View Full Version
Rabu, 15 Apr 2020

Pandemic Bond: Bencana di Atas Bencana

Oleh: Indra Fajar Alamsyah, S.E., M.H.* 

Pemerintah Republik Indonesia (RI) akan menerbitkan surat utang khusus Pandemic Bond. Hal ini dalam rangka menangani dampak virus corona (Covid-19) terhadap ekonomi Indonesia.

Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani menjelaskan tujuan penerbitan pandemic bond adalah menanggulangi efek domino virus corona terhadap perekonomian. Sehingga membuat ini berbeda dengan penerbitan surat utang negara lainnya yang bertujuan untuk membiayai defisit APBN. Sri Mulyani menyampaikan pemerintah telah mendapatkan beberapa alternatif skema pandemic bond berdasarkan pembahasan dengan perbankan dan lembaga jasa keuangan lainnya.

Pertama, dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada perusahaan plat merah. Kedua, pandemic bond digunakan sebagai bentuk penjaminan. Melalui skema ini institusi yang melakukan tugas negara dapat mencairkan klaim penjaminan kepada pemerintah.

Sementara itu, pemerintah baru saja merilis surat utang negara global (global bond) berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS) sebesar US$4,3 miliar pada Selasa (7/4/2020). Global bond tersebut terdiri dari tiga seri yakni RI030, RI1050, dan RI0470. Seri RI1030 memiliki tenor 10,5 tahun yang jatuh tempo pada 15 Oktober 2030 diterbitkan sebesar US$ 1,65 miliar dengan yield global sebesar 3,9%. Seri kedua yaitu RI1050 dengan tenor 30,5 tahun atau jatuh tempo 15 Oktober 2050. Nominal yang diterbitkan juga US$ 1,65 miliar dengan yield 4,25%. Seri ketiga adalah RI0470 dengan tenor 50 tahun, jatuh tempo 15 April tahun 2070 sebesar US$ 1 miliar dengan tingkat yield 4,5%. Seri ini merupakan global bond pertama yang diterbitkan dengan tenor 50 tahun.

Penerbitan global bond ini juga merupakan rantai obligasi mata uang asing kedua oleh Pemerintah pada tahun 2020, di mana, sebelumnya pemerintah menerbitkan obligasi berdenominasi dolar AS dan Euro pada Januari 2020. Beberapa pengamat mempertanyakan langkah-langkah pemerintah yang terkesan gencar membuat utang-utang baru, terlebih lagi pada skema global bond terbaru tingkat yield yang terbilang cukup tinggi. Yield ini bisa disederhanakan sebagai bunga utang pemerintah yang mengeluarkan obligasi. Tercatat dalam peluncuran global bond sebesar USD 4,3 miliar ini berada di kisaran 3,9% sampai dengan 4,5%. Patokan perbandingan atas tentu kita bisa melihat pada Kementerian Keuangan Amerika Serikat (US Treasury) yang mematok yield 1,5% untuk bond hampir sama dengan SBN seri RI1030, yaitu tenor 10 tahun-an. menunjukan bahwa bunga yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia 2,3-3% di atas US Treasury.

Hal ini bisa saja dengan mudah disanggah, bahwa penentuan yield atas global bond antara negara maju dan negara berkembang tentu berbeda. Memang, maka dari itu mari kita lihat patokan perbandingan dari negara-negara ASEAN yang hampir memiliki tingkat ekonomi yang sama dengan Indonesia. Sebagai perbandingan bawah, ada Filipina negara yang kredit rating-nya di bawah Indonesia, tahun 2019 memberikan bunga 3,75% untuk global bond sebesar USD 1,5 miliar bertenor 10 tahun.

Malaysia dengan tenor 10 tahun memberikan yield sebesar 3,39%, Vietnam dengan tenor 10 tahun memberikan yield 3,14%, Thailand dengan tenor 10 tahun memasang 1,38%. Jika kita menggunakan kacamata kapitalis saja sebagaimana negara ini dijalankan, maka sudah nampak ada kesalahan. Karena bagaimana mungkin negara selevel Filipina bisa memberikan yield dibawah Indonesia. Meskipun hanya selisih nol koma sekian persen, nilainya bisa sangat besar, apalagi penerbitan ini pinjam dalam bentuk USD. Apa yang akan terjadi jika dimasa depan terdapat masalah tambahan selisih kurs Rupiah yang terjun bebas terhadap USD?

