Oleh:
Ustaz Bendri Jaisyurrahman
Pakar Parenting Islam
FATIMAH ra telah memasuki usia cukup menikah. Beberapa sahabat senior kemudian datang untuk meminangnya. Yang pertama datang adalah Abu Bakar ra. Siapapun tahu, dia adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah Saw. Yang menemani Rasulullah Saw setiap saat mengemban risalah. Tak perlu diragukan lagi keimanan dan kualitas personalnya. Ia juga seorang saudagar yang kaya raya. Namun, Rasulullah menolak lamarannya.
Datang kemudian Umar bin Khaththab ra. Orang yang dijuluki Al-Furqon oleh Rasulullah Saw. Yang paling jeli dan tegas membedakan mana yang benar dan yang salah. Lelaki terhormat dan pemberani yang disegani lawan maupun kawan. Juga memiliki harta yang tak sedikit. Namun, lamarannya pun bernasib sama; kandas ditolak Rasulullah Saw.
Para sahabat mulai bertanya-tanya, seperti apakah menantu yang diinginkan Baginda Rasul. Sekelas dua sahabat utamapun ditolaknya.
Jauh dilubuk hati Rasulullah Saw, jawaban itu sebenarnya sudah ada. Jawaban dari seorang ayah yang mengerti putrinya. Baginda Rasul tahu benar figur pendamping seperti apa yang diidamkan putri bungsunya. Pesan itu sudah disampaikan Fatimah dengan halus. Namun, jelas.
Hingga pesan itu pun akhirnya terdengar oleh kaum Muslimin. Baginda Rasulullah Saw menerima pinangan Ali bin Abi Thalib. Pemuda beriman, pemberani, cerdas, dan terhormat. Namun yang lebih penting dari semua itu; ia adalah yang paling mirip dengan Baginda Rasul. Perawakannya, ketampanan, dan sikapnya; semua bagaikan cetak ulang Rasulullah Saw. Meski dia bukanlah pria berharta.
Fatimah ra menginginkan lelaki yang kelak menjadi suaminya seperti ayahnya. Itulah pesan dari seorang anak perempuan yang sangat mencintai ayahnya. Ini juga arti besar seorang ayah dalam benak putrinya.
Akan tetapi, hari ini kitaberhadapan dengan kenyataan bahwa hanya sedikit anak yang mencintai dan mengidolakan ayahnya. Banyak anak yang hanya mengenal sosok fisik ayahnya tapi tidak benar-benar mengenal pribadinya. Apalagi mencintai figur orangtua lelakinya ini. Ayah hanya dikenal sebagai pencari uang dan pulang ketika malam menjelang.
Begitupun dalam dunia pendidikan. Pendidikan anak di usia dini hingga pendidikan dasar, selepas dari asuhan ibu di rumah didominasi oleh tenaga pendidik perempuan. Sehingga anak diusia dini banyak kehilangan stimulus kelaki-lakian.
Stimulus Kelelakian
Apa yang terjadi bila anak kehilangan stimulus kelaki-lakian? Maka, anak tersebut akan lebih mirip seperti perempuan dan kebiasannya. Bukan otomatis anak tersebut akan menjadi banci atau langsung menyimpang menjadi LGBT. Namun, menjadi seperti yang disebutkan Allah SWT dalam surat Az-Zukhruf ayat 18, “Atau orang yang dibesarkan dalam (keadaan) berperhiasan dan dia tidak dapat memberikan keterangan dalam pertengkaran.”
Artinya, anak yang kekurangan figur ayah dan stimulus kelaki-lakian kelak seperti yang digambarkan Allah SWT; yaitu senang berhias dan tidak dapat memberikan keterangan yang jelas dalam berargumentasi.
Gejala senang berhias ini dapat kita lihat ketika seorang anak mematut penampilannya. Apabila anak lelaki senang pilah-pilih outfit yang akan dikenakan, macho atau tidak perawakannya, kemudian dia senang memadu-madankan barang-barang yang melengkapi penampilan seperti jam tangan, topi, sepatu, dan lainnya; maka ia dipastikan senang berhias layaknya perempuan.
Apakah berarti tampil menawan dilarang bagi pria? Tentu saja tidak. Akan tetapi, kewajiban tampil menawan ini berlaku bagi mereka yang sudah beristri. Bagi lelaki, jejak kelelakianlah yang seharusnya lebih diperhatikan untuk dapat dilihat oleh publik. Layaknya para sahabat yang tidak memedulikan sekujur tubuh mereka yang penuh bekas luka akibat perang. Mereka tidak pernah pusing memikirkan adakah perempuan yang mau diperistri, jika melihat tangan mereka yang tinggal sebelah atau wajah mereka yang dipenuhi oleh bekas luka.
