Oleh:
Tia Damayanti, M.Pd
Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Masalah Sosial Politik
CORONA, bak artis yang sedang naik daun. Semua orang membicarakannya. Bukan karena kehebatannya, tapi karena begitu menakutkannya. Corona adalah wabah kuman baru yang menghantui dunia (pandemi). Virus corona baru (2019-nCoV) penyebab infeksi seperti pneumonia. Karakteristik genetik 2019-nCoV sudah terkonfirmasi mampu menularkan di antara sesama manusia.
Virus corona pertama kali muncul dan menyebar ke manusia berasal dari kota Wuhan, China pada akhir Desember 2019. Setelah ditelusuri, ternyata beberapa orang yang terinfeksi memiliki riwayat yang sama, yaitu mengunjungi pasar basah makanan laut dan hewan lokal di Wuhan.
Dilansir dari The New York Times, pasar kemudian ditutup dan didesinfeksi, sehingga hampir tidak mungkin untuk menyelidiki hewan mana yang mungkin merupakan asal mula yang tepat. Kelelawar dianggap sebagai sumber yang memungkinkan, karena mereka telah berevolusi untuk hidup berdampingan dengan banyak virus, dan mereka ditemukan sebagai titik awal untuk SARS.
Menurut data yang dikumpulkan oleh John Hopkins University per Sabtu (21/3/2020) pagi, jumlah total kasus virus corona Covid-19 di seluruh dunia telah mencapai 271.629 kasus. Dari kasus-kasus tersebut, terjadi 11.282 kematian dengan 87.403 pasien sembuh. Ada 3.253 kasus kematian yang dilaporkan. Sementara, jumlah pasien sembuh mencapai 71.266 kasus.
Kasus positif virus Corona di wilayah Indonesia sendiri terus bertambah. Berdasarkan data yang dihimpun pemerintah hingga Minggu (22/3/2020) pukul 12.00 WIB, kasus positif COVID-19 telah mencapai 514 orang (detik.com).
"Ada penambahan kasus positif sebanyak 64 orang," kata juru bicara pemerintah terkait penanganan wabah Corona, Achmad Yurianto, dalam konferensi pers yang ditayangkan di YouTube BNPB, Minggu (22/3/2020).
Angka ini sudah melonjak tajam dari awal mula kasus ini dikonfirmasi pemerintah pada tanggal 1 Maret 2020. Indonesia lebih rawan dari sisi teritori geografis, kesiapan aparat medis dan terlebih kesiapan pemerintah. Lambatnya pemerintah menentukan status bencana nasional membuat potensi sebarannya menjadi berlipat ganda/ eksponensial.
Melihat korban yang terus berjatuhan, harus ada langkah konkrit yang dapat menghentikan penyebaran virus ini. Negara-negara lain sudah melakukan kebijakan lockdown. Sejumlah pihak di dalam negeri lantas menyarankan kepada Presiden Jokowi untuk menerapkan langkah serupa.
Namun nampaknya saran ini dianggap angin lalu oleh Presiden Joko Widodo karena hingga saat ini, belum ada rencana untuk melakukan lockdown. Menurutnya, saat ini pemerintah lebih memilih fokus dalam penanganan warganya yang sudah positif Covid-19. Sementara, bila harus melakukan lockdown, artinya pintu keluar dan masuk Indonesia baik dari bandara internasional maupun pelabuhan, harus ditutup tanpa pengecualian. Seperti yang dilakukan beberapa negara lainnya seperti China, Italia, Korea Selatan, Iran, dan Jerman. Sedangkan Indonesia sampai saat ini masih bertahan pada kebijakan untuk memperketat dan menutup kunjungan asal negara yang sudah terpapar. (Viva.news/13/03/2020).
Kenapa Indonesia tidak menerapkan lockdown? Apakah khawatir butuh biaya besar? Dan berapa kerugian yang akan timbul akibat lockdown? Pertanyaan ini muncul, terutama pada orang atau penguasa bermental kapitalis. Perhitungan untung-rugi jadi terkalahkan dengan pertimbangan hidup-mati rakyat. Sistem kapitalis melahirkan pemimpin yang berkarakter dealer (pedagang), bukan berkarakter leader (pemimpin). Karena itu penerapan lockdown hanya sebagai himbauan, bukan sebagai peraturan (kewajiban).
Maka wajar jika akhirnya Presiden Joko Widodo menyerahkan status darurat di daerahnya kepada kepala daerah. Dengan alasan Jokowi menilai tingkat penyebaran virus corona Covid-19 derajatnya bervariasi di setiap daerah.
"Saya minta kepada seluruh gubernur, kepada seluruh bupati, kepada seluruh walikota untuk terus memonitor kondisi daerah dan terus berkonsultasi dengan pakar untuk menelaah siatusi yang ada," kata Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor Jawa Barat, Minggu (15/3/2020).
