Oleh:
Dr. Samsul Basri
BANYAK yang menanyakan bagaima sebenarnya waktu imsak itu? Kepada penanya, kami kutipkan apa yang kami tulis di buku panduan Ramadhan Meniti Jejak Cahaya pada bagian Serba serbi Ramadhan (Pertanyaan berulang seputar Ramadhan). Semoga bermanfaat.
Pertanyaan:
Seorang muslim terlewatkan sahurnya dan sangat berkeinginan meneguk air. Suara adzan Subuh pun dikumandangkan, saat gelas air dalam genggaman tangan. Meskipun ada peringatan ulama untuk tidak minum dalam kondisi demikian, namun tetap saja ia minum karena tiga alasan.
Pertama, keyakinannya bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla Maha Penyayang dan Maha Lembut terhadap dirinya, sehingga tidak menghendaki dirinya mengawali puasa di hari itu dalam keadaan haus.
Kedua, perasaannya yang haus, butuh minum air setelah makan.
Ketiga, adanya sejumlah pendapat beredar di kalangan umum diantaranya, kebolehan makan ketika terdengarnya sebagian dari adzan subuh (terdengarnya takbir); bahkan ada yang mengatakan kebolehannya sampai akhir adzan; ada juga yang mengatakan sampai jelas benang putih dari benang hitam.
Lantas bagaimana hukum puasanya pada saat itu? Bagaimana tingkat keshahihan pendapat-pendapat tersebut? Dan apakah ia harus meninggalkan gelas minum di tangan atau yang ada di depannya?
Jawaban:
Puasa yang disyariatkan adalah menahan dari segala yang membatalkannya dari terbit fajar yang kedua (Fajar Shadiq) sampai terbenamnya matahari. Allah berfirman : “Makan dan minumlah sampai jelas bagimu benang putih dari benang hitam dari waktu fajar kemudian sempurnakan puasa hingga waktu malam.” (QS. Al-Baqarah :187).
Aisyah dan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhum meriwayatkan bahwasanya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : "Sungguh adzan yang dikumandangkan Bilal masih menunjukkan waktu malam, karena itu makan dan minumlah kalian hingga adzan dikumandangkan oleh Ibnu Ummi Maqtum." Beliau (Ibnu Ummi Maqtum) adalah sahabat yang buta, dan tidaklah beliau adzan kecuali setelah dikatakan kepadanya, "Telah masuk waktu Subuh, telah masuk waktu Subuh" (Muttafaqun 'alaihi). Dalam lafazh Bukhari disebutkan bahwa sungguh tidaklah ia mengumandangkan adzan kecuali telah tampak fajar shadiq.
Ibnu Abbas radhiallaahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Waktu fajar itu ada dua: waktu fajar dimana makan diharamkan dan shalat subuh dibenarkan pada saat itu. Dan waktu fajar dimana shalat subuh diharamkan dan makan dibenarkan pada saat itu." (Riwayat Ibnu Khuzaimah).
Abu Bakar bin Khuzaimah mengatakan, "Perkataan Nabi, “Waktu fajar yang diharamkan makan pada saat itu....” maksudnya adalah bagi orang yang berpuasa”. Maka jika muadzin mengumandangkan adzan karena terbitnya matahari (adzan subuh) maka wajib bagi yang berpuasa memulai imsak (menahan) meskipun hanya mendengar adzan. Kecuali diketahui bahwa muadzin beradzan lebih cepat sedikit dari waktunya, maka tidak ada larangan makan dan minum saat adzan tengah dikumandangkan. Hal inilah yang menjadi maksud perkataan Nabi saw, "Jika salah seorang kalian mendengar adzan sedang gelas berada ditangannya, maka janganlah meletakkan gelas tersebut sampai dia memenuhi hajatnya (meminumnya lebih dahulu).” diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan Hakim, dan hadits ini memenuhi syarat kesahihan yang dipersyaratkan Imam Muslim.
Al-Baihaqi mengatakan, “Kondisi minum saat terdengar adzan berlaku sekiranya memang benar (adzan lebih cepat dari waktunya), karena itulah para ulama mengkondisikan hadits di atas bahwa Nabi &shallallaahu ‘alaihi wasallam_ mengetahui pada saat itu muadzin mengumandangkan adzan sebelum terbitnya fajar, sehingga aktivitas minum itu dibolehkan karena tetap dilakukan sebelum terbitnya fajar.”
Atas dasar inilah tetap wajib baginya al-qadha (mengganti puasa di hari yang lain) sekiranya muadzin betul-betul adzan berdasarkan waktu, dan tidak adzan sebelum benar-benar masuk waktunya. Dan tidak mengapa baginya (makan atau minum) sekiranya muadzin mengumandangkan adzan sebelum waktunya, dalam rangka mengamalkan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tersebut. Wallahu a'lam.*