Oleh
Dr. Basrowi*
MENGUTIP perkataan Bung Karno, Sang Proklamtor, “Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat semua, seringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis kuntul baris, buat kepentingan bersama. Dari semua untuk semua.”
Perkataan Soekarno hingga sampai saat ini masih sangat relevan, apalagi di tengah wabah Corona, perlu gotong royong baik dalam proses mencegah, menghadapi pandemi, dan menolong masyarakat terdampak.
Pemerintah dalam menghadapi pandemi tidak bisa sendirian, tetapi perlu berkoordinasi dengan berbagai kepentingan. Modal sosial yang dimiliki seperti moral kebersamaan, solidaritas, dan gotong royong perlu digerakkan sehingga semangat kebersamaan menjadi prioritas.
Banyak sekali kegiatan empati yang bermoral tinggi yang sudah dirajut saat PSBB. New moral tersebut tentu masih sangat relevan untuk dilanjutkan bahkan digiatkan kembali di era new normal. Empati sebagai tindakan penuh moral yang dimiliki bangsa Indonesia sejak jaman dahulu kala, perlu disinkronkan dengan moral sosial lainnya sepeti budaya gotong royong, tolong menolong, ramah tamah, sopan santun, merasa senasib dan sepenanggungan, jujur, pantang menyerah, cinta damai, dan lainnya.
Saat PSBB, seluruh moral sosial itu telah teruji, karena masih dipegang erat oleh mayoritas bangsa Indonesia. Banyaknya relawan yang berada di garis depan dan banyaknya kaum felantropi yang berdonasi memperteguh keyakinan kita bahwa moral itu semakin hari semakin menghuncam kokoh.
New Normal merupakan saat terbaik untuk tetap melanjutkan rajutan empati bagi semua masyarakat yang terdampak covid-19, agar moral yang sudah sekian lama kita junjung tinggi tetap mempunyai urgensi dalam perang melawan Covid-19.
Memperbanyak orang baik di sekitar kita
Tradisi di berbagai budaya lokal yang tersebar di seluruh Indonesia tidak pernah luntur dengan berbagai gempuran modernitas. Di sekitar kita banyak sekali orang baik yang sangat bangga ketika bisa menolong orang lain.
Konstruktivisme budaya yang berulang-ulang dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia merupakan energi yang dapat mendorong untuk saling menolong sesama. Merupakan tindakan yang menyimpang, manakala ada sebagian orang yang tidak suka menolong orang lain. Pandangan esensialistik itu selalu diupayakan selaras dan sejalan baik saat PSBB maupun saat new normal.
Silang pendapat berkaitan dengan bantuan sosial, protes kepada RT/RW, dan banyaknya masyarakat yang mengaku miskin saat ada bantuan sosial, hanyalah sebagai salah satu batu kerikil yang perlu dibuang jauh-jauh.
Budaya masyarakat yang selama ini mempunyai sifat altruistik, pemalu, nerimo ing pandum (menerima pemberian rezeki dari Tuhan), saling torelan dengan si miskin perlu direnda terus menerus meskipun sudah masuk new normal.
Saat new normal, mereka yang mampu tetap harus tetap berlaku filantropi dan menghibur mereka yang kekurangan. Mereka yang kekurangan pun, tetap harus kembali bekerja. Semuanya harus kembali berkarya dalam suasana aman dari wabah, dengan tetap menerapkan protokol kesehatan secara ketat.
Tetap Merenda Rasa Empati yang Sudah Membudaya
Moral saling berempati, tolong menolong dan saling peduli terhadap sesama perlu terus dipupuk di era new normal. Resiprositas (saling memberi dan merespon) perlu terus direnda di saat new normal. Masih banyak sekali saudara kita yang belum bisa bangun dari kondisi ekonominya meskipun sudah era new normal, karena habisnya modal usaha yang telah terpakai untuk mempertahankan hidup saat “di rumah saja.”
Moral yang dimiliki oleh individu sudah selayaknya juga dimiliki oleh seluruh masyarakat. Banyaknya aksi pro-sosial yang dilakukan masyarakat merupakan bentuk moral yang sangat berguna dan dapat ditransformasikan di era new normal. Pelaku pro-sosial perlu terus melanjutkan usahanya dalam membantu mereka yang masih kesulitan bangun dari keterpurukannya.
Saat new normal, seluruh kemampuan membingkai berbagai aktivitas sosial diharapkan dapat menjadi pembelajaran baru bagi mereka yang belum tergugah kesadarannya. Dengan contoh tersebut terjadi kolaborasi kapasitas dalam membantu mereka yang membutuhkan tidak berhenti saat new normal.
Terus Memperkokoh Rasa Empati
Kedermawanan masyarakat sebagai bentuk moral yang selama ini sudah ada hendaknya terus diperkokoh, jangan berhenti di era new normal. Jangan sampai, wabah belum hilang, sifat empati kita sudah mengendur.
Mudah-mudahan di era new normal, moral masyarakat berupa rasa empati, tidak tercerai berai, tetapi justru dapat terakumulasi melalui berbagai kegiatan prososial. Selain itu, kedisiplinan dalam menerapkan protokol kesehatan merupakan hal yang sangat penting dilakukan. Sikap acuh tak acuh dan berbagai pelanggaran terhadap protokol kesehatan, tentu harus dihindari pada saat penerapan New Normal.
Kini saatnya, pemerintah di era new normal lebih fokus pada pemulihan kesehatan selain ekonomi masyarakat, dengan menekan angka positif dan kematian akibat Covid-19. Karena faktor nyawa tidak bisa diselamatkan di kemudian hari, sementara faktor ekonomi dapat di-recovery di kemudian hari.
*) Dr. Dr. Basrowi, M.Pd., M.E. Sy. Pengamat Kebijakan Publik, alumni PPs Ekonomi Syariah UIN Raden Intan Lampung, S3 Unair, dan S3 UPI YAI Jakarta.