Oleh:
Hersubeno Arief, Wartawan Senior
DPR RI baru saja mengesahkan Perppu No 1 Tahun 2020. Di media sosial (Medsos) bergema tagar #dprbunuhdiri, #dprkartumati, #dprbudakistana.
Seruan netizen itu tidak salah. Dengan mengesahkan Perppu Covid —begitu media menyebutnya— DPR mengamputasi dirinya sendiri secara sukarela.
Tiga fungsi utama DPR sebagai lembaga negara dibabat habis. Fungsi anggaran, legislasi, dan pengawasan.
Secara formal DPR tetap ada. Tapi tanpa tiga fungsi tersebut, secara kelembagaan DPR sesungguhnya antara ada dan tiada. Sepertinya hidup, tapi sesungguhnya sudah mati.
Mereka melakukan harakiri. Bunuh diri dengan sukarela dan gembira ria.
Langkah distruktif DPR tidak hanya sampai disitu. Mereka juga mengesahkan dan memberi legitimasi langkah pemerintah menabrak berbagai peraturan, terutama yang sangat fundamental, melanggar konstitusi negara.
Fungsi berbagai lembaga negara lainnya ikut diamputasi. Fungsi pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), fungsi lembaga penegak hukum, dan kekuasaan kehakiman yang dimiliki Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) juga ikut dipangkas.
Melalui pengesahan Perppu Covid, bencana kesehatan Corona diubah menjadi berkah bagi pemerintahan Jokowi.
Para pejabat negara, bebas menentukan anggaran dan menggunakannya sesuka hati, tanpa persetujuan dan pengawasan.
Mereka juga tidak perlu khawatir terhadap konskuensi hukum secara pidana, perdata, maupun tata negara.
Semua bebas merdeka!
Tidak berlebihan bila ada penilaian, pengesahan itu juga menunjukkan fungsi DPR sebagai budak kekuasaan. #budakistana.
Sebuah stigma yang jauh lebih keras ketimbang anggapan yang selama ini berkembang, DPR tak lebih hanya stempel penguasa.
Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli sampai kehabisan kata. “Mohon maaf teman-teman DPR, Anda memalukan!” ujarnya menahan geram.
Langkah DPR ini sesungguhnya tidak terlalu mengejutkan. Sudah bisa diduga.
Konstelasi politik pasca pemilu dan pilpres membuat pemerintahan Jokowi sangat perkasa. Tanpa kontrol.
Baik partai pendukung, maupun lawan politik dalam pilpres berbondong-bondong masuk dalam kubu pemerintah.
Tidak perlu kaget bila kemudian dari 9 fraksi DPR, hanya PKS yang konsisten menolak Perppu.
Fraksi Demokrat yang tidak ikut kebagian kursi di pemerintahan, secara mengherankan juga ikut-ikutan mendukung. Tampaknya mereka tersandera masa lalu, ketika masih menjadi penguasa.
Melampaui UUD 45
Ada beberapa UU yang ditabrak oleh Perppu yang sudah disahkan tersebut.
Dalam pasal 23 UUD ayat 1, 2 dan 3 dinyatakan APBN dibahas setiap tahun dan harus mendapat persetujuan DPR dan pertimbangan DPD. Apabila tidak disetujui maka Presiden menggunakan anggaran tahun sebelumnya.
Dengan UU Covid (Pasal 12 ayat 2) APBN cukup diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres).
Pemerintah juga sudah langsung menyusunnya selama 3 tahun ke depan. Hal itu juga bertentangan dengan Pasal 27 ayat 2 dan 3 UU No 17 Tahun 2013 tentang Keuangan Negara.
Selain mereduksi kewenangan DPR, UU Covid berpotensi melanggar konstitusi terkait pengawasan dan imunitas pengambil kebijakan.
Pasal 27 ayat 1 menyatakan bahwa biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) seperti kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
Dengan pasal tersebut fungsi dan peran BPK sebagai badan pengawas keuangan negara ditiadakan.
Pada Pasal 27 ayat 2, mengatur anggota KSSK tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada Pasal 27 ayat 3 juga menyatakan segala tindakan termasuk keputusan yang diambil bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Pasal ini bertentangan dengan prinsip supremasi hukum dan prinsip negara hukum.
UUD 1945 melalui perubahan pertama tahun 1999 sampai perubahan keempat tahun 2002, telah menjamin tegaknya prinsip-prinsip supremasi hukum.
Pasal 1 ayat 3 UUD dinyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, dan adanya pengakuan yang sama di hadapan hukum Pasal 28D.
Bisa dibayangkan betapa luar biasanya kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah dengan pengesahan UU Covid.
Mereka bebas mengatur keuangan negara tanpa kontrol lembaga lain seperti DPR dan BPK.
Mereka juga tidak akan terjamah oleh hukum, karena diberi kewenangan UU mengesampingkan peran lembaga kekuasaan lembaga penegak hukum dan kekuasaan kehakiman.
Bila UU Covid diundangkan dan dibiarkan tanpa perlawanan publik, yang terjadi bukan hanya anggota DPR bunuh diri massal. Eksistensi Indonesia sebagai negara demokrasi juga terancam mati. End.*