View Full Version
Rabu, 13 May 2020

Literatur Santri dan Kaum Cendikiawan

 

Oleh:

Eeng Nurhaeni *

 

KATA “santri” secara historis banyak diungkap oleh cendekiawan muslim Nurcholis Madjid yang menyatakan, bahwa kata tersebut bermula dari bahasa Jawa dan Sansekerta. Dalam bahasa Jawa, istilah “santri” berasal dari kata “cantrik”, yakni seorang murid yang selalu mengikuti petuah gurunya, serta mengikuti ke manapun sang guru menetap (untuk menuntut ilmu).

Dalam istilah sansekerta santri berasal dari kata “sastri”, yang artinya adalah orang yang melek huruf. Kata ini mengisyaratkan ketika tumbuhnya kekuasaan politik Islam di Demak, kalangan santri pada masa itu tergolong kaum elit terpelajar (literate) bagi orang-orang Jawa. Figur Hasjim Asy’ari selaku tokoh proklamator adalah perwakilan yang riil dari kalangan pesantren yang identik sebagai tempat menimba ilmu bagi para santri.

Tokoh proklamator lainnya yang erat dengan kehidupan santri dan literasi tak lain adalah Mohammad Hatta. Kesederhanaan hidupnya mencerminkan watak dan karakter kesantrian yang kemudian tergenangi oleh pemikiran religiositas Islam di kalangan para cendikiawan muslim, baik di Sumatra maupun Jawa.

Bung Hatta sangat menarik untuk dikaji ulang secara filosofis. Keteladanan yang ditorehkan sangat mencerminkan watak dan karakter bapak bangsa yang mumpuni dan sulit dicari persamaannya di era post-modern ini. Putera kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat, dari pasangan H. Muhammad Djamil dan Siti Salehah ini sempat mengenyam pendidikan Belanda pada Rotterdamse Handelschogen School, kemudian berkecimpung dalam organisasi pemuda yang dipimpin langsung oleh Bung Tomo. Bahkan, di dunia pers ia pun pernah tercatat sebagai dewan redaksi pada majalah “Daulat Rakjat”, sampai kemudian berkat artikel-artikel yang ditulisnya Bung Karno sempat menggolongkannya sebagai pemuda pribumi yang cerdas dan religius.

Seperti halnya Soekarno, Bung Hatta pun pernah ditangkap dan dibuang Belanda pada tahun 1942. Dengan bersenjatakan pena dan literasi, pihak Belanda mengambil kesimpulan bahwa pergerakan kaum cendikiawan yang mempengaruhi alam pikiran Indonesia, justru lebih mempengaruhi segala aspek kehidupan, pandangan, persepsi bahkan paradigma keindonesiaan. Terang saja Bung Hatta, sebagai salah satu pelopor dan penggerak emansipasi kesadaran, adalah satu dari sekian banyak literate tentang perjuangan kemerdekaan yang dianggap membahayakan. 

Kehebatan Bung Hatta dalam berliterasi dibuktikan lagi saat pernikahannya yang bersejarah dengan seorang wanita bernama Rahmi, dan hanya diberinya maskawin berupa buku hasil karyanya, berjudul “Alam Pikiran Yunani”. Buku yang diluncurkan sejak tahun 1940-an itu dengan fasih menjabarkan sejarah kehidupan Socrates pada bab-bab pertama, bahwa memang ada wilayah otonom dan kedaulatan manusia yang tidak harus tunduk begitu saja pada selera para dewata (yang dilegitimasi penguasa). Dalam fakta historis, Socrates memberikan pengajaran kepada kaum muda dan intelektual Athena, agar memiliki sikap kritis dan uji nalar terhadap segala hal. Bahkan, mitologi Yunani yang bertaburan dewa-dewi dengan segala tingkah polahnya, digugat habis-habisan oleh kaum muda yang semakin sadar budaya dan peradaban bangsa.

Saat kita berada di era milenial, yang meniscayakan perangkat teknologi dimanfaatkan untuk pencerdasan dan pendewasaan rakyat, bukan untuk mengkerdilkannya. Kita tidak menginginkaan adanya kekuasaan yang mengumbar ketakutan dan kebencian antar sesama, terlebih-lebih bila kekuasaan tersebut memanfaatkan kekuatan pena untuk menumpulkan semangat keadilan dan kesejahteraan.

Bukankah syair-syair yang ditempel di dinding Ka’bah, justru lahir dari tangan-tangan penyair Jahiliyah yang dibayar untuk memusuhi dan memerangi gerakan pembaharuan yang diperjuangkan Rasulullah? Bukankah para penulis dan penyair Qurays pun cukup menguasai literatur yang menebar fitnah, hoaks dan permusuhan, serta pengingkaran terhadap nash-nash Alquran dan Alhadits?

Petualangan berliterasi yang dilakoni Rasulullah, meskipun beliau seorang ummi, mengandung kesenyawaan yang harmoni antara apa yang dikatakan dengan apa yang diperbuatnya. Perintah “iqra” pada ayat yang pertama kali turun mengindikasikan pentingnya belajar dan membaca sesuatu secara ilmiah. Sebab, dengan ilmu pengetahuan, sesuatu yang abstrak bisa menjadi jelas dan terang. Sedangkan dunia mistik dan mitologi yang menjadi anutan masyarakat Jahiliyah serba penuh misteri, abstrak dan remang-remang.

Rasulullah tampil untuk menjelaskan segalanya tentang kehidupan ini, karena di dalam dirinya memiliki ruang dan tubuh untuk berliterasi. Dengan ketenangan dan kemampuannya berliterasi, Rasulullah tidak pernah gentar menghadapi serangan agitasi dan propaganda musuh-musuhnya. Seorang penulis berkebangsaan Yahudi yang bernama Zaid bin Tsabit, justru diangkat untuk menjadi sekretaris yang mendampinginya dalam berliterasi. Tetapi ironisnya, saat ini kita masih kesulitan untuk menemukan sosok pemimpin yang mengandung bakat literasi dalam tubuhnya. Seperti halnya sosok Bung Hatta, Hasjim Asy’ari, Soekarno dan Diponegoro, yang sangat ditakuti Belanda, justru bukan karena senjata bedil dan dan bambu runcingnya tetapi karena kekuatan otak dan penanya.

Namun, program kerja para penguasa, politisi dan penentu kebijakan akhir-akhir ini, tidak sedikit yang masih berkutat dalam urusan memberi makan untuk perut jutaan orang, belum menyangkut pemberian ilmu pengetahuan sebagai makanan pikiran dan perasaan ratusan juta manusia Indonesia. Mengapa mereka belum sanggup meneruskan tradisi berliterasi seperti para bapak bangsa kita? Padahal, tradisi itulah yang menentukan etos berpikir, mendalami sejarah dan filsafat, menjiwai psikologi massa, bahkan mengarahkan kecenderungan pada cita-rasa bernalar, hingga mengantarkan rakyat mencapai kemakmurannya yang hakiki. * 

*Penulis adalah pengasuh Ponpes Al-Bayan, Rangkasbitung, Banten Selatan.


latestnews

View Full Version