View Full Version
Sabtu, 25 Jul 2020

Ekonomi Kontraksi, Resesi Ekonomi Global Menghantui Indonesia

 

Oleh: Rismayanti Nurjannah

Ekonomi dunia penuh ketidakpastian. Ancaman resesi akibat pandemi di depan mata. Perlambatan ekonomi menyerang berbagai negara, termasuk Indonesia. Bahkan, Bank Dunia memprediksi kontraksi ekonomi global mencapai minus 5,2% dan angka tersebut mencerminkan resesi global terparah sejak perang dunia kedua.

Salah satu negara tetangga yang sudah terjebak resesi, yakni Singapura. Kemungkinan besar Indonesia pun akan terkena imbasnya. Pasalnya, Singapura adalah salah satu mitra dagang dan investor utama di Indonesia. “Pengaruhnya terhadap Indonesia tentu besar karena Singapura adalah salah satu rekan dagang dan investor utama di Indonesia. Singapura juga ketat mempersyaratkan kerja sama dengan negara lain yang menerapkan standar tertentu dalam penanganan Covid,” ungkap Staf Khusus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Umar Juoro  kepada Liputan6.com, Rabu (15/7/2020).

Selain itu, banyak hal yang menyebabkan Indonesia berada di jurang resesi. Seperti terjadinya PHK secara besar-besaran, menurunnya daya beli masyarakat, menurunnya produksi, dsb. Hal ini tentu memperburuk kondisi ekonomi Indonesia selama beberapa bulan terakhir.

Resesi ini tentu menyisakan kegetiran di berbagai kalangan, termasuk masyarakat menengah ke bawah. Menurut Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, sebagaimana dilansir bbc.com (20/06/20), dampak dari resesi yang berpotensi paling dirasakan masyarakat adalah sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan, disusul dengan jatuhnya daya beli masyarakat karena berkurangnya pendapatan.

Pada skala global, pandemi ini mengakibatkan pasar saham “crash”. Industri stagnan, inflasi tak terkendali, pengangguran kian meningkat. Yang rentan miskin, akhirnya jatuh miskin. Stimulus ekonomi pun dihadirkan di negara-negara yang terdampak Covid-19. Dari sisi kebijakan fiskal, beberapa tarif pajak diturunkan. Hal ini dilakukan dengan harapan keuntungan perusahaan tidak terpangkas untuk membayar pajak, sehingga bisa digunakan untuk beroperasi di produksi selanjutnya.

Dari sisi moneter, kebijakan yang dilakukan yakni dengan menurunkan tingkat suku bunga. Hal ini dilakukan dengan harapan cicilan yang dibayarkan tidak terlalu tinggi. The Fed yang masih menjadi kiblat bank sentral negara di dunia menurunkan tingkat suku bunganya dua kali pada Maret 2020. Bahkan, suku bunga yang diturunkan dengan total 1,5 poin persentase menjadi hampir nol.

Goncangan ekonomi yang melanda hampir di seluruh dunia, sulit untuk dikendalikan dengan menerapkan stimulus ekonomi. Pasalnya, pandemi ini tidak dapat dipastikan kapan berakhirnya. Berbeda dengan resesi yang terjadi tahun 1930. Jika pada tahun 1930, hanya sektor nonriil yang terpukul (penurunan pasar saham), tahun 2020 dua sektor (sektor riil dan nonriil) terpukul akibat pandemi.

Terpukulnya sektor riil, berdampak pada tiga aspek. Yakni, produksi menurun; rantai pasok terganggu; demand (permintaan) masyarakat menurun. Akhirnya, income negara yang berasal dari pajak dan bunga pun terhambat. Alhasil, jika ini berlangsung lebih lama, resesi tak dapat dielakkan.

Dalam Islam, pajak dan bunga bukan sebagai sumber pendapatan negara. Sehingga ketika ada krisis, negara relatif lebih aman, karena tidak mengandalkan pajak dan bunga sebagai sumber pemasukan negara. Lantas, bagaimana negara mendapatkan income jika tak ada pajak dan bunga? Ialah berasal dari sumber-sumber berikut: pertama, pos kepemilikan umum yakni berupa sumber daya alam (SDA).

Menurut aturan Islam, kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum. Wajib dikelola oleh negara dan hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. sebaliknya, haram menyerahkan pengelolaannya kepada individu, korporasi swasta apalagi asing. Rasulullah saw. bersabda, “Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput dan api” (HR Ibnu Majah).

Kedua, berasal dari pengelolaan aset negara bisa berupa jizyah, ghanimah, fa’i, kharaj, dsb. Ketiga, berasal dari pengelolaan zakat dengan alokasi khusus untuk delapan asnaf (orang yang berhak menerima zakat). Yakni, orang fakir, orang miskin, amil (pengurus zakat), mualaf, budak, orang yang berutang, sabilillah, ibnu sabil. Dengan berjalannya sistem seperti ini, maka pengentasan kemiskinan dapat berjalan secara otomatis.

Adapun terkait dengan bunga dan pajak. Islam telah menggariskan bahwasanya haram bagi kaum muslim terlibat dengan bunga (riba). Allah Swt. berfirman, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (QS. Al-Baqarah: 275). Sehingga jelas, Islam begitu menjaga jiwa-jiwa kaum muslim, supaya tetap terpelihara kebersihan jiwanya.

Adapun terkait pajak, pajak dalam Islam dikenal dengan istilah dharibah. Ia merupakan kewajiban yang bersifat kontemporer, yang merupakan kewajiban tambahan setelah zakat dan dipungut ketika kas baitul mal sedang kosong. Sehingga, ketika kondisi Baitul mal sudah memiliki harta, maka pajak tak lagi diwajibkan.

Penetapan kewajiban pajak pun berbeda dengan penetapan pajak di sistem Kapitalisme. Pajak hanya dibebankan kepada mereka yang memiliki harta berlebih (kaya raya). Pembiayaannya pun sebatas jumlah yang diperlukan, tidak boleh lebih. Dengan demikian, pajak bukanlah kewajiban yang harus dibayarkan setiap tahun. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta-harta saudaramu dengan cara yang batil, kecuali harta itu diperoleh dengan jalan dagang yang ada saling kerelaan dari antara kamu. Dan jangan kamu membunuh diri-diri kamu, karena sesungguhnya Allah Maha Pengasih kepadamu” (QS. An-Nisa: 29). Wallahu a’lam bi ash-shawab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google

 


latestnews

View Full Version