Oleh:
Hersubeno Arief
Konsultan Media dan Politik
KRISIS dan bencana tampaknya ‘berjodoh’ dengan Anis Matta. Tak heran bila kalangan dekatnya menjulukinya sebagai Sang Nakhkoda di Tengah Badai.
Tampil ke puncak pimpinan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ketika partai tersebut mengalami goncangan besar. Dilanda krisis dan bencana kepemimpinan.
Kini dia muncul kembali mendirikan partai baru, di tengah bangsa mengalami bencana dan krisis akibat pandemi.
Menkumham Jasonna Laoly, Rabu (2/6) menyerahkan SK badan hukum Partai Gelora Indonesia yang didirikannya bersama sejumlah mantan elit PKS.
Mereka tinggal mengikuti verifikasi faktual dari KPU, maka resmilah menjadi salah satu kontestan Pemilu 2024.
Dalam dunia manajemen, figur seperti Anis Matta disebut sebagai turnarround artist. Figur yang mengambil alih manajemen ketika perusahaan sedang mengalami krisis, dan berhasil membalikkan situasi.
Dari perusahaan yang semula nyaris bangkrut, menjadi perusahaan yang menguntungkan dan tumbuh berkembang.
Akhir Januari 2013 Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai penerima suap dalam impor daging sapi.
Kasus ini mengguncang PKS dan menghancurkan citranya sebagai partai yang mengusung slogan : Bersih dan Peduli.
Anis terpaksa meninggalkan zona nyamannya sebagai Sekjen PKS yang telah diduduki sejak partai berdiri. Dia ditunjuk sebagai Presiden PKS baru.
Tugasnya sangat berat. Memulihkan citra PKS. Pada saat bersamaan dia juga harus bisa menyelamatkan suara PKS. Pemilu 2014 sudah didepan mata.
Tugas itu dilaksanakan dengan baik. Total suara PKS naik, namun dari sisi prosentase dan jumlah kursi turun. Hasil tersebut mengejutkan banyak pengamat.
Semula banyak yang memperkirakan PKS bakal babak belur. Isu korupsi sangat telak menghujam jantung citranya sebagai partai dakwah yang bersih.
Sejarah kemudian mencatat Anis bersama sejumlah elit PKS seperti Fahri Hamzah dan Mahfudz Siddiq, keluar dari PKS. Mereka mendirikan Partai Gelora Indonesia atau lebih dikenal sebagai Partai Gelora.
Bergerak lebih ke tengah
Dilihat dari idiologi Partai Gelora yang mengusung Pancasila, Anis Dkk tampaknya konsisten dengan gagasan lamanya. Dia ingin mendorong PKS lebih ke tengah. Perpaduan antara Islam dan nasionalis. Bukan kanan luar yang selama ini dianut PKS.
Pada Mukernas 2008 di Bali, Anis Dkk mengumumkan keterbukaan PKS. Mereka membuka diri untuk bekerjasama dengan komponen lain bangsa Indonesia, bukan hanya umat Islam.
Di beberapa provinsi, PKS mengusung anggota legislatif non muslim. Namun gagasan ini secara internal tidak sepenuhnya diterima. Banyak yang menentangnya.
Kini gagasan lama itu diwujudkannya melalui Partai Gelora. Mereka melangkah lebih jauh mengusung semangat kolaborasi dengan mengutamakan agenda kebangsaan.
Gagasan itu sejauh ini cukup mendapat sambutan. Mereka berhasil membangun jaringan di beberapa provinsi non muslim yang selama ini cukup sulit ditembus.
Secara mengejutkan dalam waktu yang cukup singkat mereka berhasil mendirikan sebuah partai. Padahal syarat pendirian partai di Indonesia saat ini dikenal sebagai paling sulit di dunia.
Harus memiliki 100 persen pengurus di seluruh provinsi. 75 persen di kota/kabupaten, dan 50 persen kecamatan. Saat ini Indonesia terdiri 34 provinsi, 514 kota/kabupaten, dan 7.904 kecamatan.
Ibarat seorang bayi, Gelora dilahirkan melalui proses yang normal, bukan melalui operasi sesar.
Mereka membangun sendiri jaringan di seluruh Indonesia, dengan susah payah. Bukan melalui jalan pintas. Mengakuisisi partai yang sudah berbadan hukum. Padahal mekanisme semacam itu sangat dimungkinkan, dengan biaya yang nota bene lebih murah pula.
Perlu dicatat, hal itu mereka lakukan di tengah masa pandemi. Dari situ kita bisa mendapat gambaran militansi, soliditas, kekuatan jaringan yang mereka bangun dan miliki.
Publik kini tengah mengamati, apakah Anis bisa membuktikan kesaktiannya kembali. Bukan “hanya” sekedar membenahi perusahaan yang mau bangkrut. Namun membangun sendiri “perusahaan” yang dapat tumbuh dan bersaing dengan parpol lain yang sudah ada.
Tantangannya sangat berat, di tengah masyarakat Indonesia yang terbelah cukup dalam.
Meminjam istilah mantan Presiden AS George W Bush Jr, kondisi masyarakat Indonesia saat ini berada dalam situasi “Either you are with us, or you are with the enemy.”
Melihat reputasi figur para pendirinya, Menkumham Jasonna Laoly memprediksi Gelora akan menjadi partai penantang yang serius, pada Pemilu 2024.
Bisakah semangat kolaborasi dan mengedepankan agenda kebangsaan yang mereka usung menjadikan Partai Gelora Indonesia sebagai partai yang bergelora? end.*