View Full Version
Ahad, 08 Nov 2020

Ke Mana Arah Amerika di Bawah Biden-Harris?

 

Oleh: Vivin Indriani

 

Kemenangan dalam pemilu AS akhirnya jatuh pada kubu Biden-Harris. Beberapa media melansir ucapan selamat atas kemenangan President-Elect Joe Biden beberapa jam lalu (8 November 2020). Meski Fox News (media pendukung Trump) sehari setelah pemilu sebenarnya sudah mengumumkan kemenangan Biden di Arizona. Sedang pada saat yang sama, media-media utama seperti CNN, New York Times dan Washington Post yang dianggap anti Trump belum berani mengumumkan kemenangan Biden di wilayah-wilayah yang menjadi basis kemenangan Trump 4 tahun lalu. Dan kini lima negara bagian kunci seperti Pennsylvania, Arizona, Georgia, Michigan dan Wisconsin telah dimenangkan Biden.

Perayaan besar-besaran pun riuh di beberapa negara bagian yang memenangkan Biden. Bahkan di Gedung Putih, warga Amerika sudah berkumpul untuk menyambut terpilihnya Biden sebagai Presiden mengalahkan petahana. Meski tak sedikit para kapitalis dan pengusaha pro Trump yang cukup 'bersedih' atas kemenangan Biden. Kesedihan mereka wajar karena Biden berjanji akan menarik pajak dari industri di segala sektor lebih besar dari era Trump. Tetap saja kemenangan Biden di masa penghitungan elektoral ini disambut cukup baik oleh banyak pihak.

Sikap arogan Trump di detik-detik terakhir juga memicu rasa tidak suka kubu Republik sendiri. Trump dianggap tidak menunjukkan sikap Amerika dengan mengancam akan membawa hasil perhitungan suara ke Mahkamah Agung. Ia juga menyebarkan banyak sekali isu-isu tidak berdasar fakta di media Twitter maupun facebook seperti isu adanya penggelembungan suara di negara-negara bagian di mana Trump kalah. Pihak Twitter sendiri sudah memberi tanda pada setiap tweet dan retweed yang dibagikan Trump dan menyatakan 39% berita yang dibagikan Trump tidak berdasar fakta.

Biden telah mengumpulkan sejauh ini sebanyak 73 juta suara, ini merupakan jumlah terbanyak yang pernah diraih kandidat Presiden AS dan Biden meraihnya di usia 78 tahun. Berdasarkan data AP Minggu pagi (8/11/2020) waktu Indonesia, Biden meraih 290 elektoral vote, lebih tinggi dari angka yang diperlukan untuk meraih kemenangan yakni 270. Dia akan menjadi presiden tertua sepanjang sejarah Amerika. Adapun wakilnya, Kamala Harris adalah wanita pertama yang menduduki jabatan wakil presiden sekaligus orang kulit hitam pertama dan keturunan Asia Amerika pertama yang menduduki jabatan tersebut.

Membaca Pola di Balik Pemilihan Presiden AS

Kemenangan kubu Biden ini sesungguhnya tidak akan mengubah prinsip kebijakan politik luar negeri AS. Sebagai penguasa negara adidaya yang mengemban ideologi kapitalisme, AS hanya menyuguhkan pemain yang berbeda, dengan gaya dan cara yang berbeda. Namun tetap saja tak akan ada banyak perubahan.

Pendekatan seperti apapun yang disuguhkan, tetap saja AS menjadikan Islam dan negara Islam sebagai ancaman bagi ideologi global mereka. Model hard power seperti di era George Bush maupun soft power sebagaimana di era Obama, tetap tidak akan merubah arah dan visi misi kapitalisme yang diusungnya. Termasuk seperti hari ini. Trump yang dianggap hard power, dan Biden yang dianggap soft power, merupakan sosok yang sama-sama memberikan dukungan bagi Israel dan banyak berperan dalam berbagai konflik yang terjadi di negeri-negeri Islam.

Meski dukungan kepada Biden juga banyak diberikan oleh pemilih Arab dan Muslim Amerika, hal itu tidak mengendurkan upaya Biden untuk tetap mendukung Israel memperluas wilayah pendudukan dan mencaplok Tepi Barat Palestina. Di sisi lain, meski Biden berencana menarik pasukan dari beberapa wilayah di Timur Tengah seperti Irak dan Afghanistan, namun dia tetap akan menempatkan pasukan di sana untuk membantu upaya penanggulangan terorisme. Klaim penanggulangan terorisme ini sesungguhnya bukti nyata bahwa AS berupaya untuk tetap menjadikan Islam sebagai musuh utama sebagaimana sifat asli ideologinya.

Kita juga bisa melihat, di belakang masing-masing kubu sesungguhnya tetap ada andil para kapitalis. Trump banyak didukung perusahaan minyak dan industri senjata dan di belakang Biden ada perusahaan-perusahaan industri farmasi. Sikap dan arah keduanya tentu tak akan berbeda jauh dengan arahan para kapitalis atau para pemodal besar yang memberikan mereka modal untuk meraih kemenangan.

Belum lagi kepentingan lain yang ikut serta di dalamnya, seperti dukungan terhadap Biden yang juga datang dari kaum feminis dan sejenisnya. Masing-masing kepentingan ini, meski tak mengubah secara penuh haluan dasar ideologi kapitalisme yang dianut AS-penjajahan dan menguatkan hegemoni- tetap saja akan menunjukkan wajah dunia 4 tahun yang akan datang selama Sistem Kapitalisme masih berkuasa dengan Amerika sebagai pengusungnya. Bila sudah begini, apa yang bisa diharapkan dunia Islam atas kemenangan Biden dan kalahnya Trump? Nyaris tak ada! (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version