View Full Version
Selasa, 12 May 2020

Integritas Seorang Pemimpin

 

Oleh:

Enzen Okta Rifai

Alumnus International University of Africa, Republik Sudan

 

“Sudah puluhan tahun kami tinggal di perkampungan ini. Ketika mendengar raja sedang marah lantas berbuat tidak adil kepada rakyat, sudah terbiasa kami menghadapi tanah-tanah yang kering, tanaman tidak subur, dan ternak tidak menghasilkan apa-apa.”

Kata-kata di atas disampaikan oleh seorang nenek penduduk desa di saat negerinya dipimpin oleh seorang raja di negeri Persia, sebelum masa kenabian Muhammad Saw. Peristiwanya sederhana, ketika sang raja sedang menyamar dan singgah di suatu rumah penduduk, ia pun dijamu oleh seorang gadis dengan minuman susu hasil perahan sapi di kandangnya.

Raja itu terus menguping tentang pembicaraan rumah-tangga itu mengenai sosok pemimpinnya. Sampai kemudian ketika datang waktu sore, dan anaknya tidak mendapatkan setetes pun dari susu perahan, ia pun menggerutu pada ibunya, “Bu, mungkin saat ini raja punya niat jahat terhadap rakyat, karena sore ini sapi-sapi di kandang tidak menghasilkan susu sama sekali.”

“Sabarlah, Nak, kalau sore ini tidak mengeluarkan susu, kita cobalah esok hari.”

Ucapan dari rakyat kecil itu langsung mengena di hati raja yang sedang menyamar itu. Dia memang pernah merencanakan memungut cukai pajak bagi para pemilik sapi di desa-desa. Namun setelah mendengar keluhan gadis itu kepada ibunya, sang raja langsung menyadari kekhilafannya. Betapa besar pengaruh dari keputusan yang diambilnya, bahkan dari sesuatu yang sekadar dia rencanakan terhadap rakyatnya.

Dia mengumpulkan para ajudan dan menteri-menterinya agar segera membatalkan rencana pungutan cukai bagi rakyat kecil. Hingga tersiarlah kabar pada keesokan harinya, penduduk desa itu dapat memerah susu sapi dengan kandungan susu yang melimpah.

 

Ruh Seorang Pemimpin

Menurut Rhenald Kasali, seorang akademisi dan Guru Besar UI,  setiap perubahan di negeri manapun, membutuhkan peran pemimpin dan kepemimpinan. Ibarat kendaraan mobil, antara roda yang berputar dengan as atau sumbunya. Roda adalah rakyat dan kita semua, sedangkan pemimpin adalah as atau sumbunya. Kalau pemimpin atau as bergerak sedikit saja, maka roda akan bergerak jauh lebih banyak. Pemimpin yang adil, seperti itulah dia mesti memberi contoh kepada rakyatnya.

Bila dia mau bergerak sedikit di jalan kebaikan dan kebenaran, dengan sendirinya gerakan rakyat akan meniru jauh lebih banyak. Tapi sebaliknya, bila sang pemimpin memberi contoh sedikit saja dalam hal keburukan, hedonisme, boros, dusta dan kebohongan, maka berhati-hatilah, karena dengan sendirinya jutaan rakyat akan menirunya.

Karena itu pemimpin harus serba ekstra hati-hati dalam membuat keputusan yang akan melapangkan kehidupan rakyat, atau justru akan menyempitkan hidup mereka. Dan kalaupun ada pemimpin yang menuntut rakyat agar menempuh jalan yang benar, justru perubahan moral itu harus dimulai dari pemimpinnya sendiri. Karena tidak mungkin bayangan itu lurus, jika benda aslinya bengkok. Di hadapan pemimpinnya, rakyat bukan hanya berharap tetapi juga bercermin, baik melalui sikap dan karakternya maupun kebijakan yang diputuskannya.

