jumlah orang-orang yang berhubungan dengan Budi Karya pada hubungan langsung dan tidak langsung sangat banyak, maka mereka dapat diberikan pinjaman sebuah pulau di Kepulauan Seribu. Misalnya di Pulau Galang, Batam, sebagaimana sudah diputuskan Jokowi tempo hari.
Tulisan cnnindonesianews tentang Jokowi perlu meminta maaf kepada Bangsa Indonesia harus di respon positif. Juga tulisan JakartaPost beberapa hari lalu agar Jokowi jangan amatiran harus direspon sebagi perubahan ke arah yang lebih professional.
Semua ini perlu cepat. Pembentukan Gugus Tugas dan alokasi APBN 1 Triliun sudah sebuah kemajuan. Namun, mengingat ledakan eksponensial jumlah terjangkit virus akan segera datang, maka kita harus mengantisipasi pengendalian stok makanan dan minuman. Begitu juga dengan stock obat-obatan dan masker, agar tidak hilang di pasaran.
Pemerintah juga harus memastikan anak-anak sekolah belajar di rumah. Memastikan jumlah pusat karantina cukup dan tersebar di seluruh Indonesia. Memastikan perawat dan dokter cukup. Tentara, misalnya, harus diberi wewenang menembak mati spekulan-spekulan barang, terutama mereka yang selalu mencari keuntungan dalam kesempitan.
Gugus Tugas diberikan kewenangan pasti untuk melakukan kordinasi lintas sektoral dan daerah. Bukan seperti sekarang masing-masing kota melakukan gugus tugas sendirian. Untuk itu, Jokowi harus menunjukkan ketegasan maksimum dalam menangani pandemik ini. Tidak perlu ragu memilih, perekonomian lambat vs nyawa rakyat yang harus diselamatkan.*