Di hari ini ketika perang belum terjadi di Bumi Pertiwi, selayaknya seorang lelaki Muslim lebih memperhatikan jejak kelelakian mereka dibidang teknologi, industri, dan terutama tafaquhfiddin; ketimbang sibuk memperhatikan penampilan. Karena, sekali lagi, menurut Allah SWT, inilah bagian dari sifat keperempuanan. Sifat yang kemudian menempel lekat pada lelaki dewasa karena ketika kecil, mereka kurang mendapatkan stimulus kelaki-lakian dari seorang ayah.
Sifat kedua yang identik dengan perempuan yang disebutkan Allah SWT dalam surat Az-Zukhruf ayat 18 ini adalah lemah dalam berargumentasi. Adalah sebuah kewajaran bagi perempuan, bila apa yang diungkapkan oleh lisannya didominasi oleh perasaan. Terlontar dalam barisan kalimat yang panjang, detail, dan dipenuhi oleh emoticon. Tapi, ini jadi hal yang tidak normal manakala dilakukan pula oleh kaum Adam.
Bila seorang istri bercerita pada suaminya dari mulai awal kejadian hingga akhir; lengkap dengan berbagai tafsiran yang berasal dari dirinya kemudian hanya ditanggapi, “Gitu ya?” oleh sang suami itu adalah hal wajar. Yang tidak wajar adalah jika sang suami ikut “ngerumpi” dan ikut membeberkan perasaannya sekaligus pengalaman hidup yang kira-kira relevan.
Suatu ketika, seorang anak lelaki sebuah SDIT yang kehilangan sepasang sepatunya ketika turun dari panggung pentas seni. Dia “memarahi” sang guru dan terus melontarkan penyesalan telah mengikuti perintah sang guru untuk melepas sepatu kesayangannya.
Tak banyak yang saya lakukan ketika itu. Saya hanya menghampiri dan memeluknya, seraya bertanya, “Ayahmu dimana?” Anak itupun menjawab sambil masih mengomel plus terisak bahwa sang ayah berkerja di luar negeri dan tidak pernah memperhatikan dirinya yang selalu rindu pada ayahnya. Inilah salah satu dampak yang begitu sederhana. Seorang anak lelaki kecil yang merindukan Ayahnya, menjadi layaknya perempuan yang menggunakan perasaan dan tangisan sebagai cara pertama untuk menyelesaikan masalah. Ia asing dengan kalimat yang tegas dan tindakan akurat layaknya cara seorang ayah dalam menyelesaikan masalah.
Iniah sebagian kecil dari kedaruratan sikap hidup yang muncul akibatnya minimnya peran ayah di dalam pengasuhan anak. Oleh karena itu, akan sangat absurd, bila kita sibuk menolak keberadaan kaum LGBT, akan tetapi kita sesungguhnya sebagai aktivis dakwah, terutama sebagai kepala keluarga dan seorang ayah, justru tak merasa betapa rindunya anak-anak akan hadirnya jiwa dan hati kita di rumah.
Pesan untuk Orangtua
Ibnul Qoyyim Al-Jauziah pernah berpesan pada anaknya Ibrohim dalam kitab Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud mengenai beberapa perkara yang akan mencelakakan jiwa anak-anak dalam proses menuju dewasa. Yang pertama adalah tidak adanya perhatian orangtua kepada anak. Anak dibiarkan tumbuh tanpa adanya kepedulian tentang bagaimana jiwa mereka berkembang dan apa yang dibutuhkan agar jiwa-jiwa tersebut menjadi kuat. Anak-anak cenderung menjadi mereka yang tersia dan terabaikan.
Yang kedua, orangtua cenderung mengabaikan pendidikan tentang tuntunan agama dan sunnah Rasulullah Saw. Sehingga mereka lupa jatidiri mereka sebagai seorang Muslim dan tumbuh menjadi manusia yang lupa pada Penciptanya dan tak punya pegangan yang kokoh. Yang ketiga,orangtua cenderung mengikuti anak mengikuti syahwat. Orangtua kadang justru menganggap dengan mengikuti syahwat/ keinginan anak, maka itu adalah bentuk kasih sayang. Padahal itu cenderung menjerumuskan anak. Contohnya dalam penggunaan gadget. Banyak orangtua memberikan gadget pada anak dengan dalih kasih sayang. Padahal mereka tahu potensi kerusakan yang ada didalam gadget bagi anak lebih besar dibandingkan manfaatnya. Bila kemudian si anak mendapatkan masalah karena interaksi yang sangat intens dengan gadget, maka orangtua cenderung tidak mengakui bahwa akar permasalahan itu sesungguhnya berasal dari dirinya sendiri.
