Oleh:
Nurina P.Sari
Pegiat Komunitas Ibu Peduli Generasi Kota Depok
"Pak Wahyu, mulai besok saya tidak masuk kerja lagi. Setiap kali saya antar tabung gas dan galon ke pelanggan, pas masuk perumahan saya selalu disemprot desinfektan. Baju saya sampai basah kuyup. Hari ini tadi saya disemprot 32 kali Pak. Kalau tiap hari begini terus, bukan virusnya yang mati. Tapi saya yang mati, Pak."
Anda menemukan potongan pesan ini di media sosial? Bagi sebagian orang mungkin ini hanya sebagai ajang lucu-lucuan. Menghibur mereka yang kini sedang #dirumahaja dilanda kebosanan. Tapi kalau dipikir lagi, ada benarnya juga,sih. Mungkin buat orang sini, sudah dianggap "done something" ketika menyemprot desinfektan di sepanjang jalan dan di sekujur badan. Jelas-jelas WHO tidak menganjurkan sama sekali penyemprotan desinfektan ke tubuh manusia. Karena dianggap membahayakan ketika terkena selaput lendir seperti mulut dan mata. Walaupun keliru, ya ndak papalah dari pada "not yet done anything" kan. Begitu mungkin prinsipnya.
Itu baru urusan desinfektan. Belum lagi ramai gelombang warga yang mencoba lockdown wilayah teritorialnya masing-masing. Tutup kampung. Tutup komplek perumahan. Walaupun karantina nasional tidak jadi diadakan, warga akhirnya sepakat ambil jalan masing-masing. Karantina lokal. Biar selamat. Biar aman. Saking ramainya yang bertindak demikian, seperti semarak pesta gelegar covid-19 . Ada penanda dan portal pembatas tanda kalau kampung mereka ditutup sampai entah kapan. Tidak ada satupun yang tahu.
Rakyat jadi jalan sendiri-sendiri. Ibarat anak hilang yang Ibu Bapaknya tak menghiraukan. Seperti hilang kepercayaan terhadap sang perumus kebijakan. Bagi mereka tidak penting mau darurat sipil, darurat militer,atau pembatasan sosial skala besar. Karena setiap hari kabar pilu itu selalu sampai ke telinga. Jumlah kematian itu nyata. Fakta yang dipaparkan oleh Jubir Achmad Yurianto berupa angka-angka itu bukanlah benda mati. Disana ada kehidupan yang telah kembali kepada Tuhan. Ada kesedihan. Ada keluarga yang ditinggalkan. Ada ketakutan, Ada Kehilangan.
IDI(Ikatan Dokter Indonesia) sudah bersuara. Dewan Guru Besar FK UI, Ikatan Alumni, MUI, hingga para tokoh sudah mengeluarkan pernyataan sikap menyuarakan isolasi wilayah. Tapi bagai angin lalu. Tak dihiraukan. Andai saja... andai saja dari awal pemimpin kita yang dielu-elukan oleh politisi PDIP Rokhmin Danuri seperti Umar bin Khattab itu menjiwai cara berpikirnya Umar, sudah pasti tak mengabaikan saran para ahli dan para pakar. Tahu kan cerita Umar bin Khattab ra ketika wabah thaun melanda negeri Syam?
Umar bin Khattab ra yang hendak melawat ke Syam akhirnya membatalkan rencanannya setelah setengah perjalanan dan kembali ke Madinah. Beliau mendengar kabar dari rombongan lain kalau Syam sedang di landa wabah yang mematikan, Setiap hari ada yang berjatuhan meregang nyawa. Atas saran Abdurrahman bin Auf yang berkata "Saya mendengar bahwa Rasulullah SAW bersabda “Jika kalian mendengar wabah tersebut menjangkiti suatu negeri, maka janganlah kalian menuju ke sana, namun jika dia menjangkiti suatu negeri dan kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dan lari darinya” (HR Bukhari).
Itulah Umar bin Khattab dengan jiwa khas kepemimpinannya. Mau mendengar saran dan pendapat dari ahlinya. Umar yakin apa yang sudah disampaikan Nabi Muhammad saw adalah kebenaran. Umar nurut.
Nabi kita Muhammad saw membawa risalah bukan untuk menyempurnakan ibadah ritual manusia semata. Namun risalah itu juga mencakup pengaturan untuk aspek sosial, ekonomi, politik hingga ketatanegaraan. Tak lain agar risalahNya mampu menjadi rahmat dan membawa kebaikan bagi semesta alam. Andai saja mau nurut sama Nabi Muhammad saw. Niscaya hari ini Jakarta sebagai pusat wabah covid-19 di Indonesia sudah di isolasi sejak kasus awal ditemukan. Sehingga penyebarannya tidak meluas sampai ke 32 provinsi sesuai data terkini. Nakes kita tidak kelimpungan. Faskes kita tidak kelabakan.
Andai saja mau nurut sama Nabi Muhammad saw, sudah pasti sedari awal titah Nabi ini di eksekusi. "Janganlah kalian mencampurkan (unta) antara yang sakit dengan yang sehat” (HR. al-Bukhari). Untuk urusan hewan saja, tidak boleh di campur antara yang sakit dan sehat. Apalagi manusia.
Sudah saatnya Pemerintah memberlakukan tes massal bagi seluruh rakyat Indonesia secara gratis. Bukan hanya rapid test, tapi juga swab test. Dengan ke akuratan swab test, begitu ditemukan yang positiv covid-19 , langsung isolasi. Jangan biarkan dia berinteraksi. Berikan penanganannya kepada petugas medis.
Jadi, kalau sampai hari ini grafik wabah covid-19 cenderung terus naik ke atas alias meningkat, silakan di analisa kembali. Jika merujuk dari redaksi dua hadist diatas, tak lain penyebabnya adalah:
1. Pasien positif covid-19 masih berkeliaran dan berinteraksi. Bisa jadi tidak bergejala dan yang bersangkutan pun tidak tahu sehingga tidak mengisolasi diri. Prinsip pemisahan yang sakit dengan yang sehat tidak bias diberlakukan. Disinilah urgensinya tes massal yang keakuratannya bisa dipertanggungjawabkan.
2. Isolasi wilayah yang menjadi pusat penyebaran wabah tak dijalankan. Dan jelas Ini kewenangan pusat.
Andai saja mau nurut sama solusi Nabi Muhammad saw. Niscaya mata rantai penularan akan terputus. Sehingga tidak perlu kita was-was seperti ini. Terpenjara dengan ketakutan kita sendiri. Banyak perusahaan menyerah dan merumahkan karyawannya, tinggallah para tulang punggung keluarga pupus harapan . Pulang kerumah disambut anak istri yang kelaparan. Kalau tak mau isolasi wilayah dengan dalih pertimbangan ekonomi, percayalah perputaran ekonomi hanya terjeda sesaat. Namun urusan nyawa rakyat, kelak akan ada hisabnya. Ada hitung-hitungannya. Gusti mboten sare.*