Fenomena unik, bernilai kritik, dan heroik ini dapat menjadi goresan sejarah dalam perjuangan umat Islam di Indonesia.
Oleh:
M Rizal Fadillah || Pemerhati Politik dan Kebangsaan
DITEMBAKNYA hingga tewas 6 anggota Laskar FPI dan ditahannya HRS setelah pemeriksaan 13 jam di Metro Jaya memunculkan reaksi. Tuntutan pembentukan Tim Pencari Fakta Independen terus menggema dalam rangka mencari kejelasan dari kasus yang menurut Kepolisian adalah “tembak menembak” di KM 50 Jalan Tol Jakarta Cikampek.
Penahanan HRS juga membangun respon unik dengan banyaknya pernyataan sikap berupa kesiapan untuk secara sukarela ditahan oleh pihak Kepolisian. Pernyataan sikap umat Islam Serang Banten, umat Islam NTB, Kalimantan Barat, Lampung, Brigade 411 se Jabodetabek, Umat Islam Jawa Barat dan lainnya siap untuk ditahan di Mapolda Metro Jaya menjadi fenomena baru. Ribuan umat Islam Ciamis bergerak ke Mapolres Ciamis menerobos masuk dengan keinginan agar ditahan dan mencari lokasi sel tahanan.
Pada umumnya aksi kesiapan untuk ditahan adalah sebagai protes atas penahanan HRS yang dinilai tidak adil atas tuduhan penghasutan kerumunan di Petamburan dan Mega Mendung. Sebagian besar yang menyatakan sikap adalah mereka yang hadir dalam kerumunan di Petamburan maupun Mega Mendung. Ada pula yang menjadi bagian penyambutan HRS di Bandara.
Berbondong-bondong orang atau jama’ah yang siap secara sukarela untuk ditahan ini menjadi fenomena unik dari kesadaran hukum baru sekaligus sebagai protes atas ketidakadilan hukum yang terjadi. Mereka yakin HRS tidak bersalah dan menjadi bagian dari konspirasi politik dengan memanipulasi hukum.
Fenomena unik, bernilai kritik, dan heroik ini dapat menjadi goresan sejarah dalam perjuangan umat Islam di Indonesia. Ada beberapa catatan, yaitu :
Pertama, bila fenomena unik ini terjadi secara masif maka bukan mustahil akan ada suatu hari dimana jutaan orang datang ke Polda Metro Jaya untuk bersama-sama “minta ditahan”, misalnya pada tanggal 31 Desember sebagai batas akhir tahap pertama masa penahanan HRS.
Kedua, pembunuhan keji 6 anggota laskar FPI dan penahanan atau pemborgolan HRS menjadi satu kesatuan isu keumatan untuk membangun solidaritas tinggi dalam berjuang bersama “bagai satu tubuh yang sakit”.
Ketiga, bacaan umat baik pembunuhan anggota 6 laskar FPI maupun pemborgolan HRS, padahal yang bersangkutan datang dengan baik-baik ke Mapolda, adalah kezaliman politik dengan memutarbalikkan fakta dan aturan hukum tanpa rasa malu.
Keempat, bila tanggal 31 Desember misalnya menjadi “hari solidaritas umat” dengan ultimatum “bebaskan HRS atau kami tahan semua” itu benar-benar terjadi, maka peristiwa ini menjadi fenomena terunik dalam sejarah, mungkin berskala dunia.
Kelima, Kepolisian atau Pemerintah menciptakan kegaduhan yang tidak perlu dengan menjadikan pandemi Covid 19 sebagai alat politik untuk menunjukkan arogansi kekuasaan. Semestinya peristiwa pandemi adakah momen untuk membangun persatuan dan kesatuan, bukan kegaduhan dan perpecahan.
Fenomena unik kesiapan relawan untuk dipenjara sebagai rasa solidaritas dan aksi protes, justru menjadi kebalikan dari model peristiwa awal revolusi Perancis 14 Juli 1789 dimana rakyat menyerbu penjara Bastille dan membebaskan tahanan. Bastille Day adalah hari perlawanan atas kesewenang-wenangan dan korupsi Raja Louis XVI dan istrinya Marie Antoinette.
Tumbanglah monarki absolut dinasti Louis dan Marie Antoinette pun dipenggal di bawah Guillotine.*