Kondisi inilah yang sekarang berada di depan mata kita. Bahwa banyak masalah yang justru datang dari tindakan kita sendiri sebagai orangtua. Ketidakhadiran orangtua secara lengkap dalam pengasuhan akan membuat anak justru abai pada aturan dan orangtuanya sendiri.
Salah satunya tercermin pada apa yang diceritakan oleh Dr. Irwan Rinaldi. Beliau adalah seorang penggagas konten pentingnya para ayah untuk “kembali ke rumah”. Bahkan, beliau adalah pioneer guru TK laki-laki saat itu.
Beliau mengisahkan seorang pelajar SMU di Yogyakarta yang terlibat dalam jaringan pengedar narkotika. Suatu hari, pelajar laki-laki tersebut berhasil ditangkap oleh pihak kepolisian. Dalam penyelidikan yang dilakukan, terungkap bahwa anak lelaki ini berasal dari keluarga yang berkecukupan dan hasil tes urine-nya menyatakan bahwa pelajar SMU ini bukanlah pengguna narkotika. Penyidik yang menanganinya jelas tidak menyangka bahwa fakta yang dihadapinya, bertolak belakang dengan asumsi selama ini. Bahwa mereka yang menjadi seorang pengedar biasanya bermotif ekonomi karena ia membutuhkan uang atau karena ia adalah pemakai.
Setelah melewati sikusi panjang,sang anak pelajar SMU ini akhirnya sepakat bahwa ia akan membantu kepolisian menangkap bandar yang menaunginya selama ini. Pertemuan di sebuah mall kemudian diatur. Apa yang terjadi dalam pertemuan si pelajar dengan bandar narkoba adalah sesuatu yang benar-benar diluar dugaan.
Lewat kamera tersembunyi, tampak seorang lelaki berumur sekitar 40 tahunan mendekat pelajar SMU tersebut. Dia mendekati anak itu, kemudian mendekatinya dan berkata, “Maaf ya Boy, udah nunggu Om lama.” Ini sungguh merupakan tidakan seorang lelaki gentle yang memuliakan laki-laki lainnya. Menepuk bahu. Dengan cara ini pula Rasulullah Saw menasihati Abdullah bin Umar dengan sebah nasihat indah tentang kehidupan. Cara ini pula yang hampir tak “lupa” dilakukan seorang ayah pada anak lelakinya yang hampir atau bahkan telah dewasa. Cara yang membuat seorang lelaki merasa dihargai.
Lanjut lebih jauh pada apa yang dibicarakan oleh sang bandar pada pelajar tersebut. Sang bandar bertanya, “Are You happy?” Bukan pertanyaan tentang bagaimana penjulan yang sukses dilakukan si anak, juga bukan bertanya apakah dia dikejar pihak berwajib. Si anak pun tercenung kemudian spontan memeluk si Bandar. Dia kemudian berkata. “Makasih ya Om. Cuma Om yang bisa ngerti saya.”
Apa yang dilakukan oleh si anak bukanlah karena ia butuh uang karena ayahnya telah berhasil melimpahi keluarganya dengan kekayaan. Bukan pula ilusi. Karena fakta bahwa ia menggenggam kenikmatan duniawi, juga telah dimiliki. Ia hanya butuh kedua orangtuanya. Bukan hanya ibu tetapi juga adanya seorang ayah untuk dirinya. Untuk mengerti dan memperlakukan dirinya layaknya lelaki dewasa.
Fenomena Hunger Father
Kenyataan rindunya anak-anak pada hadirnya sosok ayah dalam pemgasuhan inilah yang disebut sebagai hunger father. Ada tujuh gejala hunger father yang dapat dilihat pada seseorang bahkan ketika sudah memasuki usia dewasa:
Model utama bagi anak dalam melihat dunia luar adalah sosok ayah. Ayah dianggap mewakili apa yang terjadi di dunia luar rumah oleh anak sekaligus sebagai tempat anak berlindung. Bila ayah tidak hadir untuk menjadi jendela bagi anak-anaknya dalam melihat dunia luar, maka anak akan cenderung minder, tidak percaya diri bahkan takut berada di luar zona amannya selama ini. Bahkan, bila sang ibu bekerja sekalipun. Karena ranah ibu, secara fitrha lebih dominan di dunia domestik. Ayahlah yang dalam hal ini memiliki posisi sentral sebagai peletak tonggak prinsip kehidupan yang akan dipegang anak ketika memasuki dunia luar.
