Oleh:
Nurhaniu Ode Hamusa, Amd. Keb.
Pemerhati Sosial Asal Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara
VIRUS corona seakan menjadi momok bagi penduduk dunia. Bagaimana tidak, korbannya terus bertambah dan menyebar ke berbagai negara. Sebagaimana dilansir dari Kompas.com, kasus virus corona telah menyebar setidaknya di 65 negara di dunia, Indonesia salah satunya (02/03/2020). Sampai saat ini, pasien positif Covid-19 di tanah air sudah mencapai 134 orang (16/03/2020).
Kepada masyarakat, pihak Istana menghimbau untuk tidak panik, tetapi tetap waspada. Dari itu, perburuan masker pun terjadi dan sejak beberapa waktu lalu banyak yang menginformasikan susahnya mendapatkan masker.
Sebagaimana di Konawe, Resor Konawe melakukan sidak di sejumlah toko, apotek dan mini Market yang ada di Kabupaten Konawe. Hal ini dilakukan pasca kelangkaan masker disejumlah daerah termasuk di Kabupaten Konawe dengan menyebarnuya isu virus corona.
Kepala Bagian Operasional Polres Konawe Kompol Jufri Andi Singke mengatakan bahwa kegiatan tersebut dilakukan sebagai upaya pencegahan adanya oknum yang mencoba memainkan harga masker pasca isu virus corona. Ia pun mengatakan hal itu dilakukan untuk mencegah agar tidak terjadi penimbunan masker (Tribratanews Konawe, 05/03/2020).
Di samping itu, Peneliti Indef, Bhima Yudhistira, mengungkapkan kelangkaan sejumlah barang saat wabah corona bukan semata akibat panic buying. Melainkan, adanya kejahatan terorganisasi (organize crime) yang dilakukan para penimbun atau spekulan dengan sengaja menciptakan kelangkaan sejumlah barang.
Riset Indef menemukan, kelangkaan masker dan hand sanitizer yang terjadi serupa dengan kelangkaan bawang putih pada Januari 2020. Kelangkaan akibat penimbunan itulah yang kemudian membuat harga komoditas di pasaran menjadi sangat mahal.
Karena itu, Bhima berkesimpulan bahwa kepanikan yang terjadi di masyarakat boleh jadi sudah direncanakan oleh rente ekonomi. Temuan ini sesuai dengan teori Disaster Capitalism yang diungkapkan jurnalis dan akademisi asal Kanada, Naomi Klein (Inews.id, 05/03/2020).
Maka tak heran ada oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan momen tersebut. Karena wabah virus corona yang menjangkiti puluhan negara tak terkecuali di Indonesia membuat panik masyarakat. Tidak sedikit yang memanfaatkan kepanikan warga dengan menimbun barang termasuk masker untuk dijual kembali dengan harga berlipat-lipat. Miris!.
Sementara dalam Islam, orang yang menimbun barang untuk mengeruk keuntungan pribadi termasuk perbuatan dosa dan diharamkan. Dari Ma’mar bin Abdullah; Rasulullah bersabda, “Tidaklah seseorang melakukan penimbunan melainkan dia adalah pendosa.” (HR. Muslim).
Ditambah lagi sebagaimana dikutip dari Pustaka Ilmu Sunni-Salafiyah (PISS-KTB), ihtikar (penimbunan) adalah menahan (menyimpan) barang pokok (aqwat) dari hasil pembelian saat harga beli tinggi dan dijual dengan harga yang lebih tinggi lagi, dengan tujuan memperoleh keuntungan yang lebih besar, pada kondisi di mana masyarakat (setempat atau di luar itu) berada dalam kebutuhan tinggi.
Hukum ihtikar termasuk praktik jual-beli (muamalah) yang diharamkan, walaupun secara akad dihukumi sah. Keharaman itu semakin bertambah di saat kebutuhan semakin tinggi.
Keharaman ihtikar salah satunya dikarenakan ada unsur Tadhyiiq yaitu membuat kesulitan kepada masyarakat umum minimal dalam sisi ekonomi/materi. Antara penjual dan pembeli tidak ada yang lebih utama dalam sisi mashlahat.
Artinya, keduanya masing-masing saling memberi dan mendapat mashlahat dari praktek muamalahnya. Untuk mendapat mashlahat dari jual beli itu, maka aturan dan syarat jual beli harus dipenuhi, serta motif dan tujuannya pun harus mengarah ke kemaslahatan bersama. Setelah itu, masing-masing berhak untuk mendayagunakan pendapatannya demi kemaslahatan masing-masing, tapi dengan tidak merugikan pihak lain dan itulah idealnya jual beli.
Pun Ihtikar adalah salah satu bentuk muamalah yang tidak memberi maslahat kepada pihak lain dan bisa berdampak negatif terhadap perekonomian lokal (pembeli) maupun global (masyaakat umum). Terlepas dari tujuan apakah barang yang dibeli itu untuk dijual atau konsumsi sendiri, apabila bisa memicu gejolak pasar, dan apabila melihat keumumam hadis bahwa menyimpan barang dalam kurun 40 hari adalah memancing murka Allah dan tidak menjadikan berkah, maka jelas tindakan ihtikar itu termasuk perbuatan tercela.
Dengan demikian, tindakan menimbun barang sulit dilepaskan dalam sistem ini (kapitalisme). Sebab, hal itu telah berlangsung lama dan persoalannya hingga kini belum bisa dituntaskan. Karenanya, perlu adanya kesadaran masyarakat betapa hal itu tidak dibenarkan oleh syariat. Terlebih perlu adanya peran pihak berwenang yang benar-benar amanah dalam menjalankan tugas tersebut. Wallahu a'lam bi ah-shawab.*