Presiden Jokowi seharusnya bertanggungjawab atas praktek korupsi yang dilakukan menterinya.
Oleh:
Tjahja Gunawan || Wartawan Senior
PRAKTEK korupsi pada periode kedua Jokowi sebagai Presiden, sangat merajalela. Betapa tidak, dalam waktu dua minggu, ada dua menteri bawahan Jokowi yang terjerat kasus korupsi. Yakni Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan Menteri Sosial Juliari Batubara. Keduanya telah dijadikan tersangka dan ditahan KPK .
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dari Partai Gerindra, ditangkap pada Kamis 25 November 2020. Dari hasil penyidikan KPK, Edhy Prabowo diduga menerima suap Rp 3,4 miliar dan uang sebesar 1.000 Dollar AS (Rp 1,4 miliar) terkait izin ekspor untuk benih lobster.
Sedangkan Mensos Juliari Peter Batubara dari PDI Perjuangan, menjadi tersangka korupsi program bantuan sosial penanganan virus corona (Covid-19). Dalam kasus tersebut, KPK juga menetapkan 4 orang lainnya sebagai tersangka. Dari OTT ini, KPK menemukan uang dengan sejumlah pecahan mata uang asing. Masing-masing yakni sekitar Rp 11,9 miliar, sekitar 171.085 dollar AS, dan sekitar 23.000 dollar Singapura.
Ini benar-benar sangat melukai hati rakyat. Di saat rakyat hidup prihatin akibat krisis ekonomi dan pandemi Covid-19, Mensos malah menyalahgunakan bantuan sosial. Na’udzubillah mindzalik. Jika ada bawahan yang tersangkut kasus pidana (korupsi) maka secara moral atasannyalah yang seharusnya bertanggung jawab. Oleh karena itu, Presiden Jokowi seharusnya bertanggungjawab atas praktek korupsi yang dilakukan menterinya. Bukan malah justru lepas tangan dengan berdalih menyerahkan sepenuhnya kasus korupsi tersebut kepada KPK.
Di era rezim Jokowi ini, jumlah menteri sebanyak 34 orang. Kalau ditambah dengan Wakil Menteri dan pejabat sekelas menteri jumlahnya 43 orang. Sangat boleh jadi kasus dua menteri yang diciduk KPK ini, hanyalah puncak gunung es korupsi di negeri ini.
Hal itu membuktikan bahwa Revolusi Mental yang digembar gemborkan Jokowi sejak tàhun 2014 telah gagal, karena korupsi masih merajalela di jajaran pemerintahan. Di saat rakyat menderita karena Covid
19, justru dana bansos yang menjadi hak rakyat dikorupsi pejabat. Ini sungguh pengkhianatan besar terhadap rakyat Indonesia.
Jika Presiden Jokowi cuci tangan atas ulah para menterinya yang melakukan korupsi, maka tinggal menunggu waktu terjadinya akumulasi kemarahan masyarakat terhadap rezim penguasa saat ini. Saat ini banyak masyarakat yang merasakan penderitaan ekonomi dan korban ketidakadilan. Kini keadaan situasi psikologis masyarakat sudah bagaikan api dalam sekam. Suatu saat nanti akan meledak.
Masyarakat diperkirakan akan melampiaskan kekecewaan mereka terhadap para menteri yang korupsi melalui ajang Pilkada yang akan berlangsung secara serentak pada 9 Desember 2020. Calon-calon kepala daerah yang diusung oleh parpol dua menteri yang korup tersebut, diperkirakan akan jeblok dalam Pilkada nanti. Sulit bagi Partai Gerindra dan PDIP untuk dapat menyelamatkan para calon kepala daerahnya yang akan berkompetisi dalam Pilkada.
Itu merupakan sesuatu yang wajar sebab kasus korupsi Bansos ini, menambah luka dan derita rakyat. Secara keseluruhan dana yang dialokasikan pemerintah untuk program penanganan Covid19 sebesar Rp 677 triyun. Alokasi angggaran Covid 19 ini terus bertambah. Bahkan Menkeu Sri Mulyani sebagaimana diberitakan CNN Indonesia 19 Juni 2020, menyebutkan program penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional diperkirakan memakan biaya sebesar Rp 905,1 triliun.
Dana sebesar itu harus bisa dipantau oleh lembaga hukum dan institusi audit yang independen dan kredibel. Hal itu dilakukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya penyelewengan seperti yang dilakukan oleh Mensos dan oknum pejabat di Kemensos. Sekali lagi, pengawasan terhadap dana besar yang dialokasikan untuk penanggulangan Covid 19, perlu dilakukan karena berpotensi untuk dikorupsi. Apalagi dengan adanya Peraturan Presiden Pengganti Undang-undang (Perppu) yang kemudian berubah jadi UU No 2 Tahun 2020, tentang penanggulangan Covid 19, dana tersebut bisa menjadi ajang korupsi bersama yang dilakukan oknum pejabat pemerintah dan swasta.
Betapa tidak, UU tersebut memberi kewenangan penuh
kepada pihak pemerintah untuk menyusun anggaran dan bahkan memberi imunitas kepada para pejabat tertentu di bidang keuangan untuk tidak boleh digugat. Sebenarnya ini membuka peluang terjadinya korupsi. Alih-alih menyelamatkan rakyat dari pandemi Covid19, uang rakyat justru dikorupsi.
Sebenarnya pada Maret 2020 lalu atau pada awal bencana Covid 19 merebak di Indonesia, Ketua KPK, Firli Bahuri, pernah mengingatkan ancaman pidana mati bagi pihak-pihak yang melakukan korupsi anggaran bencana yang dialokasikan untuk menangani virus corona atau covid-19. Dalam aturan, jelas disebut bahwa orang yang melakukan tindak pidana korupsi saat bencana, maka ancaman hukumannya pidana mati.
Sekarang kita tunggu saja pelaksanaan pidana mati terhadap pihak-pihak yang terbukti telah mengkorupsi angggaran untuk penanganan Covid19. Jika itu terjadi, akan menjadi preseden baik bagi penegakan hukum di Tanah Air yang selama ini tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Wallohu a’lam bhisawab.*