Oleh: Dedah Kuslinah, S.T
Tak dipungkiri, istilah Corona telah sampai dalam pembahasan di tingkat bocah. Seorang ponakan yang duduk di bangku kelas satu Sekolah Dasar, melisankan seuntai kalimat yang mengalir dari bibir mungilnya “Jangan lupa pakai masker Bu, harusnya jangan keluar rumah terus.” Alhamdulillah, dia memahami arti pentingnya lockdown.
Bagaimana di masyarakat?
Ternyata wabah makin menggila. Penguasa? Slow respon. Padahal para nakes (tenaga kesehatan) banyak yang jadi korban dan meninggal. Sarana prasarana tak memadai, hoak bertebaran, namun mereka masih keukeuh tidak mau lockdown.
Menurut Fahmiatul Husni, mekanisme lockdown itu konsekwensinya negara / pemerintah pusat wajib menanggung seluruh kebutuhan pokok rakyat di wilayah yang dikarantina. Makanya pemerintah tak berani ketok palu karena tak ada dana buat menanggungnya.
Senada dengan Fahmiatul Husni, Haris Azhar (Anggota Koalisi Masyarakat Sipil) dalam tayangan Indonesia Lawyers Club, 24/3/2020, menilai bahwa pemerintah enggan me-lockdown negara karena ingin menghindari tanggung jawab menyantuni masyarakat sipil yang tak bisa bekerja. Selain itu, pemerintah tak bisa lockdown karena beralasan tidak ada dalam hukum Indonesia.
Ribetnya Hukum Sekuler, Lambatnya Langkah Lockdown
Hukum negeri ini kenalnya karantina, bisa berupa karantina nasional maupun lokal atau tempat-tempat tertentu tergantung lokasi dan konsentrasi mana yang akan dilakukan pemulihan. Daripada melakukan lockdown, pemerintah justru menyerukan kampanye diam di rumah seperti yang dilakukan oleh para petugas medis. Padahal penyebaran virus corona hingga menjadi wabah ini menunjukkan bahwa virus bekerja lebih cepat daripada kebijakan publik negara.
Kenapa masih belum melakukan lockdown, padahal korban sudah berjatuhan?
Lockdown bukan hal yang baru dalam perundang-undangan di Indonesia. UU no 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan dalam pasal 53, 54, dan 55 bicara tentang karantina wilayah. Inilah yang disebut lockdown. Atau barangkali pemerintah memahaminya kalau karantina wilayah itu bukan lockdown.
Tim pakar Gugus Tugas Penanganan Virus Corona, Wiku Adisasmito mengatakan, pemerintah belum berencana mengambil tindakan lockdown, karena akan berimplikasi pada ekonomi, sosial, keamanan. Masyarakat seharusnya sudah paham bahwa Indonesia memiliki pekerja lapangan yang tinggi. Mereka hidup dari menggunakan upah harian. Saat ini langkah yang paling efektif adalah social distancing atau menjaga jarak sosial antara masyarakat. Langkah ini menjadi kepedulian pemerintah supaya aktivitas ekonomi bisa tetap berjalan, dan berlaku dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. (Tempo.com,18/3)
Akankah kita seperti masyarakat Italia, Amerika dan Inggris? Yang menganggap remeh persoalan wabah ini. Menunggu korban bergelimpangan hingga semua terlambat?
Kita tidak ingin seperti itu. Jangan kita menjadi jumawa atau pendekar selembe, istilah orang Pontianak untuk seseorang yang tak mau peduli. Jika yang dikhawatirkan dengan adanya lockdown adalah pengaruh pada ekonomi, memang pasti akan berdampak. Ekonomi akan mandeg bahkan terpuruk. Tapi semua itu bisa dipulihkan jika manusianya hidup, sehat, dan terhindar dari serbuan virus Covid-19.
Bila kita sejenak relaksasi dengan mengamati opini yang berseliweran di media social. Akan kita dapati banyak cerita di balik kebijakan lockdown di sistem sekuler kapitalis.
Lock down membuat angka perceraian di China meningkat. Hal ini disebabkan karena para pasangan menghabiskan banyak waktu di rumah. Mereka cenderung berdebat sengit dan secara terburu-buru memilih berpisah. Selain itu disebabkan lambatnya penanganan, buntut dari tutupnya kantor pemerintah selama sebulan di saat karantina berlangsung (kompas.com,16/3)
Lock down telah membuka kedok sistem pendidikan terutama untuk perempuan. Pendidikan di sistem sekuler kapitalis tujuannya untuk meraih materi. Maka berlomba-lomba kaum hawa untuk menjadi pegawai negeri, swasta maupun pembisnis. Sehingga ketika ada kebijakan anak dirumahkan dan diwajibkan pembelajaran tetap berlangsung membuat para ibu yang selama ini mempercayakan pendidikan anak pada guru dan lembaga pendidikan menjadi kelimpungan.
