Oleh:
Abu Mu’az Ash-Shobri*
Bismillahirrahmanirrahim,
Mencermati hiruk pikuk kekisruhan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) Tahun 2019 sampai keluarnya putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 44 P/HUM/2019 tanggal 28 Oktober 2019, yang baru diupload di website MA tanggal 3 Juli 2020, hingga saat ini belum berakhir. Putusan Mahkamah Agung tersebut membuat gaduh lagi terhadap rakyat Indonesia yang selama ini sudah terbelah sebagai dampak dari pelaksanaan Pilpres Tahun 2019 tanggal 17 April 2019 yang hanya menampilkan dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, yaitu pasangan Joko Widodo - Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto – Sandiaga Salahudin Uno. Dimana KPU dengan Putusan Nomor 987/PL.01.8-KPT/06/KPU/V/2019 tanggal 21 Mei 2019 menetapkan bahwa pasangan Joko Widodo - Ma'ruf Amin sebagai pemenang dengan suara terbanyak (55,50 %) dan mengungguli pasangan Prabowo Subianto – Sandiaga Salahudin Uno (44,50 %), berdasarkan Pasal 3 ayat (7) PKPU Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum, yang menyatakan bahwa :
Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai Pasangan Calon terpilih.
Putusan KPU yang memenangan pasangan Joko Widodo – Ma’ruf Amin tersebut digugat oleh kubu pasangan Prabowo - Sandi ke Mahkamah Kontitusi karena diduga pelaksanaan Pilpres Tahun 2019 diwarnai kecurangan yang Terstruktur, Sistimatis dan Masif (TSM), namun Mahkamah Kontitusi (MK) dengan Putusan Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019 tanggal 27 Juni 2019 menolak seluruh gugatan pemohon (kubu pasangan Prabowo – Sandi). Dengan demikian Putusan KPU Nomor 987/PL.01.8-KPT/06/KPU/V/2019 tanggal 21 Mei 2019 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum, yang menetapkan pasangan Joko Widodo - Ma'ruf Amin sebagai pemenang Pilpres Tahun 2019 dengan perolehan suara sebanyak 55,50 % dan pasangan Prabowo Subianto – Sandiaga Salahudin Uno memperoleh suara sebanyak 44,50 %, tetap sah.
Kubu pasangan Prabowo – Sandi yang diwakilili oleh Rachmawati Sukarnoputri, dkk, tanggal 13 Mei 2019 juga mengajukan permohonan hak uji materi atas Peraturan KPU (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum, khususnya Pasal 3 ayat (7), bertentangan dengan Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 416 Bab XII tentang Penetapan Perolehan Kursi dan Calon Terpilih dan Penetapan Pasangan Calon Terpilih, bahkan dengan Pasal 6A Undang Undang Dasar 1945 (Amandemen Tahun 2001). Permohonan Rachmawati Sukarnoputri, dkk, tersebut telah diregistrasi oleh Mahkamah Agung tanggal 14 Mei 2019 dengan Nomor 44 P/HUM/2019. Mahkamah Agung (MA) dengan putusan Nomor 44 P/HUM/2019 tanggal 28 Oktober 2019 memutuskan :
Menyikapi keluarnya Putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 tanggal 28 Oktober 2019 yang baru di upload tanggal 3 Juli 2020 tersebut di atas, para ahli hukum dan pengamat politik di tanah air memberikan pendapat dan tanggapan yang beragam, yang pada pokoknya adalah sebagai berikut :
Menurut penulis, berbagai pendapat dan tanggapan dari para ahli hukum dan pengamat politik tersebut di atas, belum terdapat kesamaan pandangan tentang hasil Pilpres Tahun 2019 dan bagaimana caranya memperbaiki penyelenggaraan Pemilihan Umum ke depan. Pada kesempatan ini penulis tidak ingin berpolemik tentang keabsahan hasil Pilpres Tahun 2019, tetapi penulis ingin menyumbangkan pemikiran bagaimana caranya memperbaiki penyelenggaraan Pemilihan Umum ke depan.
Menurut penulis, untuk memperbaiki penyelenggaraan Pemilihan Umum ke depan, terlebih dahulu perlu memahami akar masalah tentang terjadinya kekisruhan dalam pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 2019. Untuk itu perlu dipahami dan disepakati bersama hal-hal sebagai berikut :
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
(3) Pasangan calon Presiden dan wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara disetiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
(4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
(5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang undang.
