Oleh:
Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
Direktur HRS Center
TERSIAR berita mengejutkan hari Jumat kemarin (8/5/2020) terdapat sebelas penumpang pesawat positif terinfeksi Covid-19 di bandara Soekarno-Hatta. Kesebelas penumpang itu adalah eks anak buah kapal (ABK) dari kapal pesiar Italia dan secara bersamaan terjadi penumpukan orang yang cukup banyak.
Kita ketahui, bahwa moda transportasi udara dengan kecepatan waktu tempuhnya lebih cepat dari masa inkubasi penyakit menular (in casu Covid-19). Oleh karena itu, pembukaan kembali moda transportasi udara, termasuk bagi WNA semakin memperbesar risiko masuk dan menyebarnya Covid-19.
Di sini terlihat, Pemerintah Pusat tidak komprehensif dalam upaya cegah-tangkal terhadap penyebaran Covid-19. Seiring penerapan PSBB yang belum optimal, kebijakan pembukaan kembali seluruh moda transportasi semakin melemahkan status “Kedaruratan Kesehatan Masyarakat”.
Seharusnya, sejak awal diterapkan sistem Karantina Wilayah, termasuk di semua pintu masuk wilayah negara. Penulis pribadi sudah sering mengatakan, bahwa PSBB tidak dapat berdiri sendiri, keberadaannya hanya sebagai pelengkap/pendukung Karantina Wilayah.
Kondisi yang terjadi di bandara Soeta merupakan keadaan yang dapat mempengaruhi timbulnya pengaruh buruk terhadap kesehatan masyarakat, dengan meluasnya penyebaran Covid-19. Jika arus masuk WNA semakin meningkat, maka dikhawatirkan semakin meningkat pula penyebaran Covid-19.
Pemerintah Pusat harus konsekuen dengan penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang notabene dideklarasikan oleh Presiden Jokowi sendiri. Pendekatan yang digunakan tentunya harus mengacu kepada sistem Kekarantinaan Kesehatan. Dengan penetapan Presiden tersebut, maka secara yuridis harus dilakukan upaya cegah-tangkal keluar atau masuknya orang antarwilayah. Terlebih lagi, WNA yang masuk ke Indonesia tergolong sangat rawan penyebaran Covid-19.
Keengganan Pemerintah Pusat untuk menetapkan Karantina Wilayah semakin dipertanyakan, terlebih lagi di pintu masuk negara. Padahal, Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan telah menegaskan bahwa Pemerintah Pusat bertanggung jawab menyelenggarakan Kekarantinaan Kesehatan di pintu masuk dan di wilayah secara terpadu. Demi kepastian kepentingan ekonomi, kepastian kepentingan keselamatan jiwa rakyat ditanggalkan.
Selanjutnya, dipertanyakan pula daya berlaku penetapan status “Kedaruratan Kesehatan Masyarakat” dan “Bencana Nasional”. Kebijakan yang diambil justru bertentangan dengan sifat kedaruratan dan kebencanaan itu sendiri.
Korban jiwa semakin hari semakin terus bertambah. Rakyat sudah demikian susah, kini diperparah oleh kebijakan yang membuat resah dan gelisah.**
Jakarta, 9 Mei 2020.