Oleh karena itu segala ujian dan cobaan begitu berat dihadapi pemimpin. Bagaikan filosofi pasar, semakin laris suatu barang dipasarkan, semakin besar peluang berduyun-duyun barang komoditas didatangkan, baik yang masih segar maupun yang berbau busuk. Tidak sedikit barang-barang busuk itu dikemas dengan menarik, dan dengan label yang menggiurkan. Tak jarang pula dibungkus dengan pengawet yang sangat membahayakan bagi kesehatan umat. Karenanya dua tipologi pemimpin semakin mengemuka dalam ungkapan berikut ini:

“Jika Anda pemimpin amanah dan jujur, maka orang-orang jahat dan munafik akan kehilangan marketnya. Dagangan mereka menjadi tidak laku dan dijauhi pembeli. Tetapi jika Anda pemimpin munafik, maka rakyat yang jujur dan kreatif akan meninggalkan Anda, dan mereka enggan menawarkan hasil kreasinya kepada Anda.”

 

Universalitas Keadilan 

Kedua tipologi pemimpin di atas dapat menjelaskan kepada kita bahwa hakikat manusia lebih cenderung bersahabat dengan orang yang sepaham dan sependirian dengannya. Jika pemimpin itu korup, maka dia pun akan dikerubungi oleh mereka yang sukanya menjilat, penipu dan komprador yang berebut ingin memanfaatkan peluang korupsinya. Tapi jika pemimpin itu kredibel dan amanah, senantiasa yang mengunjunginya dari kalangan orang-orang baik dan bijak. Hingga karya dan kreasi orang cerdas dan jujur akan memperoleh peluang pasar yang menguntungkan.

Dengan ini semakin kentara garis pemisah antara keduanya. Karena jika pemimpin itu menuruti petuah orang-orang yang tidak kredibel, dukun, “orang pintar” dan sejenisnya, niscaya dia akan berkorban untuk sesuatu yang diharamkan oleh Allah Swt. Tetapi, jika dia akrab dengan orang-orang cerdas dan berilmu, arif dan bijak (soleh), maka kedekatan dengan Allah akan terjaga dengan baik. Selain itu, jika sang pemimpin loyal kepada rakyatnya, maka para menteri dan segenap kaki-tangannya senantiasa terdorong untuk bersikap loyal kepada kepentingan dan kesejahteraan rakyat.

Khalifah Abu Bakar r.a. pernah tersinggung ketika seorang nenek pengemis Yahudi disuapi roti yang kurang halus. Seketika ia pun bertanya, “Mengapa roti ini rasanya berbeda dengan roti yang saya makan beberapa waktu lalu?”

“Orang yang menyuapi nenek sudah tidak ada,” jawab Abu Bakar sedih.

“Jadi, siapakah yang menyuapi saya waktu itu?”

“Muhammad Rasulullah.”

Dengan pandangan menerawang nenek tua itu membayangkan Muhammad, sosok pemimpin adil yang selama ini dihujat dan dicaci-maki olehnya. Dalam batinnya sang nenek menangis dan menyadari kekhilafannya, hingga kemudian menyatakan keislamannya.

Kini pertanyaannya adalah, mengapa kemakmuran dan kesejahteraan belum juga kunjung tiba di negeri yang kita cintai ini. Selayaknya kita bersikap jujur dan legowo, lantas berkaca pada diri sendiri, apakah kita ini sudah tergolong hamba yang bertauhid dan bertaqwa kepada Allah. Satu-satunya Yang layak disembah dan dimintai pertolongan. Ataukah ketuhanan kita masih diselubungi mitos-mitos, dicampuri vested interest yang menempatkan Allah di posisi ke sekian, setelah urusan harta, pangkat dan jabatan, sambil bersandar pada benda pusaka, kuburan keramat, bukit-bukit peziarahan yang tak layak dijadikan pegangan.

Bukankah seseorang telah membuat pengakuan tanpa bukti, jika di satu sisi dia menyatakan Islam secara “kaffah”, namun di sisi lain dia berpegang pada petuah-petuah orang yang secara keilmuwan tak layak dijadikan pegangan kebenaran dan kebaikan? *   


latestnews

View Full Version