Kembali ke isu yang melandasi pandemic bond ini, sejauh mana ketepatan langkah ini dalam membendung dampak krisis Covid-19 terhadap perekonomian? Apakah ini adalah langkah yang paling tepat? Di Uni Eropa (UE) pada waktu-waktu ini juga terdapat skema yang hampir sama dengan pandemic bond yang digagas pemerintah Indonesia. Surat utang khusus yang akan dikeluarkan Uni Eropa untuk memerangi krisis yang ditimbulkan wabah Covid-19 ini dinamakan ‘coronabonds’. Namun kesepakatan hal ini tertunda karena beberapa negara-negara Eropa Utara yang kaya seperti Austria, Jerman dan Belanda masih enggan menyetujui langkah ini. Alasan yang menyebabkan negara Eropa utara enggan mendukung langkah itu adalah karena para politisi konservatif khawatir rencana itu berarti adanya mutualisasi (menanggung bersama) dari semua utang (sovereign debts) dan pembayar pajak negara-negara Eropa utara dikhawatirkan akan dimanfaatkan negara-negara di Eropa selatan.

Menteri Keuangan Belanda, Wopke Hoekstra dengan tegas mengatakan “was and remains against the idea… we think this will create more problems than solutions for the EU.” Singkatnya utang ini justru akan menciptakan lebih banyak masalah daripada solusi. Senada dengan ini, politisi senior Jerman Hans-Olaf Henkel juga menyatakan ketidaksetujuannya dengan ungkapan yang viral beberapa hari ini, “This is absolutely irresponsible and in my view would kill the European Union at the end.” Tentu ada alasan kuat mengapa negara-negara Eropa utara yang kaya ini menolak, karena mereka tidak mau menanggung beban utang bersama negara-negara Eropa Selatan yang terdampak paling parah, selain itu kinerja negara-negara Eropa Selatan dalam ekonomi juga tidak selevel dengan negara-negara Eropa Utara.

Namun benang merah yang menjadi poin penting disini bisa kita lihat, yaitu utang akan membawa konsekuensi yang sulit dimasa yang akan datang. Tidak heran jika jurnalis Amerika, Lionel Shriver menulis artikel berjudul “The World is Stuck in A Debt Trap” pada September 2019 lalu di The Spectator dan memberikan sebuah ungkapan satir kepada para penganut ‘ajaran utang’ dalam mengelola negara, “If money is free, it would make perfect sense to borrow as much as you need for the rest of your life, never pay it back, and then die.” Kita bisa melihat gambaran utang yang sejatinya adalah kewajiban yang harus dibayar kembali. Dan dalam sistem kapitalisme saat ini utang akan disertai dengan tambahan bunganya yang melambung.

Konsekuensi berat di masa depan terkait penerbitan sovereign debt ini didukung oleh penelitian akademis ekonom Amerika Serikat dari Stanford University, Prof. Peter DeMarzo bersama rekan-rekannya dengan judul “Sovereign Debt Ratchets and Welfare Destruction”, dari hasil riset ini menunjukkan utang negara dalam bentuk obligasi seperti ini dapat menimbulkan kerusakan kesejahteraan ekonomi. Belum lagi jika kita lacak kasus-kasus sebelumnya dari jejak sovereign debt yang bergelimang krisis di beberapa negara. Prof. Alvaro Cencini, ekonom dari the University of Lugano, Swiss juga telah membuktikan dalam risetnya di jurnal Cuadernos de economía, dengan judul riset “The sovereign debt crisis: The case of Spain” yang mengungkap krisis utang obligasi negara yang menghancurkan ekonomi Spanyol.

