Oleh:
M. Rizal Fadillah || Pemerhati Politik dan Kebangsaan
DARI adegan marah marah dengan ujung ancaman reshuffle, maka cerita jadi berlanjut. Reshuffle dimainkan jadi isu. Mulai muncul susunan hoaks di medsos soal si anu jadi Menteri, si anu dicopot. Masyarakat dicoba dibuat “tertarik” urusan ganti-ganti Menteri agar ada mainan baru yang bisa menggeser isu vital dan serius, yaitu RUU HIP.
RUU HIP ini dapat membuat keguncangan politik. PDIP partai pemenang Pemilu sekaligus menjadi partai Pemerintah menjadi sorotan. Komandan koalisi partai pendukung Presiden ini dibongkar bongkar “borok” nya. Tidak tanggung-tanggung soal neo PKI dan Komunisme. Gara gara ngotot menolak Tap MPRS XXV tahun 1966 dan keberanian memuat Pasal Trisila dan Ekasila pada RUU HIP.
Gelombang aksi belum reda bahkan cenderung bereskalasi. Rakyat tidak tertarik dengan “penundaan” atau ganti nama jadi “PIP” atau “BIP” atau apapun. Seruan masih hentikan atau cabut. Pemerintah dan beberapa Fraksi DPR masih bermain main. Tidak dicabutnya RUU HIP dari Prolegnas, padahal 16 RUU sepakat untuk dicabut, membuktikan masih bermain-mainnya pihak-pihak yang berkepentingan.
Reshuffle adalah “olah geser” perhatian. Istana coba meramaikan. Entah siapa yang melontarkan seolah-olah orang kontroversial Ahok akan menjadi Menteri BUMN ganti Erick. Ini pun bagian dari olahan. Agar publik masuk dalam ruang pro kontra soal Ahok si penista agama. Jabatan lain seolah ditawarkan ke berbagai kader partai. Mainan dagang sapi dekat idul adha.
Jika rakyat khususnya umat Islam tetap fokus pada pembelaan ideologi, maka isu reshuffle akan hilang dengan sendirinya. Realitanya reshuffle kabinet itu bukan hal yang penting. Mau reshuffle atau tidak sama saja. Mau Ahok masuk atau tidak juga tidak berpengaruh. Masalah utama bangsa adalah kebangkrutan ekonomi, penjajahan asing, serta rongrongan ideologi Pancasila.
Khusus soal Ahok yang diributkan, biar saja Ahok ikut dalam barisan Kabinet. Mau urus BUMN atau Menteri tanpa urusan pun tidak apa-apa. Kehadirannya justru akan menjadi “boomerang” bagi Pemerintah Jokowi. Toh terbukti ketika jadi Komisaris Utama Pertamina ia tak becus mendongkrak. Malah mesti diusut penyelewengan dana yang ada di Pertamina selama “seumur jagung” dirinya menjabat.
Isu Reshuffle pun menjadi cermin dari keputusasaan Jokowi sendiri “tidak ada progress” serunya. Bukti akan ketidakmampuan menjadi dirigen yang memacu semangat kerja tim dalam orkestra. Marah-marah tentu bukan solusi. Orang bisa membaca bahwa kapal akan karam. Nakhoda sedang panik.
Rakyat tidak perlu terjebak dengan isu reshuffle. Tetap saja fokus pada bagaimana menyelamatkan ideologi Pancasila dari penggerogotan atau pembusukan kelompok yang bertarget jauh pada penggantian. Lalu berjuang keras agar Indonesia tidak terjajah oleh Negara China yang mencoba menanamkan kuku melalui investasi dan hutang luar negeri.
Jikapun terpaksa harus ikut berfikir soal reshuffle maka ditimbang dalam-dalam tentang efektivitas dan efisiensi dalam pemulihan ekonomi dan politik ini, apakah reshuffle Menteri atau reshuffle Presiden?
Bila pilihan adalah “reshuffle” Presiden, kenapa tidak? toh Konstitusi mengatur pilihan atas keduanya.*