Terlihat dari kebijakan ini sepertinya ada upaya melepaskan tanggung jawab kepada daerah. Ketika dikembalikan ke daerah-daerah terkait status bencana, tentu akan terjadi perbedaan pendapat. Semestinya seorang Presiden lah yang punya otoritas menyampaikan kebijakannya secara nasional dan bertanggungjawab penuh akan bencana nasional wabah Covid-19 ini.
Peningkatan kewaspadaan pemerintah di Indonesia dilakukan dengan tidak lagi memberikan kemudahan untuk orang keluar masuk negara Indonesia. Salah satunya pemerintah Indonesia memberlakukan surat keterangan sehat yang menyatakan bebas dari Covid-19 bagi pendatang, baik warga negara asing maupun warga negara Indonesia, yang berasal dari Cina, Italia, Iran, ataupun Korea Selatan.
Aturan tersebut mengacu pada Permenkumham nomor 7 tahun 2020 tentang Pemberian Visa dan Izin Tinggal dalam Upaya Pencegahan Masuknya Virus Corona yang ditetapkan pasca tanggal 28 Februari 2020. Pemberlakuan terhadap empat negara itu, karena terjadi lonjakan kasus Covid-19.
Kita perlu mengkritisi berbagai kebijakan tersebut, seperti tentang pemberlakuan surat keterangan sehat, pemeriksaan suhu di bandara dan pelabuhan, serta tindakan apa pun itu yang ironisnya dengan tetap mengizinkan pendatang dari Cina atau negara lainnya masuk ke Indonesia. Hal ini justru memfasilitasi terjadinya wabah di Indonesia. Sebab, riset terkini yang dimuat di The Lancet, menunjukkan penderita infeksi 2019-nCoV bisa hanya dengan gejala ringan bahkan tanpa gejala. Karena begitu sulitnya mendeteksi pengidap infeksi 2019-nCoV, maka yang harus dilakukan pemerintah adalah pencabutan visa bebas berkunjung bagi warga negara asing.
Sebenarnya krisis dan pandemi pernah terjadi dalam sejarah kehidupan umat manusia, termasuk di era kejayaan Islam. Namun, semua berhasil dilalui oleh kaum Muslim. Dalam kondisi krisis, umat berdiri bersama negara, bahu membahu untuk menghadapinya bersama.
Islam memandang negara dan pemerintah adalah pihak yang paling bertanggung jawab melakukan tindakan pencegahan bahaya apa pun termasuk wabah virus mematikan 2019-nCoV yang melanda umat. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
"(Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari).
Negara pun wajib melarang warga negara yang terbukti menjadi tempat wabah untuk masuk maupun keluar ke daerah lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertutur melalui lisannya yang mulia, “Jika kalian mendengar suatu negeri dilanda wabah, maka jangan kalian memasukinya. Jika wabah itu terjadi di negeri yang kalian berada di dalamnya, maka jangan kalian keluar darinya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Inilah cara Islam yang sekarang dinamakan Lockdown. Negara pun harus tegas dalam mengawal "penutupan" kantor-kantor usaha yang tidak bergerak di bidang pokok kebutuhan ummat. Misal, rumah sakit dan distributor farmasi tetap buka, karena dibutuhkan dalam menunjang kesehatan masyarakat.
Negara harus terdepan dalam riset dan teknologi tentang kuman-kuman penyebab wabah, alat kedokteran, dan obat-obatan. Mandiri dan tidak bergantung ke negara lain. Ketika terjadi wabah virus corona ataupun tidak. Juga melakukan langkah praktis produktif untuk peningkatan daya tahan tubuh masyarakat. Dengan menjamin pemenuhan kebutuhan pokok individu dan publik yang semua itu penting bagi terwujudnya sistem imun yang tangguh.
Termasuk menyediakan fasilitas kesehatan terbaik dengan jumlah yang memadai dan mudah diakses kapan pun, di mana pun, oleh siapa pun. Pun kelengkapan alat kedokteran dan obat-obatan terbaik yang efektif bagi penanganan masyarakat yang dicurigai dan atau terinfeksi wabah, termasuk 2019-nCoV. Pelayanan kesehatan berkualitas ini diberikan secara cuma-cuma.
Semuanya ditopang dengan sistem ekonomi Islam yang diterapkan negara dan bertujuan untuk kemakmuran umat. Sistem inilah yang mengelola sumber-sumber pendapatan negara dengan pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang tepat sasaran. Sehingga negara mampu membiayai upaya penangulangan wabah ini. Tidak ada kekhawatiran akan kekurangan dana dan tidak ada kecenderungan sama sekali untuk bergantung pada asing.
Demikianlah gambaran bagaimana urgensi kehadiran negara menjadi garda terdepan dalam mengatasi dan melawan pandemi Corona melalui sistem pemerintahan yang bertanggung jawab penuh melindungi nyawa setiap rakyatnya. Dimana standar perbuatan di dalamnya bukan semata-mata perhitungan untung-rugi materi dan duniawi ala sistem kapitalis sekuler. Amr bin Ash adalah contoh sosok pemimpin yang sukses dalam penanganan wabah, ketika ia memimpin Syam dengan sistem pemerintahan Islam. Wallahua'lam bishshawab.*