View Full Version
Rabu, 17 Jun 2020

Bangkit dari Pandemi dengan Berbagi

 

Oleh:

Basrowi || Pengamat Kebijakan Publik

 

NEW NORMAL, moment teristimewa bagi semuanya untuk bankit dari pandemi. Berbagai sektor informal terlah berlabuh. Seluruh kantor, mall, dan pusat keramaian terlah dibuka kembali. Para pelaku UMKM telah beringsut untuk memulai memutar roda ekonominya. Para pekerja professional yang dirumahkan dan ter-PHK kembali mencari pekerjaan mereka yang sempat hilang.

Sayangnya, semunya tidak mudah. Selain, masih lesunya seluruh sektor ekonomi juga karena sempitnya lapangan kerja. Mereka yang gulung tikar tidak lagi mempunyai modal untuk membuka usaha. Semuanya telah terkikis habis saat pandemi.

Saat new normal inilah, waktu paling tepat bagi ‘empunya’ untuk saling berbagi, merawat jiwa filantropi yang ada dalam sanubari. Menolong para penghuni negeri yang masih terhimpit dalam kesusahan ekonomi, agar mereka bisa kembali bersemi, mewujudkan mimpi yang terhenti akibat pandemi.

 

Berkolaborasi Menuju Normalisasi

Para ‘empunya’ jangan sampai berhenti berbagi, tetapi marilah turut berkolaborasi sehingga dapat dijadikan spirit  menuju normalisasi tatanan ekonomi. Sikap seperti ini diharapkan dapat diekspresikan melalui kesadaran kolektif untuk saling membantu.

Bagi ‘empunya’, syahwat menguasai seluruh kekayaan sudah seharusnya di rem, dalam rangka melatih jiwa filanatropi mereka. Para ‘empunya’ tidak boleh terjebak dalam suasana bahagia bergelimang harta. Mereka juga tidak boleh berdiri pada menara emas. Saat inilah, moment paling istimewa bagi mereka untuk turun ikut merasakan penderitaan si miskin, bahwa deritanya si miskin adalah deritanya juga.     

Para ‘empunya’ harta yang selama ini tiada henti menggeber gas roda ekonomi dalam rangka menghasilkan tumpukan harta, sudah saatnya untuk dievaluasi. Bahwa kebutuhan nalar insani yang dipenuhi oleh hasrat untuk menguasai harus dikekang jangan sampai ingin selalu mengkonsumsi sendiri tanpa mau berbagi.

Imunitas para ‘empunya’ terhadap laku tindak yang kurang manusiawi juga harus segera direvisi agar menjadi humanis yang selalu menghargai kapasitas kemanusiaan orang lain yang kekurangan.

Ilustrasi rutinitas yang selama ini ditunjukkan lewat panggung depan para ‘empunya’ sebagai sebuah ekstravagan bergelimang harta, harus disudahi. Jangan sampai yang terjadi pada panggung belakang adalah realitas sebaliknya. Rakyat terjungkal dalam jurang kemiskinan dan telah jatuh dalam lubang hina laksana jasad tanpa jiwa.

 

Keprihatinanmu adalah Keprihatinan Kita

Sunyinya hati, menyadarkan diri, bahwa rutinitas berpeluh keringat tiap hari sebelum pandemi, sesungguhnya adalah drama kehidupan hakiki yang terjadi karena adanya diferensiasi tersembunyi yang terstrukturisasi. Si kaya semakin kaya, si miskin tetap saja miskin meski telah bekerja sepanjang hari.

Kehadiran Covid-19 telah menyembulkan kebutuhan dasar manusia tidak lagi tercukupi. Jangan sampai para ‘empunya’ kehilangan fungsi utilitasnya. Jangan sampai mereka tiarap tanpa mampu berbuat banyak. Kenyataan pahit dan getir yang dirasakan rakyat jangan sampai hening tanpa makna.

Para ‘empunya’ harus mempunyai kesadaran reflektif yang seharusnya menjadi lecutan menjadi kesadaran berbagai. Jangan sampai para ‘empunya’ menjadi nihil kinerja religinya.  

Jangan sampai pamer harta yang selama ini dibanggakan, laksana terbungkam oleh kehadiran corona. Jangan sampai pula, pemberian bantuan yang bermakna kemanusiaan justru berubah menjadi penanda kelas yang berbeda. Saatnya untuk duduk bersama mereka yang membutuhkan. Bertanya, apa keluhannya, dan apa yang sangat dibutuhkan.

Secara kontemplatif, di saat ekonomi susah seperti ini, rakyat jangan sampai hanya laksana mengail tanpa umpan. Dalam mengarungi laku hidup pasca fase pengasingan massal, jangan sampai mereka hanya menemui kesenyapan dan keterjarakan dengan para ‘empunya’ tanpa ada bantuan kail dan umpan. Jangan sampai, eksterioritas yang diperlihatkan oleh para ‘empunya’ justru menjadi glorifikasi yang menyediakan mimpi si miskin tanpa realitas.

Deraan wabah, telah membuat semua rakyat melakukan kekang diri, khidmat di rumah masing-masing agar dapat menyelami makna hakiki akan pentingnya kesehatan diri. Di saat new normal inilah, para ‘empunya’ untuk selalu berbuat baik antar sesama, agar rakyat bisa bahagia tidak mati gaya.

 

Airmatamu adalah Kesedihanku

Rantai corona telah menutup semua akses kehidupan, bahkan telah membelenggu semua roda ekonomi, roda industri dan roda ekspektasi. Corona hadir menggilas kepongahan manusia. Corona telah berhasil melakukan preskripsi terhadap hasrat manusia. 

Sudah saatnya mulai hari ini kita melakukan refleksi dan restrukturisasi ekonomi. Jangan sampai, semua kemajuan teknologi yang tersistem dibongkar dan dihancurkan oleh Corona. Sudah saatnya kita saling menguatkan satu sama lain tanpa melihat status sosial melalui segenap aktivitas yang substansial agar tragedi ini segera terhenti. Jangan sampai apa yang kita lakukan dalam ruang sunyi menyendiri berbuah sia-sia tiada arti.

Hari ini kita melihat bahwa pandemi telah mampu menghadirkan sifat kemandirian dan sifat kompromi bahwa penderitaanmu berarti deritaku. Di saat new normal inilah, mari bersama-sama saling membantu mereka yang belum bisa bangkit, untuk semangat mendapatkan pekerjaan kembali dengan berbagi. Kail dan umpan jauh lebih penting dari ikan.*


latestnews

View Full Version