Menurut penulis, bilamana ketentuan mengenai Presidential Threshold dirancang untuk membatasi atau mempersulit munculnya 3 (tiga) atau lebih pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden atau dirancang hanya untuk memunculkan 2 (dua) atau kurang pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, maka ketentuan mengenai Presidential Threshold semacam itu sesungguhnya bertentangan dengan amanah Konstitusi (Pasal 6A UUD 1945). NKRI saat ini menganut sistem multi partai (Pemilihan Umum Tahun 2019 diikuti lebih dari 10 partai politik), maka akan sangat sulit bagi setiap partai politik untuk mendapatkan kursi DPR atau suara sah secara nasional yang cukup signifikan dalam Pemilihan Umum yang memenuhi ambang batas (Presidential Threshold). Kesulitan selanjutnya adalah untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dari partainya sendiri. Apabila suatu partai politik tidak mendapatkan kursi DPR atau suara sah secara nasional yang cukup signifikan (di atas Presidential Threshold), maka suatu partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden harus bergabung dengan partai politik yang lain atau beberapa partai politik yang lain agar terpenuhi persyaratan Presidential Threshold tersebut. Dan hal ini menjadi kesulitan tersendiri bagi partai-partai politik, karena masing-masing partai politik memiliki visi dan misi yang berbeda-beda.
Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25%(dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Sebagai akibat dari adanya ketentuan mengenai Presidential Threshold tersebut dalam Pilpres Tahun 2019 tersebut di atas, partai politik yang memiliki kursi di DPR hanya dapat memunculkan 2 (dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, yaitu pasangan Joko Widodo - Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto – Sandiaga Salahudin Uno. Maka dengan demikian ketentuan Presidential Threshold dalam Pasal 222 Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (yang ditetapkan terlalu tinggi tersebut), sesungguhnya bertentangan dengan Konstitusi (Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945). Karena dengan hanya dapat memunculkan 2 (dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, tidak memungkinkan pelaksanaan Pilpres Tahun 2019 dapat berlangsung melalui dua putaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945.
Apalagi ditengarai bahwa ketentuan mengenai Presidential Threshold yang terlalu tinggi tersebut memang disengaja atau dikehendaki, karena adanya campur tangan dari “orang-orang yang berada dibalik layar” yang memberikan dukungan penuh secara politis, moril, dan materiil kepada salah satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tertentu untuk dimenangkan dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bagaimana pun caranya. Selanjutnya, setelah salah satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tertentu terpilih, maka “orang-orang yang berada dibalik layar” tersebut akan managih janji kepadanya, karena kata orang “tidak ada makan siang gratis”. Apabila dugaan ini benar, maka sungguh sangat disayangkan karena akan membahayakan sistem demokrasi yang ingin dibangun di Indonesia. Berikutnya, kondisi ini juga akan membahayakan bagi keutuhan NKRI atau kondisi tersebut dapat mengarah terjadinya disintegrasi bangsa Indonesia, disebabkan adanya pihak-pihak tertentu yang diperlakukan secara istimewa dan ada pihak-pihak lainnya yang diperlakukan secara tidak adil dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Keadilan itu merupakan hak yang sangat mendasar bagi setiap warga negara yang wajib diwujudkan oleh para pemimpin dalam suatu negara di mana pun.
Begitu juga yang terjadi dalam pelaksanaan Pemilihan Umum periode sebelumnya (Tahun 2014) yang dilaksanakan berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang menetapkan ketentuan mengenai Presidential Threshold dalam Pasal 5 ayat (4) sebagai berikut :
Pasangan calon sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR.
Dalam pelaksanaan Pilpres Tahun 2014 juga hanya memunculkan 2 (dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, yaitu pasangan calon Prabowo Subianto – Hatta Rajasa dan Joko Widow – M. Yusuf Kalla, sehingga pelaksanaan Pilpres Tahun 2014 hanya dilaksanakan satu kali putaran yang dimenangkan oleh pasangan Joko Wiidodo – M. Yusuf Kalla. Maka dengan demikian ketentuan Presidential Threshold dalam Pasal 5 ayat (4) UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, sesungguhnya bertentangan dengan Konstitusi (Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945). Karena dengan hanya dapat memunculkan 2 (dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, tidak memungkinkan pelaksanaan Pilpres Tahun 2014 dapat berlangsung melalui dua kali putaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945.