Sosok Ayah adalah pahlawan bagi anak-anaknya terutama anak laki-laki. Dengan adanya seorang ayah disisi, seorang anak lebih mandiri. Tak mudah merasa gamang dan percaya bahwa dirinya bisa menangani segala sesuatu sendiri. Namun, kemandirian ini tidak akan terbangun jika “pahlawan” itu tidak ada. Sebagaimana hari ini kita lihat, begitu banyak anak yang cenderung penakut dan menjadikan orangtua sebagai tameng dirinya.
Riset Diknas di tahun 2011 menyajikan fakta bahwa usia psikologis anak-anak jaman now adalah 1/2 usia biologisnya. Apa artinya? Fakta ini menunjukkan bahwa anak-anak kita yang beranjak dewasa hari ini adalah manusia yang kekanak-kanakan (infantil). Berbadan besar tetapi jiwa yang berada di dalamnya adalah jiwa anak-anak. Bila anak kita hari ini berusia 20 tahun, maka kepribadiannya adalah pribadi anak usia 10 tahun. Inilah yang menjelaskan mengapa mayoritas mahasiswa kita lebih senang bermain mobile legend, nongkrong sampai pagi di cafe tanpa obrolan yang berbobot, dan ogah menyerukan kepentingan rakyat. Pikiran generasi penerus bangsa kita belum sampai pada urusan realitas dan krusial tersebut.
Ayah yang tidak terlibat dalam pengasuhan biasanya tidak dapat mengenal siapa anaknya sendiri. Ini akan menimbulkan konflik dalam keluarga dan berujung pada kebencian sang anak kepada ayahnya sendiri. Rasa benci dan keringnya hati anak dari kasih sayang ayahnya akan membuat anak sebisa mungkin mengeliminir kehadiran lelaki dalam dirinya. Anak lelaki akan menafikkan identitas kelelakiannya sehingga ia berpotensi menjadi gay. Sementara anak perempuan, menghindari kehadiran laki-laki dalam kehidupan akibat “trauma” yang dimilikinya dan lebih memilih pasangan hidup sejenis.
Kembali pada sifat perempuan yang difirmankan Allah SWT dalam surat Az-Zukhruf ayat 18 bahwa perempuan adalah mahluk yang sulit untuk menegaskan argumentasinya, sulit mempertahankan pendapat karena sikap toleransinya yang tinggi, dan ragu untuk memutuskan. Kemampuan untuk mengeksekusi biasanya ada pada sosok lelaki. Contoh aplikasi kemampuan inilah yang sangat diperlukan oleh seorang anak dalam memutuskan berbagai hal dengan matang dalam hidupnya. Aplikasi inilah yang harus dilakukan seorang ayah.
Anak yang kurang mendapat stimulus kelelakian dalam hidupnya akan lebih mudah terombang-ambing perasaannya. “Gampang baper” dan “gampang meleleh” ketika sedikit saja mendapat perhatian. Seperti yang terjadi pada kasus anak pengedar narkoba di atas.
Perlu kita ketahui bahwa geng narkoba selalu mengagendakan pelatihan parenting bagi bandar narkoba agar mereka bisa lebih mudah mempengaruhi orang-orang “baperan” dan emosional untuk memperluas jaringan mereka. Maka, baik bagi kita untuk mengevaluasi kembali, sejauh mana peran kita sebagai orangtua terutama ayah dalam melindungi anak-anak kita.
Anak perempuan yang dicintai ayahnya akan memimpikan seorang suami yang “seperti” ayahnya. Hal ini karena ayah merupakan cinta pertama bagi anak perempuannya. Bila tak ada ayah atau malah dirinya mengeliminir sosok ayah dalam benaknya, maka seorang anak perempuan malah akan berkata,”Yang penting, suamiku kelak tidak seperti ayah.” Ini berbahaya karena ia rentan menjadi sasaran predator seksual yang hanya ingin memanfaatkan fisiknya saja dan bila memutuskan untuk menikah, bisa salah pilih jodoh.
Memperhatikan betapa mengkhawatirkannya dampak dari “hunger father” ini, maka marilah dari sekarang kita membangun diri menjadi sosok yang dirindukan bagi anak-anak kita.
Bagi anak lelaki, marilah kita berusaha untuk menjadi super hero pertama bagi mereka. Jadikan diri kita sebagai rule model yang akan mengantarkan mereka menjadi pejuang tangguh dalam hidup.
Bagi anak perempuan, buatlah mereka seperti Fatimah ra yang begitu mencintai ayahnya sehingga ia bermimpi bahwa orang yang kelak menjadi suaminya adalah yang seperti ayahnya.**
*Tulisan ini merupakan intisari Kajian Ramadhan Ustaz Bendri Jaisyurrahman yang ditayangkan Ummat TV pada Jumat, 24 April 2020.