Maka, landasan apa yang membuat strategi keluar dari krisis akibat wabah Covid-19 di Indonesia ini bisa diselesaikan dengan tumpukan utang baru? Sebagian pengamat berpandangan bahwa pandemic bond atas nama penanggulangan wabah Covid-19 ini adalah hanya justifikasi untuk kembali melejitkan utang negara atas ketidakmampuan mengelola keuangan negara. Track record Sri Mulyani, yang juga menjadi menteri keuangan RI pada masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bahkan tercatat pada periode 2006-2010, pernah juga menerbitkan global bond senilai USD 11,4 miliar dengan tingkat yield tinggi di kisaran 5,8% – 11,6%. Maka tak heran jika sebagian global bond berbunga tinggi yang dahulu sudah dibuat Sri Mulyani, membuat anggaran negara untuk membayar bunga meningkat dari tahun ke tahun dan terasa hingga kini.

Terlebih dalam kondisi musibah seperti saat ini, menggunakan pilihan utang adalah bencana diatas bencana. Bencana ini bisa berdampak kepada masyarakat sebagaimana kita ketahui penerimaan negara berasal dari pajak rakyat adalah salah satu tumpuan pendapatan negara. Sekaligus hal ini juga akan menjadi bencana kepada pemerintahan selanjutnya yang akan mewarisi utang jangka panjang ini jika jadi dikeluarkan. Dan bukan hanya itu, hal ini akan menjadi bencana juga bagi pengambil kebijakan saat ini, termasuk kepala negara dan kementrian keuangan Republik Indonesia.

Sebagai negeri mayoritas Muslim, tentu kita faham bahwa utang negara yang diterbitkan ini akan satu paket lengkap dengan bunga atau yang kita kenal dengan riba ini berdampingan. Bagi masyarakat, bencana ini bisa jadi hanya akan menyusahkan di dunia, tetapi bagi pengambil kebijakan maka kumpulan dosa riba dan beban utang yang harus dibayarkan berada dipundak para pengambil kebijakan. Ada salah persepsi dari sudut pandang kapitalisme memang, mereka yang memiliki kuasa mengambil kebijakan berfikir akan selesai urusan setelah mengambil utang, toh yang akan membayar nanti bukan mereka-mereka ini. Hal ini dalam ajaran Islam adalah keliru, Imam Al-Mawardi rahimahullah dalam الأحكام السلطانية  memberikan gambaran,

فلو اجتمع على بيت المال حقان ضاق عنهما واتسع لأ حدهما صرف فيما يصير منهما دينا فيه. فلو ضاق عن كل واحد منهما جاز لولي الأمر إذا خاف الفساد أن يقترض على بيت المال ما يصرفه في الديون دون الارتفاق وكان من حدث بعده من الولاة مأخوذا بقضاءه إذا اتسع له بيت المال.

Uraian ini, memberikan gambaran pada kita bahwa masyarakat tidak berkewajiban melakukan iuran untuk melunasi hutang pemerintah, yang wajib mengembalikan adalah pejabat atau pemerintah pada saat itu atau pemerintah selanjutnya, ketika hutang tersebut prosedural serta keadaan kas Negara memungkinkan. Namun jika tidak prosedural, maka yang wajib mengembalikan hutang tersebut adalah individu pejabat yang melakukan hutang negara tersebut. Jika tidak selesai di dunia, maka harus diselesaikan di akhirat kelak. Sudah seharusnya muhasabah ini dilakukan, jika para pengambil kebijakan ini minimal sayang terhadap diri mereka sendiri maka bentuk-bentuk pengeluaran utang negara seperti ini harus dihentikan. Apalagi jika bicara tentang masyarakat yang memiliki hak untuk diurus dengan benar.

Jika dirunut lagi, masalah utang negara ini diambil oleh pemerintah yang menjalankan sistem ekonomi kapitalis karena pemborosan. Hal ini berbeda dalam sistem ekonomi Islam seperti bisa kita telusuri dalam السيرة النبوية  selama perekonomian umat Islam menyelenggarakan negara, tidak pernah tertumpu pada utang luar negeri. Defisit anggaran hanya pernah terjadi pada saat Penaklukan Mekkah (فتح مكة), tetapi segera dilunasi pada periode Perang Hunain (غزوة حنين) di tahun yang sama. Kebanyakan anggaran negara pada masa Daulah Islam kebanyakan surplus. Pertimbangan utama keseimbangan anggaran pada masa itu adalah prinsip kesederhanaan dan kemampuan sebagaimana dalam ajaran Islam. Jauh dari perbuatan boros, terlebih lagi perbuatan boros foya-foya yang dibuat pemerintah dan jajarannya.

