Oleh:
Tony Rosyid || Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
DALAM keluarga, ayah adalah pemimpin bagi anak-anaknya. Sekaligus menjadi suami yang baik bagi istri, atau istri-istrinya.
Jangan tanya soal kasih sayang. Seluruh usaha sang ayah didedikasikan untuk masa depan anak-anaknya. Semua kerja kerasnya dimotivasi oleh semangat agar anak-anak itu kelak jadi orang-orang yang sukses.
Dalam keluarga, anak punya dunia dan karakternya masing-masing. Ada yang nurut, bengal, bahkan tak sedikit yang menyusahkan. Apakah sang ayah marah? Tidak. Kasih sayang sang ayah tak pernah berkurang, apalagi luntur oleh kebengalan sang anak.
Sedang sujud dalam shalat, anak naik ke punggung. Ayah bersabar, dan tak pernah punya niat untuk membanting tubuh sang anak. Sedang baca buku atau menulis, sang anak masuk kamar dan bawa mobil-mobilan. Tarik-tarik baju dan ajak sang ayah untuk bermain. Sang ayah marah? Tidak. Sedang kecapean, anak-anak minta ditemani ke mall. Abaikan rasa capek, ambil kunci mobil, lalu antar anak-anaknya ke mall. Sekedar menemani makan atau beli baju.
Setidaknya, ini pengalaman saya pribadi. Saya yakin semua ayah mengalami hal yang sama. Dan mereka semua bersabar. Kenapa? Karena mereka punya cinta.
Inilah gambaran seorang pemimpin sejati. Sabar, memahami dan memaafkan. Jika anda gak sanggup mengerti dan memaafkan anak-anak anda, janganlah jadi ayah. Kasihan mereka. Akan menjadi korban atas egoisme anda.
Keluarga adalah kelompok sosial paling sederhana. Dan ayah merepresentasikan seorang pemimpin dalam kelompok sosial tersebut. Jujur, tampil bersahaja, sabar dan tetap merangkul anak-anak dengan rengkuhan penuh cinta dan kasih sayang.
Leadership seorang ayah mesti menjadi contoh bagi semua pemimpin. Terutama mereka yang diberi amanah memimpin rakyat. Cinta dan kasih sayang mesti menjadi semangat dalam memimpin. Tanpa cinta dan kasih sayang, seorang pemimpin sulit untuk bersabar, bisa memahami dan mampu memaafkan rakyatnya. Bagaimana seorang pemimpin bisa memahami dan memaafkan rakyatnya jika tak ada cinta dan kasih sayang di hatinya.
Jika ada pemimpin yang suka mengancam, melakukan intimidasi, apalagi menipu rakyatnya, dia pasti bukan seorang pemimpin yang baik. Ibarat keluarga, dia bukan ayah yang baik. Dia tidak memenuhi syarat leadership yang dibutuhkan. Pemimpin seperti ini hanya akan menciptakan kegaduhan dan ketidaknyamanan dalam keluarga. Apakah keluarga itu bernama ormas atau bangsa.
Apa yang dilakukan Anies Baswedan, Gubernur DKI, terhadap Ike Muti baru-baru ini, yang menebar fitnah bahwa ia tak dapat project dari DKI hanya karena mendukung Jokowi, patut dijadikan contoh. Anies tak marah meski difitnah. Ia memaafkan sebelum Ike Muti meminta maaf.
Ada banyak Ike Muti-Ike Muti lainnya. Mereka adalah anak-anak Anies dalam keluarga yang bernama DKI. Dengan segala keunikan masing-masing, anak-anak dalam keluarga DKI itu harus tetap dirangkul dalam dekapan kasih sayang seorang ayah.
Demo belasan orang berjilid-jilid di depan kantor balaikota DKI, tak juga membuat Anies gusar dan marah. Karena mereka adalah anak-anak seperti Ike Muti. Bagian dari keluarga besar DKI. Meski Anies tahu siapa di belakang para pendemo itu. Ada kepentingan korporasi yang seringkali ikut bermain-main. Anies anggap anak-anak itu sedang salah pergaulan. Tak perlu dibentak, apalagi dimaki. Sebab, anak-anak itu hanya butuh senyum, perhatian dan kelembutan dari sang ayah.
Di luar arena demo, Anies pun tetap menyapa, ngobrol dan bercanda dengan sejumlah tokoh yang rajin demo itu. Sambil berbisik: “Jangan salah gaul nak ya…”
Kenapa semua ini bisa dilakukan? Karena ada cinta dan kasih sayang di hati seorang ayah kepada anak-anaknya. Seorang pemimpin sejati modal utamanya harus punya kasih sayang kepada rakyatnya. Dengan kasih sayang, seorang pemimpin bisa memaafkan, bukan mengancam. Tidak sibuk dan habiskan waktu untuk melaporkan rakyat yang mengkritik dan berseberangan politik dengannya.*