Namun demikian dalam pelaksanaan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004 dan 2009 dengan ketentuan Presidential Threshold yang sama pada UU Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang sama ( UU Nomor 23 Tahun 2003) dapat menghasilkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden lebih dari 2 (dua) pasangan calon, sehingga memungkinkan pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan melalui dua kali putaran. Meskipun pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 pasangan Susilo Bambang Yudoyono – Budiono berhasil memenangkan dalam putaran pertama, karena telah memenuhi ketentuan Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 yang diturunkan menjadi ketentuan dalam UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Perbedaan munculnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004 dan Tahun 2009 dengan Tahun 2014 disebabkan perbedaan jumlah partai politik peserta Pemilihan Umum pada tahun – tahun tersebut, yang mana jumlah partai politik peserta Pemilihan Umum pada Tahun 2014 lebih banyak daripada jumlah partai politik peserta Pemilihan Umum Tahun 2009 dan Tahun 2004.
Dalam rangka perbaikan penyelenggaraan Pemilihan Umum ke depan, penulis menyarankan agar ketentuan mengenai Presidential Threshold pada Undang UndangNomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dilakukan perubahan dan dirancang sedemikian rupa agar dapat memunculkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sekurang-kurangnya 3 (tiga) pasangan calon atau lebih. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan data perolehan kursi DPR atau suara sah secara nasional pada pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 2019 yang lalu (dengan asumsi Pemilihan Umum tetap dilakukan secara Serentak). Untuk itu tidak sepatutnya ketentuan Presidential Threshold ditetapkan terlalu tinggi sebagaimana yang terdapat pada Pasal 222 Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Menurut penulis, dengan memperhatikan jumlah partai politik peserta Pemilihan Umum Tahun 2019, maka ketentuan Presidential Threshold tidak boleh terlalu tinggi, yaitu berkisar di antara:
o 5 % - 10 % perolehan kursi DPR, atau
o 10 % - 15 % perolehan suara sah secara nasional
o Atau bila dipandang perlu, ketentuan mengenai Presidential Threshold ditiadakan.
Selanjutnya, penyelenggara Pemilihan Umum wajib memperbaiiki hal-hal lainnya yang selama ini dikritisi oleh berbagai pihak yang dapat menciderai pelaksanaan Pemilihan Umum, secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Misalnya masalah akurasi DPT (Daftar Pemilih Tetap) terdapat data : pemilih ganda, palsu atau fiktif. Adanya aparat negara atau petugas Pemilihan Umum yang tidak jujur (menerima suap dari pihak tertentu), aparat negara yang tidak netral, dan bentuk-bentuk kecurangan lainnya yang diduga terjadi pada saat sebelum, pada hari pelaksanaan (hari h), dan pada saat sesudah pelaksanaan Pemilihan Umum, misalnya : Surat Suara yang ditusuki terlebih dahulu, Form Model C1 yang dipalsukan, dan sebagainya. Aplikasi SITUNG KPU juga perlu disempurnakan agar kesalahan input data baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, tidak dapat terulang kembali dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum ke depan.
Apabila penyelenggara Negara dan penyelenggara Pemilihan Umum enggan untuk memperbaiiki kelemahan-kelemahan mengenai pelaksanaan Pemilihan Umum yang terjadi selama ini, sebaiknya pelaksanaan Pemilihan Umum kembali pada UUD 1945 Asli (sebelum ada Amandemen I, II, III dan IV), yaitu calon Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR RI (Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia). Dengan kembali kepada UUD 1945 Asli, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden akan lebih banyak menghemat pengeluaran anggaran negara. Dengan catatan syarat-syarat dan kriteria calon Presiden dan Wakil Presiden semakin ditingkatkan agar mendapatkan calon-calon Presiden dan Wakil Presiden yang mumpuni, yang memperhatikan kesejahteraan rakyatnya, menegakkan kebenaran dan keadilan, dan dapat menjadi kebanggaan dan dihormati baik oleh masyarakat di dalam negeri maupun oleh pemerintah negara-negara lain di luar negeri. Apalagi Amandemen UUD 1945 (ke I, II, III dan IV) yang sampai dengan saat ini diduga tidak terdaftar pada Lembaran Negara sedang digugat (oleh seseorang bernama : Dokter Zulkifli, warga negara Indonesia, tinggal di Surabaya), di PN Jakarta Pusat.
Demikian sumbangan pemikiran untuk perbaikan penyelenggaraan Pemilihan Umum di Indonesia ke depan yang dapat penulis sampaikan. Semoga bermanfaat. Terima kasih.
*Abu Mu'az Ash-Shobri adalah nama pena dari Slamet Wiyardi, Ak, CA, MM, seorang pengamat politik dan hukum di Indonesia, tinggal di Kota Bekasi, Jawa Barat).
Dasar Hukum :
Referensi :