Syaikh Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam kitab الدولة العثمانية : عوامل النهوض وأسباب السقوط menuliskan faktor-faktor yang membuat keruntuhan daulah Utsmani, salah satunya adalah karena menyebarnya gaya hidup foya-foya terutama dikalangan pejabat negara dan berkorelasi dengan adanya defisit anggaran yang ditutup oleh utang. Ekonom Turki dari İstanbul Üniversitesi, Dr. Murat Birdal dalam bukunya “The Political Economy of Ottoman Public Debt” menceritakan daulah ini, sejak Sultan Mahmud II (yang memerintah sejak 1808-1839) dihancurkan oleh bankir-bankir melalui utang-utang untuk membiayai berbagai proyek. Jaringan para bankir dari Prancis, Inggris, Austria, Jerman dan Swiss, hingga para kreditor asing masa itu membentuk satu badan yang disebut sebagai Ottoman Public Debt Administration (OPDA).

OPDA memang dibentuk bukan mewakili negara-negara tertentu, melainkan sekumpulan pihak swasta sebagai kreditor. Alhasil OPDA menjadi semacam perusahaan di dalam Pemerintah Turki Utsmani yang dikendalikan kreditor asing dan memiliki kuasa untuk melakukan sebagian kebijakan ekonomi di dalam negeri Turki Usmani. Hasilnya langsung terlihat, OPDA membuat satu intervensi terhadap kebijakan negara. Mereka misalnya berhasil ‘memaksa’ pemerintah Utsmani untuk mengembangkan industri bir bernama Bomonti Beer untuk pertama kalinya pada tahun 1894. Pemerintah Utsmani ‘merestui’ industri bir lokal ini dengan meresmikan pajak terhadap industri bir tersebut.

Inilah bentuk bencana dari intervensi akibat utang yang membahayakan keadaan negara. Semakin banyak utang, termasuk utang negara berbasis obligasi yang berbasis pasar. Karena apa bedanya utang luar negeri dari lembaga/negara donor dan utang dari pasar dalam bentuk obligasi. Hasilnya sama-sama terjajah, yang satu terajajah oleh lembaga donor, yang satu terjajah oleh pasar. Karena pasar yang mengambil bond ini tentunya adalah kapitalis yang memiliki kehendak mereka sendiri, bisa jadi tidak peduli apakah hal itu akan membawa bencana kepada negara yang mengeluarkan obligasi.

Sehingga dalam sudut pandang penanganan bencana, sesungguhnya langkah penerbitan pandemic bond yang sedang dimatangkan ini justru ibarat menabur bencana di atas bencana. Krisis wabah Covid-19 yang sudah membuat susah masyarakat ini akan dilengkapi dengan bencana lonjakan utang negara. Sebagai umat yang sedang mengalami wabah yang bisa jadi ini adalah peringatan dari Dzat Yang Maha Kuasa, Allah ‘azza wa jalla sudah seharusnya kita justru semakin mendekatkan diri kepada Allah, menjauhi segala bentuk kemaksiatan, terutama kemaksiatan kebijakan publik berupa utang riba pembawa bencana yang berkonsekuensi besar dalam kehidupan bermasyarakat.

Hanya dengan itulah kita berharap pada Allah ‘azza wa jalla untuk berkenan mengulurkan pertolongan-Nya, mengangkat wabah Covid-19 ini dan kemudian menurunkan keberkahan bagi negeri ini yang mau menjalankan hukum-hukum-Nya.

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS: Al-A’raf [7]: 96).

Wallahu a’lam.

*) Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia Cabang Bandung, Ph.D. Candidate, Kulliyah of Economics, International Islamic University Malaysia.


latestnews

View Full Version