Oleh:
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
THOMAS Carlyle membuat teori herois. Dia bilang: di tangan pemimpin perubahan bangsa itu terjadi. Betapa besar pengaruh seorang pemimpin sehingga takdir bangsa ada di genggaman tangannya.
Pesan moralnya: jangan salah memilih pemimpin. Jika salah, maka perubahan itu akan menuju ke arah yang salah. Pilihlah pemimpin yang benar, agar sebuah bangsa menuju ke arah yang benar.
Bicara soal ini ada tiga kelompok manusia. Pertama, ordinary people. Masyarakat biasa. Orang awam. Kelas rakyat. Di semua negara, kelompok ini paling banyak jumlahnya. “sak karepmu dewe urus negoro, sing penting kerjoku lancar, anak bojoku isih iso mangan sego”. Nah, ini ordinary people.
Kedua, eksepsional person. Manusia istimewa. Beda dari yang lain. Kompetensi dan literasinya membuat ia layak menempati posisi sebagai pemimpin. Ia memengaruhi, bukan dipengaruhi. Ia leader, bukan boneka. Dari kata “lead” yang artinya memimpin. Berada di depan. Jadi imam.
Ketiga, holder of eksepsional position. Manusia biasa. Tapi karena faktor “x” ia terpilih jadi pemimpin. Mewarisi atau mengambil secara “tidak etis” dari posisi orang yang lebih layak dan memenuhi persyaratan sebagai pemimpin. Anak raja dalam sistem monarki, misalnya. Atau ia pandai bersolek di era demokrasi. “petruk dadi ratu”, kata dunia pewayangan.
Saat pandemi covid-19 melanda dunia, para pemimpin akan terseleksi. Dari pemimpin kecil, sampai pemimpin dengan wilayah dan otoritas yang luas. Termasuk pemimpin bangsa dan pemimpin daerah.
Dalam situasi normal, seorang pemimpin biasanya baru akan terkoreksi setelah berhenti berkuasa. Saat berkuasa, durasi waktu yang panjang (5-10 tahun), para pemimpin masih bisa menggunakan fasilitas dan kekuasaannya untuk menutup-nutupi karakter dan kapasitas asli dirinya. Mereka bisa menekan dan mengancam orang yang kritis dan ingin membongkar kebobrokan dirinya. Mereka juga bisa sewa buzzer untuk membuat opini “selalu baik” tentangnya.
Setelah pemimpin itu turun dan tak berkuasa lagi, fasilitas otomatis berhenti. Semua akan terlihat “apa adanya”. Termasuk hasil kerjanya terkoreksi secara terbuka. Akan terlihat ia pahlawan, atau pecundang. Ia pemimpin, atau maling. Para buzzer pensiun, karena tak ada lagi yang bisa dipoles.
Masa pandemi covid-19, durasi waktunya pendek. Mendadak dan tiba-tiba. Semua orang gagap dan panik. Di sinilah seorang pemimpin akan diuji. Sejauh mana ia punya kompetensi dan narasi dalam menghadapi situasi ini.
“Ini dadaku, mana dadamu?”kata Soekarno. Ini namanya pemimpin. Paling tidak “berjiwa pemimpin”. Dengan segala kekurangannya, Soekarno adalah seorang pemimpin yang berkarakter.
Selain karakter, pemimpin juga harus berkompeten. Karakter dan kompetensi adalah dua hal yang saling memengaruhi. Karakter seorang pemimpin dipengaruhi oleh kempetensinya. Gak kompeten kok jadi pemimpin, berarti gak berkarakter.
Kalau lu punya pemimpin “sudah tak berkarakter, tak ada kemampuan lagi”, maka kelar hidup lu.
Karakter dan kompetensi seorang pemimpin akan terlihat secara terang benderang ketika ia dihadapkan pada masalah. Covid-19 adalah masalah yang sangat serius. Penyebarannya luar biasa cepat. Tingkat kematiannya tinggi. Rumah sakit dan fasilitas kesehatan terbatas. Keuangan negara terancam. APBN-APBD megap-megap. Dampak sosial-ekonominya dahsyat. Ini akan dapat mengukur seorang pemimpin dengan melihat cara ia menghadapinya.
Waktunya teramat singkat, tak sempat lagi pemimpin bersolek. Buzzer terbatas ruang geraknya. Isu covid-19 begitu cepat dan masif. Second to second. Tak akan tertandingi oleh isu lain. Semua akan fokus melihat isu ini. Juga melihat bagaimana pemimpin mereka menyelesaikannya.
Dari kasus covid-19, akan terlihat mana pemimpin yang berkompeten, dan mana yang tak berkompeten. Ia eksepsional person, atau holder of eksepsional position. Ia pemimpin asli, atau hanya boneka. Ini berlaku di semua negara.
Dari mana melihatnya? Pertama, sejauhmana seorang pemimpin memahami masalah. Ini hal yang paling mendasar dan prinsip. Kalau gak tahu masalah, bagaimana mungkin ia bisa menyelesaikan? Salah satunya bisa dilihat dari informasi dan narasinya. Sesuai fakta, atau bertentangan.
Kedua, bagaimana perencanaan dan langkah antisipasi yang disiapkan pemimpin itu. Cenderung cepat atau lambat. Serius, atau sekedarnya saja. Ini soal komitmen. Rakyat pasti membacanya.
Ketiga, terukur tidak program dan tindakan yang dilakukan pemimpin itu. Baik proses maupun hasilnya. Berapa perhari bisa menekan angka terinveksi, menambah angka orang yang sembuh dan memperkecil tingkat kematian. Semua mesti terkalkulasi. Dengan upaya mitigasi, kapan pandemi ini akan berakhir. Ini juga mesti terprediksi. Sehingga ada kepastian masa depan.
Keempat, bagaimana kemampuan pemimpin menggerakkan dan mengkonsolidasikan semua kekuatan dan potensi di bawah otoritasnya. Sinergi bawahan ada di tangan pemimpin. Kalau bawahan jalan sendiri-sendiri, bahkan malah bertabrakan, ini indikator bahwa kepemimpinannya gak jalan.
Kelima, bagaimana seorang pemimpin itu bisa ikut merasakan apa yang dirasakan rakyatnya. Ada empati yang bisa dirasakan oleh mereka yang kehilangan keluarganya. Ada emosi yang menyentuh perasaan para dokter yang koleganya berguguran.
Lima hal ini akan menjadi seleksi alam, apakah para pemimpin itu eksepsional person, sungguh-sungguh seorang pemimpin, atau holder of eksepsional position, para pemimpin pajangan.*
Jakarta, 16 April 2020