Banyak anak yang merasa tidak nyaman belajar di rumah bersama ibunya. Hal ini tidak hanya terjadi di keluarga yang ibunya bukan seorang pendidik. Bahkan pada keluarga yang ibuya sebagai tenaga pendidik atau guru. Ada ungkapan bahwa seorang guru lebih berhasil mendidik anak orang lain daripada anaknya sendiri. Guru juga manusia, di sistem sekuler kapitalis tetap membutuhkan materi.
Lock down ibarat penyakit di luar, di dalam kelaparan terutama bagi sebagian masyarakat yang mengandalkan penghidupannya pada upah harian. Manakala sehari tidak ke luar rumah untuk mengais rejeki, maka mereka harus mengetatkan ikat pinggang guna menahan lapar.
Islam Menyikapi Lockdown
Lock down adalah solusi syar’i, atasi pandemi corona. Semestinya kebijakan lock down disikapi dengan keimanan. Dengan keimanan, kebersamaan dalam pengkarantinaan akan meningkatkan ketaqwaan dan kesabaran pada level yang lebih tinggi, sambil bertaqarrub kepada Allah SWT agar wabah ini segera berakhir.
Dengan keimananan, pendidikan yang tinggi bagi seorang perempuan ditujukan untuk menjadi madrasatul ula. Walhasil ada keterikatan dan kedekatan antara anak dan ibu, yang selama ini tercerabut oleh system sekuler kapitalis. Dan di tangan para ibu lah kegemilangan umat terwujud.
Dengan keimanan, idealitas yang terkandung dalam pasal 55 UU no 6 tahun 2018 tentang semua kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina (lockdown) dijamin sepenuhnya oleh pemerintah, bisa terwujud. Sehingga masyarakat tidak perlu khawatir dengan pengibaratan ‘keluar penyakit didalam kelaparan.’
Beriman bukan berarti kehilangan rasionalitas, di sisi lain beriman juga mengandung konsekuensi keterikatan hukum syariat pada perilaku kita. Faktor keimanan ini yang menjadikan umat Islam istimewa. Kualitas keimanan yang kuat dan produktif adalah resep manjur umat dalam menghadapi berbagai ujian dan musibah di berbagai negeri.
Begitu juga dalam menyikapi pademi corona ini. Penting membangun keimanan dengan jalan rasionalitas (aqliyah). Syaikh Taqiyuddin An Nabhani pernah memperingatkan bahwa terdapat bahaya ketika beriman hanya dengan wijdan (perasaan) yang beresiko jatuh pada kesesatan dan kebodohan. Kemudian, saat ada kesenjangan antara aktivitas berpikir, keimanan dan tingkah laku kita sebagai Muslim, maka sesungguhnya kita belum beriman seutuhnya.
Selain itu syariat Islam mengatur bagaimana merespon sebuah pandemi. Wabah pandemi belum terjadi di zaman Nabi, tetapi Nabi Muhammad Saw sudah mengajarkan, kalau itu terjadi, bagaimana umatnya menyikapi.
Nabi bersabda yang artinya “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR. al-Bukhari)
Hadis ini menjelaskan larangan memasuki wilayah pandemi, agar tidak tertular. Begitu juga bagi yang sudah di dalam tidak boleh keluar, agar tidak menularkan kepada yang lain. Kecuali, keluar dari wilayah itu dengan alasan yang syar’i.
Ketika pandemi ini terjadi di zaman Khilafah 'Umar, saat itu wilayah pandeminya adalah Amwash, dekat Palestina, wilayah Syam. Umar pun menaati Syariat, dengan melaksanakan prinsip hadis ini yakni membatalkan kepergiannya ke lokasi wabah.
Dengan demikian, kebijakan lock down adalah kebijakan syar’i. Untuk itu kebijakan lock down harus ditunjang oleh system kehidupan dan kenegaraan yang berorientasi kepada kesejahteraan rakyat. Syariat Islam yang paripurna telah memberikan solusi kehidupan dengan tepat. Ekonomi Islam berbasis sektor yang riil. Kekayaan alam milik umum tidak akan diserahkan kepada swasta dan asing. Negara dengan segala dayanya akan semaksimal mungkin mengelola seluruh kekayaan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehingga tatkala kebijakan lock down diterapkan Negara tidak kelabakan memenuhi semua kebutuhan rakyat.
Dengan wabah corona hari ini, umat Islam butuh khilafah. Sistem pemerintahan yang berdasarkan akidah Islam. Pejabat dalam khilafah adalah orang yang takut mengkhianati amanat. Karena di akhirat mereka akan mempertanggungjawabkan semua kepemimpinannya. Walhasil tidak akan ada masyarakat yang mengalami “penyakit di luar, di dalam kelaparan”. Wallahu’alam bish shawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: kumparan