Oleh:
Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H
Direktur HRS Center
PRESIDEN Jokowi telah resmi menetapkan status bencana nonalam penyebaran COVID-19 sebagai "bencana nasional" melalui Keppres Nomor 12 Tahun 2020 tertanggal 13 April 2020. Sebelumnya ditetapkan status "kedaruratan kesehatan masyarakat" dengan Keppres Nomor 11 Tahun 2020 dan pada saat yang bersamaan ditetapkan pula PP Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19 (PP PSBB).
Seiring dengan itu, Presiden menyikapi akibat pandemi COVID-19 dengan mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020, yang menentukan keberlakuannya bukan hanya sebatas dalam rangka penanganan pademi COVID-19, namun juga berlaku terhadap ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
Patut dicermati, kedua Keppres tersebut di atas memiliki ‘kandungan’ yang sebenarnya berbeda. Keppres Nomor 11 keberlakuanya menunjuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Adapun Keppres Nomor 12 lebih kepada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Di sisi lain, kedua undang-undang tersebut – selain juga Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular – menjadi dasar berlakunya PP PSBB. Ditinjau dari aspek keberlakuan secara yuridis sepintas tidak menimbulkan masalah, namun apabila kita melihat secara sosiologis maka menimbulkan pertanyaaan yang sangat serius, yakni menyangkut dampak manakah yang paling dominan dan oleh karenanya harus menjadi prioritas penanggulangan. Jika kita perhatikan dengan seksama rumusan Undang-Undang Penanggulangan Bencana memang mengakui adanya bencana nonalam, termasuk di dalamnya epidemi dan wabah penyakit. Akan tetapi tidak ditemukan pengaturan penanggulangannya. Lain halnya dengan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan, memiliki pengaturan yang jelas, antara lain yang paling pokok adalah menyangkut sistem karantina dan PSBB. Pengaturan demikian tidak ditemui dalam Undang-Undang Penanggulangan Bencana. Oleh karena itu, menurut asas hukum “lex specialis derogat legi generali”, hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis), maka seharusnya yang berlaku adalah Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan.
Jika begitu halnya, mengapa Presiden medeklarasikan status bencana nasional, yang notabene mengacu kepada Undang-Undang Penanggulangan Bencana? Untuk menjawab hal ini tidaklah dapat dengan pendekatan yuridis semata, ada makna-makna 'simbolik' di balik penetapan tersebut. Asumsi penulis, sepertinya terdapat agenda ‘terselubung’ di balik deklarasi tersebut. Deklarasi tersebut bukan hanya dimaksudkan sebagai respon terhadap kedaruratan kesehatan masyarakat sebab pademi COVID-19, namun juga berlaku terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, dalam Keppres Nomor 12 tidak lagi mencantumkan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan sebagai butir mengingat.
Dengan deklarasi Presiden ini, maka keberadaan status ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan dalam Perppu Nomor 1 semakin mendapat legitimasi. Hal ini terhubung dengan pemenuhan syarat “hal ihwal kegentingan yang memaksa”, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Dengan kata lain, terbitnya Keppres Nomor 12 lebih dimaksudkan mempertegas alasan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan sebagai bidang yang harus ditangani dengan cara-cara luar biasa dan menyimpang dari regulasi yang ada. Tidaklah mengherankan beberapa ketentuan dalam 12 (dua belas) undang-undang telah dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan Perppu Nomor 1, oleh karenanya pantas Perppu ini dinamakan ‘Perppu Sapu Jagat’.
Kemudian, masih menyangkut status bencana nasional, kita juga tidak tahu periode waktu keadaan ‘kahar’ akibat pandemi COVID-19, sampai berapa lama. Terkait dengan itu, Undang-Undang Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa penanggulangan bencana terdiri dari tiga tahap; prabencana; saat tanggap darurat; dan pascabencana. Apakah arah tujuan status bencana nasional lebih terhubung dengan kedaruratan ekonomi ketimbang kedaruratan kesehatan masyarakat. Mengacu kepada pentahapan penanggulangan bencana, maka keberlakuan kedaruratan ekonomi sepertinya akan dimasukkan ke dalam pengertian "tanggap darurat" dan “pascabencana”. Jika ini yang dimaksudkan, maka telah terjadi ‘analogi’ penaggulangan kebencanaan yang sejatinya diperuntukkan untuk bencana alam.
Sangat disayangkan, pemerintah terkesan menutup informasi, perubahan status yang terjadi tanpa adanya penjelasan yang komprehensif. Pada awalnya dibentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, kemudian status kedaruratan kesehatan masyarakat dan sekarang bencana nasional. Belum lagi opsi darurat sipil dalam posisi ‘siap pakai’, jika ternyata dalam pelaksanaan PSBB dianggap gagal. Apakah ada korelasi deklarasi bencana nasional itu dengan opsi darurat sipil? Dengan lain kata, apakah status bencana nasional akan menjadi 'pintu masuk' keberlakuan kedaruratan negara dalam wujud darurat sipil? Semuanya, tergantung sang Presiden.
Kita menanti agenda apa lagi yang diperlihatkan. Bagi rakyat biasa yang terpenting adalah “pengutamaan keselamatan jiwa” yang harus menjadi perioritas bukan yang lainnya.*
Jakarta, 14 April 2020.