Oleh:
M Rizal Fadillah || Pemerhati Politik dan Kebangsaan
SETELAH Mahfud MD yang didampingi Yasonna Laoly menyatakan sikap Pemerintah untuk menunda pembahasan RUU HIP dan meminta DPR untuk menyerap aspirasi masyarakat terlebih dahulu, maka kemungkinan kegagalan RUU ini menjadi Undang-Undang sangat besar. Kegagalan ini didasarkan pada kuatnya aspirasi penolakan RUU HIP bukan semata revisi atau tambah dan kurang.
Memang tidak tegas Pemerintah bersikap menolak untuk melakukan pembahasan. Seperti biasa solusinya selalu “mengambang”. Minta DPR menyerap aspirasi terlebih dahulu. Sebenarnya hal ini adalah intervensi. Bagi DPR secara hukum sudah selesai dengan ketukan di Paripurna. Jika Pemerintah minta DPR menyerap aspirasi lagi maka institusi DPR terlecehkan. Bahwa DPR sebelumnya telah membuat RUU asal-asalan, tendensius, dan kontroversial, maka hal itu persoalan lain.
Ada 4 (empat) konsekuensi politik dari kegagalan, yaitu :
Pertama, DPR sebaiknya mendrop RUU dari prolegnas. Ini sebagai jawaban kewibawaan diri. Jika mengikuti saran Pemerintah maka sangat jelas DPR menjadi bawahan dari Pemerintah. RUU ini telah menjadi “sampah”.
Kedua, mengingat RUU HIP telah mendegradasi Ideologi Pancasila maka jika “terpaksa” hendak melakukan pembahasan kembali di DPR maka harus mengajak DPD RI. Artinya lembaga MPR yang lebih kompeten.
Ketiga, sikap rakyat yang menolak dan sikap Pemerintah yang menunda menandakan ada yang tak beres pada RUU HIP. Misi tersembunyi yang diisukan kuat soal komunisme cukup serius. PDIP sebagai pengusung harus melakukan pembersihan diri dari kader-kader neo-PKI.
Keempat, ke depan DPR atau siapapun dalam mengambil kebijakan politik harus mempertimbangkan aspirasi umat Islam. Mengecilkan dan menyinggung perasaan politik umat Islam adalah pengingkaran sejarah sekaligus dapat memancing konflik.
RUU HIP adalah catatan buruk dari rapuhnya DPR dalam mencitrakan diri sebagai lembaga perwakilan rakyat. Koalisi partai partai di Pemerintahan menambah kerapuhan di tingkat DPR. Ketum Partai yang menjadi Menteri memudahkan lobby sekaligus bukti kooptasi. Ke depan harus ada larangan Ketua Partai menjadi pembantu Presiden.
RUU HIP secara filosofis, yuridis, sosiologis, dan historis sangat buruk. Kini tercampak sebagai RUU “sampah”. Karenanya selayaknya untuk tidak menjadi bahasan DPR lagi. Rakyat khususnya umat Islam kembali telah berhasil menggagalkan upaya neo-PKI untuk “mengkudeta” halus ideologi Pancasila.
DPR harus tegas menarik RUU HIP dan tidak mengambangkan. Sikap “buying time” hanya menambah kerawanan politik baru.
Sikap rakyat dan pemerintah sudah sangat jelas pilihan bagi kewibawaan Dewan adalah cabut atau tarik RUU HIP. Usaha neo-PKI telah gagal.*