Oleh:
Tony Rosyid || Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
KESATUAN Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) itu gerakan moral. Karakter sebuah gerakan moral itu mengedepankan cecks and balances terhadap penguasa. Gerakan moral itu beradu data tentang pelaksanaan pembangunan dan tata kelola pemerintahan yang baik dan benar. Nggak lebih dari itu.
Ketika peran dan fungsi kontrol yang diberikan konstitusi kepada DPR yang makin lemah, maka KAMI lahir. Kelahiran KAMI diperlukan masyarakat untuk menjadi partner dan mitra diskusi yang kritis terhadap pemerintah. Pemerintah nggak boleh kerja tanpa pengawasan. Ngga boleh kerja yang menyusahkan dan menyengsarakan rakyat. Jika itu terjadi, maka sangat bahaya.
Pemerintah berhak salah. Karena itu, perlu dikontrol, diingatkan, dikritik dan diberi masukan agar tidak semakin salah. Karena itu, pemerintah butuh mimbar kampus, kebebasan pers, Lembaga Swdaya Masyarakat (SM) dan organisasi seperti KAMI yang berfungsi injek rem kalau pemerintah ada kesalahan.
Resikonya kalau rem blong, negara bisa nabrak sana sini. Sikat sana sikat sini. Siapapun yang lagi di depannya, bisa kena tabrak. Ini gawat. Nah, hukum yang baik bisa menjadi rem. Tetapi, itu gak cukup. Apalagi kalau produk, pelaksanaan dan penegakan hukum bermasalah. Dalam kondisi obyektif seperti itu, harus ada sejumlah orang atau kelompok yang ambil peran untuk injek rem.
Kalau rem nggak pake, yang injak rem disingkirkan, ya blong. Pemerintah berjalan nggak terarah. Disini pentingnya kritik, masukan, bahkan demo dari para buruh, mahasiswa, pelajar dan masrakat umunya. Selama tidak anarkis, demo dilindungi undang-undang.
Melihat KAMI, lihatlah sosok Din Syamsudin dan Rahmat Wahab. Nggak ada potongan makar. Nggak ada potongan untuk makar dan jatuhkan presiden. Din Syamsudin itu mantan Ketua MUI dan mantan Ketua PP Muhammadiyah. Hingga hari ini tercatat sebagai Guru Besar FISIP Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.
Begitu juga Rachmat Wahab. Tokoh NU dan Guru Besar Univeristas Islam Indonesia (UII) Jogyakarta. Keduanya akademisi. Manalah mungkin kedua sosok akademisi yang berlatarbelakang ormas moderat tersebut melakukan makar atau mau menjatuhkan Presiden?
Jadi, kalau ada pihak yang menuduh KAMI itu berbahaya, tentu berlebihan. Begitu juga tuduhan KAMI berada di balik demo UU Omnibus Law Cipta Kerja itu sangat mengada-ada. Nggak ada atribut KAMI disitu. Nggak ada instruksi dan pernyataan, baik resmi maupun tidak resmi dari KAMI untuk turun dan melakukan demo.
Sebaliknya kalau ada warna-warni KAMI di arena demo, bisa-bisa demonya batal. Sebab, baik buruh, mahasiswa dan pelajar, tidak mau ditunggangi oleh kepentingan lain. Pendemo itu inginnya gerakan mereka murni karena kesadaran sendiri. Bahkan yang terdengar malah himbauan dari senior-senior KAMI kepada seluruh anggota KAMI untuk tidak melakukan demo atas nama KAMI.
Kalau kemudian ada sejumlah anggota KAMI yang demo, tentu KAMI secara organisatoris nggak bisa melarang. Karena itu hak individu masing-masing yang dijamin oleh undang-undang. Melarang anggota KAMI berdemo menentang UU Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka) itu melanggar Undang-Undang.
Tak boleh ada yang membajak KAMI yang mulai membesar ini untuk kepentingan politik individu. Apalagi sampai melakukan makar. Sebab, KAMI gerakan moral, dan menghindari gerakan yang berpotensi “dituduh” hendak melakukan makar.
Lalu, kenapa sejumlah orang dari KAMI ditangkap? Anton Permana, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dan lain-lain dalam tiga hari ditangkap. Pertanyaannya, mereka ditangkap atas kesalahan apa? Dilihat dari pasal yang dikenakan, mereka dituduh melanggar UU ITE. Bukan sebagai penggerak demo. Nggak ada pasal makar yang disangkakan.
Yang pasti, mereka tidak ditangkap bukan karena alasan menjadi deklarator KAMI. Sebab, KAMI bukan perkumpulan dan organisasi terlarang. Kalau deliknya adalah pelanggaran UU ITE, kenapa delapan tokoh yang ditangkap itu semuanya adalah anggota KAMI? Malah sebagian adalah deklarator?
Banyak pihak yang mengkritik bahwa penangkapan para tokoh KAMI itu politis. Mereka tidak layak ditahan, apalagi diborgol, kata Jimly Assidiqy, mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu yang sekarang jadi anggota DPD. Banyak koruptor yang tidak diborgol polisi.
Memang, di publik, muncul banyak pertanyaan. Bandit koruptor tidak diborgol, kenapa beda pendapat harus diborgol? Begitulah opini yang sempat ramai beberapa hari terakhir ini. Namun itu adalah haknya penyidik untuk mau borgol atau tidak borgol tersangka.
Namun lepas dari semua yang dianggap “janggal”, kita berharap hukum kita tetap tegak. Dan hukum hanya tegak apabila di tangan penegak hukum yang tegak dan steril dari intervensi kekuasaan.*